Seorang guru perlu memiliki pola pikir bertumbuh untuk mendorong siswanya dapat menjalani pembelajaran dengan nyaman, antusias, dan penuh keyakinan diri.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
Dunia berubah di segala sendi kehidupan dengan cepat, bahkan tanpa diduga. Masa depan anak-anak yang berada di ruang-ruang kelas saat ini tidak lagi bisa diprediksi karena tuntutan keterampilan dan permintaan dunia kerja yang juga dinamis. Di sinilah paradigma pendidikan dan peran guru perlu diarahkan untuk mampu menyesuaikan di putaran mana seharusnya berperan.
Pendidikan tak lagi cukup memastikan anak-anak menguasai materi berbagai mata pelajaran, seperti matematika, sains, ataupun literasi/bahasa yang kesuksesannya menjadi salah satu parameter keberhasilan sistem pendidikan suatu negara. Sudah lewat masa untuk mengagung-agungkan kesuksesan akademik semata dalam pendidikan. Kini, sinergi dengan aspek nonakademik justru akan membuat sistem pendidikan menciptakan sosok generasi penerus bangsa yang memiliki keyakinan mampu bergerak maju menuju kehidupan yang lebih baik meskipun ada berbagai tantangan dan rintangan. Sebab, proses belajar, termasuk kesalahan/ kegagalan, menjadi bagian yang tak mematahkan semangat dan keyakinan untuk bisa melakukan yang terbaik sesuai kemampuan dan potensi diri.
Paradigma menyinergikan penguasaan kompetensi akademik dan nonakdemik itu disampaikan kepada lebih dari 1.500 guru, kepala sekolah, dan tim pengembang dari 166 sekolah dasar (SD) di acara Kuliah Umum Program Organisasi Penggerak (POP) Yayasan Pangudi Luhur Jenjang SD, Selasa (16/11/2021). Pelatihan bagi para guru SD dari berbagai daerah untuk menjadi praktisi pola pikir bertumbuh disampaikan Master International GM Coach Djohan Yoga yang banyak berkiprah sebagai pelatih pola pikir serta kreativitas dan inovasi di Asia.
Para pendidik ini harus mampu membangkitkan semangat dan potensi yang sudah diberikan Tuhan pada diri masing-masing lewat kekuatan pikiran. Dengan memperbarui pola pikir, menggeser dari pola pikir tetap ke pola pikir bertumbuh, semua orang bisa mengembangkan diri.
Agustinus Marjito, perwakilan Yayasan Pangudi Luhur, mengatakan, peran kepala sekolah dan guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan generasi muda. Perkembangan anak-anak ditentukan oleh kompetensi dan kemampuan pendidik mengembangkan pola pikir dalam diri anak-anak.
”Para pendidik ini harus mampu membangkitkan semangat dan potensi yang sudah diberikan Tuhan pada diri masing-masing lewat kekuatan pikiran. Dengan memperbarui pola pikir, menggeser dari pola pikir tetap ke pola pikir bertumbuh, semua orang bisa mengembangkan diri. Dampaknya, para pendidik mampu membawa anak-anak didik berkembang dalam pola pikir bertumbuh,” kata Agustinus.
Berkaca dari skor PISA
Djohan mengatakan, perkembangan dunia saat ini menuntut peran sistem pendidikan dan guru yang baru. Bagi guru, peran saat ini semakin bertambah, tak cukup sebagai guru yang mengajar, namun menjadi pelatih.
”Dunia saat ini menuntut peran baru guru yang dapat membantu siswa bertumbuh. Dengan bertumbuh siswa bisa bertahan dalam segala situasi kehidupan. Dengan mengajarkan pola pikir bertumbuh di ruang-ruang kelas, kesukseskan akademik yang terpuruk dengan sendirinya akan tercapai,” kata Djohan.
Pentingnya memasukkan pola pikir bertumbuh dalam dunia pendidikan ini merupakan hasil kajian tes Programme for International Studen Assesment (PISA) yang digelar OECD per tiga tahun bagi siswa usia 15 tahun ke atas di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2018, ada survei terselubung untuk mencari faktor x yang membuat kenapa hasil PISA tak banyak begeser.
Indonesia menjadi salah satu negara yang senantiasa terpuruk di urutan bawah dalam pencapaian skor matematika, sains, dan literasi dari 78-79 negara di dunia. Bahkan, hasil PISA tahun 2018 menunjukkan, Indonesia selama 18 tahun tidak mampu meningkatkan pencapaian skor yang berarti. Dalam aspek literasi, skor siswa sama dengan 18 tahun lalu. Untuk sains dan matematika ada peningkatan, tetapi sedikit.
Pandemi Covid-19 membuat pembelajaran harus digelar jarak jauh sehingga menyebabkan pembelajaran tidak optimal. Diperkirakan, hasil tes PISA siswa Indonesia juga bakal anjlok. Bank Dunia memprediksi penuruan hasil belajar antara Januari 2020 dan Juni 2021 mengakibatkan hasil tes PISA turun 25 poin. Di kurun Juli–Desember 2021, penurunan hasil tes PISA berkisar 5-11 poin.
”Dari hasil studi, intervensi pola pikir bertumbuh bisa menggerakkan motivasi dan mencapai sesuatu yang tinggi. Ada keyakinan saya bisa pandai dari saat ini. Pencapaian skor PISA/akademik ternyata dipengaruhi faktor nonakdemik, yakni adanya pola pikir bertumbuh,” kata Djohan.
