Biennale Jogja, Oseania Bukan Sekadar Estetika
Kedigdayaan seni rupa bukan lagi sekadar mengurai estetika dan eksotisme belaka. Ada relung tak terungkap yang bisa terus-menerus disibak. Ada persoalan yang tak terlihat, tetapi kemudian menjadi gamblang di depan mata.
Wilayah Oseania yang dikelilingi perairan Samudra Pasifik selama ini seperti kurang terbaca di dalam isu seni rupa kita. Ketika dikemukakan sebagai tema perhelatan seni rupa Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 di Yogyakarta, gegap gempita Oseania terasa menggetarkan.
Kedigdayaan seni rupa bukan lagi sekadar mengurai estetika dan eksotisme belaka. Ada relung tak terungkap yang bisa terus-menerus disibak. Ada persoalan yang tak terlihat, tetapi kemudian menjadi gamblang di depan mata.
Kelompok seni rupa Udeido, beranggotakan mahasiswa dan pemuda asal Papua yang menetap di Yogyakarta, diserahi membuat mural fasad utama berukuran 8 meter x 16 meter di Gedung Jogja National Museum, tempat Biennale Jogja berlangsung.
Gedung ini digunakan sebagai ruang pameran utama Biennale Jogja dengan 34 karya kolektif dan individual. Di fasad hadir lukisan besar wajah pemuda Papua mengenakan aksesori taring babi di hidungnya dengan manik-manik ikat kepala.
Ini menjadi bagian dominan di bagian tengah bidang mural. Tatapan mata pemuda itu sedikit sayu, seperti ada ronta yang tertahan meski mulutnya terbuka lebar sedang berteriak lantang.
Yanto Gombo, salah satu anggota Kolektif Udeido, membuat mural itu. Ia juga melukis gugusan peluru sebanyak 27 butir yang membentuk setengah lingkaran tidak sempurna mengarah ke mulut. Ini menggetarkan.
Yanto Gombo tidak sekadar mencipta eksotisme wajah pemuda tradisional Papua. Ia sedang membuka ruang dialog. ”Mural ini diberi judul ’Dibungkam’,” kata Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika ketika turut mendampingi Kompas mengelilingi ruang pamer di Jogja National Museum, Rabu (13/10/2021).
Ruang arwah
Alia kemudian menunjukkan Koreri Projection di lantai pertama. Kolektif Udeido menggarap rangkaian instalasi seni ini. Koreri Projection sebuah instalasi kolektif, sekaligus mewadahi ekspresi individual dengan tujuh anggota kelompok. Koreri Projection pada dasarnya ingin memproyeksikan ruang arwah yang makin terimpit, bahkan tergusur, di tanah Papua.
Lagi-lagi hadir sebagai eksotisme, tetapi pada akhirnya memberikan sentakan satire yang membuka lebar-lebar pintu ruang dialog.
Ketika memasuki ruang pamer, kelopak-kelopak merah nyala api bunga pala atau fully segera menyergap. Kelopak fully membungkus buah pala sebesar bola sepak, tetapi bentuknya melonjong layaknya buah pala asli.
Dari kejauhan terlihat tertata indah di sebuah rak bertingkat. Ada tiga susun dengan empat buah pala di susunan rak paling bawah, tiga buah lagi di bagian tengah, dan dua buah pala di rak paling atas.
Ada beberapa buah pala yang juga masih terbungkus kelopak fully digantung di langit-langit ruang. Ini tampak sebagai instalasi indah. Ketika mendekat rak buah pala, ada yang luput terlihat dari kejauhan. Di situ mulai sedikit mencekam.
Dua buah pala di lapisan teratas ternyata mengapit beberapa tengkorak manusia. Tengkorak-tengkorak itu berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan buah pala tersebut. Benak pun membuncah. Ada pertanyaan menyelip. Hati dan pikiran yang semula terang benderang seperti diterangi nyala api bunga pala, surut menjadi redup dan keruh.
Costantinus Raharusun asal Fakfak, Papua Barat, salah satu anggota Kolektif Udeido, menyusun instalasi seni tersebut. Melalui karya ini, Constan membuka dialog tentang keberadaan ruang arwah yang dimiliki setiap marga di Fakfak.
Ruang arwah itu dinamakan Homour. Kondisi sekarang makin terancam kerusakan atau pengalihan lahan untuk banyak keperluan, di antaranya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.
Constan menilik persoalan agraria kurang memihak pada hak-hak adat atas Homour. Setiap kali warga adat membicarakan persoalan-persoalan hak atas tanah Homour, kerap kali dianggap sebagai teroris.
Di sebelah instalasi Constan, tidak kalah mencekam. Ada sebuah instalasi seni yang dibuat satu-satunya anggota perempuan Kolektif Udeido, yaitu Betty Aidli.
Betty membuat banyak patung besar berbentuk phallus, organ vital laki-laki. Ujung organ itu diubah menjadi bentuk peluru tajam. Betty menyerak-nyerakkan pakaian dalam perempuan tersampir di patung-patung itu. Lebih banyak lagi lainnya diserak di atas lantai.
Betty membangun metafora maskulinitas identik dengan kekuasaan dan kekerasan yang berujung konflik di tanah Papua. Perempuan menjadi kelompok rentan atas konflik-konflik kekuasaan yang terjadi selama ini.
Kolektif Udeido di bawah koordinasi Ignatius Dicky Takndare. Dicky menetap di Yogyakarta sejak 2006. Melalui kegiatan Biennale Jogja itu, komunitas seniman asal Papua ingin menancapkan jejak dan perjalanan masyarakat Papua.
”Kami memiliki harapan agar orang di luar Papua bersedia masuk lebih dalam lagi untuk mengerti Papua,” ujar Dicky, yang menyelesaikan studi di Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Murni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Dicky menunjukkan instalasi sebuah totem, berupa patung kepala berukuran besar dengan beragam pernak-pernik. Ia membicarakan muasal totem di Papua sebagai jembatan antara orang hidup dan leluhur yang sudah mati.
Akan tetapi, warisan adat leluhur ini sekarang makin digerus. ”Totem di Papua sebagai materi fisik yang membatasi dunia orang hidup dan mati,” ujar Dicky.
Perjalanan ke timur
Papua merupakan sepotong daratan besar di Oseania. Oseania pun masih memiliki potongan-potongan daratan kecil lain yang jumlahnya banyak dan memiliki praktik seni rupa tradisional ataupun situasi estetik dan problematik yang tidak kalah menarik.
Biennale Jogja membawa kita menempuh perjalanan ke timur, ke Oseania. Seniman Antoine Pecquet yang menetap di Noumea, Kaledonia Baru, sejak 2012 itu menghidangkan karya-karya digital. Pecquet lahir di Paris, Perancis, memotret kompleksitas relasi postkolonial antara orang kulit putih dan masyarakat adat di sana.
Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji, kurator Biennale Jogja 2021, memberikan catatan khusus tentang orang-orang asal Jawa yang pernah migrasi ke Kaledonia Baru. Pada 1896, ratusan kuli asal Batavia mulai dibawa ke koloni Perancis ini. Mereka kemudian dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, buruh perkebunan kopi, atau pekerja tambang nikel. Sejak tahun itulah rute pelayaran kapal-kapal uap dari Batavia ke Noumea terlihat sibuk.
Pada 1948 ada catatan statistik penduduk Jawa yang diberangkatkan ke Kaledonia Baru. Jumlahnya mencapai 19.590 orang. Kemudian berdasarkan statistik penduduk di Kaledoneia Baru, pada 2014 tercatat sekitar 1,43 persen atau 4.000 jiwa penduduknya memiliki etnis keturunan Jawa berkewarganegaraan Perancis.
Seniman luar Indonesia selain Pecquet, ada Nichole Mole yang juga tinggal di Noumea, Kaledonia Baru. Mole, yang juga lahir di Perancis, mengeksplorasi kebudayaan Kanak di Kaledonia Baru.
Edith Amituanai asal Selandia Baru menjadi seniman diaspora di Samoa. Praktik karya Amituanai berbicara tentang lingkungan yang berperan membentuk karakter dan sudut pandang masyarakat.
Di Samoa, Amituanai membuat seri interior rumah komunitas transnasional. Ini mencakup interior rumah dari warga Samoa, Selandia Baru, Perancis, Kanada, dan Amerika Serikat.
Seniman fotografi kelahiran Auckland, Selandia Baru, Greg Semu, juga menampilkan karya-karyanya. Ia merupakan keturunan Samoa. Seniman Hayden Fowler, seorang sarjana di bidang ekologi dari Australia, membingkai persoalan kolonial dan postkolonial.
Tinjauan karya itu untuk perlawanan terhadap wacana Barat dan pengaruhnya yang menimbulkan kerusakan ekologis.
Hadir pula karya Maria Madeira, seorang seniman asal Timor Leste, yang kini menetap di Perth, Australia. Maria mengolah ragam media, seperti lukisan, patung, gambar, kolase media campuran, dan instalasi. Begitu pula Simao Cardoso Pereira, seniman yang berbasis di Dili, Timor Leste. Ia mengambil idiom budaya dan permasalahan di Timor Leste yang dituangkan ke dalam lukisan, gambar, karya digital, dan multimedia.
Oseania dengan wilayah daratan yang dilingkupi perairan Pasifik menjangkau pula negara Jepang. Maka, di dalam Biennale Jogja ini sempat dihadirkan karya Motoyoki Shitamichi, asal Jepang.
Shitamichi menyuguhkan karya kreatifnya dengan menengok jejak-jejak Perang Dunia Kedua. Ia masih menemukan jejak-jejak itu di sekitar tempat tinggalnya di Jepang.
Selain itu, seniman Yudai Kamisato kelahiran Peru, yang menetap di Tokyo dan Kawasaki, Jepang. Karya-karyanya terkait identitas diri dan eksplorasi isu imigran.
Ragam karya dari para seniman asal Indonesia melengkapi Biennale Jogja. Keberagaman karya menjadi daya pikat. Misalnya, dihadirkan karya seorang empu atau pembuat keris wanita asal Sumenep, Madura, bernama Ika Arista, kelahiran 11 Mei 1990.
”Saya membuat instalasi kapal perompak. Di situ para perompak memiliki pegangan, dalam bahasa tradisional Madura sebagai sekep, di antaranya keris,” ujar Ika, yang menampilkan salah satu keris buatannya berpengait seperti mata kail.