Dari hasil survei pola pikir bertumbuh yang disisipkan dalam tes PISA 2018, Indonesia berada di urutan ketiga terbawah. Untuk pernyataan kecerdasan Anda adalah sesuatu tentang diri Anda yang tidak banyak bisa diubah, siswa diminta menjawab sangat setuju, setuju, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Sekitar 66 persen siswa Indonesia menjawab sangat setuju dan tidak setuju, yang menunjukkan karakter seseorang dengan pola pikir tetap (fixed mindset).
Posisi Indonesia di nomor 3 terbawah dalam pola pikir bertumbuh berkolerasi dengan pencapaian akademik skor PISA Indonesia yang juga rendah. Negara-negara seperti Republik Dominica, Indonesia, Kosovo, dan Republik Macedonia Utara sangat yakin bahwa kecerdasan sesuatu yang tidak dapat berubah banyak.
”Kalau kita tidak yakin bisa pandai atau berkembang dari saat ini, siswa bisa masuk perangkap masa sekarang, tidak siap masuk masa depan. Jadi, dengan pola pikir bertumbuh siswa diajak untuk menjadikan belajar sebagai tujuan, bukan sekadar mengisi waktu. Mereka akan menyediakan waktu lebih banyak untuk belajar dan berusaha sehingga akan mendapat pencapaian lebih tinggi dan kebahagiaan,” kata Djohan.
Kajian OECD menunjukkan pola pikir bertumbuh berkorelasi positif dengan pencapaian akademik. Pola pikir seorang guru sangat menentukan pencapaian akademis siswanya. Capaian kelas yang diajar oleh guru dengan pola pikir bertumbuh bisa dua kali lebih tinggi dari kelas yang diajar oleh guru dengan pola pikir statis.
Selain itu, siswa dengan pola pikir bertumbuh memiliki nilai membaca 32 poin, sains 27 poin, dan matematika 23 poin yang lebih tinggi. Yang lebih berharga dari sekadar skor adalah sikap siswa yang sangat berguna untuk kehidupannya.
Siswa dengan pola pikir berkembang memiliki motivasi yang tinggi untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tidak takut dalam menghadapi kesalahan, memiliki tujuan dalam belajar, menghargai nilai-nilai sekolah.
”Ada dasar yang penting untuk disiapkan sebelum mencapai kesuksesan akademik. Cara berpikir sebagai fondasi sudah dibuktikan dampaknya pada kesuksesan akademik. Jadi harus disinergikan. Sayangnya, pendidikan kita belum banyak memahami. Pemerintah juga bergerak ke sana. Beruntunglah para guru-guru POP Yayasan Pangudi Luhur bisa memahami pentingnya cara berpikir bertumbuh di ruang-ruang kelas,” kata Djohan.
Bisa diajarkan
Ada kabar baik dari pembenahan nonakademik yang penting ini. Pola pikir bertumbuh yang dikembangkan Prof Carol Dwecjk dari Stanford University, Amerika Serikat, ini ternyata bisa diajarkan di ruang-ruang kelas.
”Cara berpikir bertumbuh tidak akan menambah beban kurikulum yang sudah ada. Guru hanya harus mengubah caranya atau menguatkan yang sudah ada,” kata Djohan. Syarat utamanya adalah seorang guru yang juga memiliki pola pikir bertumbuh.
Pola pikir adalah kumpulan keyakinan atau cara berpikir yang akan menentukan reaksi dan pemaknaan seseorang terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Ini dipengaruhi perilaku, sikap, karakter, dan kebiasaan. Pengaruh pola pikir terhadap kesuksesan kehidupan dan pembelajaran besar, yaitu 80 persen. Sedangkan pengaruh pada tindakan 20 persen.
”Dalam dunia pendidikan, pola pikir baru akan memberi hasil akademik yang tinggi dan bahagia. Siswa tidak mentok dan menyerah. Ini karena ada keyakinan dan cara berpikir yang berubah,” kata Djohan.
Djohan menekankan tugas mulia guru justru membuat anak-anak yang dianggap tertinggal atau bodoh bisa menjadi unggul, anak yang optimistis, menjadi sosok bertumbuh sehingga siap menyambut masa depan. ”Intervensi pola pikir ini lebih berpengaruh pada anak-anak kurang mampu, pada anak-anak yang dianggap tertinggal,” kata Djohan.
Seorang guru ”berkuasa” di kelas. Menjadi sosok guru dengan peran baru menumbuhkan pola pikir baru kini semakin penting. Program ini bisa disisipkan dengan program lain.
Mengajarkan pola pikir bertumbuh sejak SD menjadi bekal kuat anak-anak untuk sukses di jenjang selanjutnya. Apalagi interaksi guru dengan siswa demikian intens. Para guru SD inilah yang membangun fondasi belajar siswa. Karena itu, guru berperan memastikan bahwa siswa berhasrat belajar karena yakin bisa menghadapi proses belajar, termasuk salah/gagal. Mereka merasa nyaman karena yakin gurunya selalu membuka jalan untuk menuntun dan menjadi pemandunya dalam menaiki tangga belajar yang harus dilaluinya.
Membawa pola pikir bertumbuh ke ruang kelas memberi keyakinan bahwa seseorang lahir dengan kecerdasan dan kemampuan yang bisa dikembangkan lewat proses belajar dan berusaha. Hal ini berlawanan dengan pola pikir statis yang memiliki keyakinan bahwa seseorang lahir dengan kecerdasan dan kemampuan yang tetap dan tidak bisa diubah lagi.
”Di dalam setiap orang ada pola pikir malas, enggan, tidak percaya diri. Tapi bagimana kita melawannya? Itulah perlunya pola pikir baru. Kunci terbuka maka pola pikir bertumbuh bisa membuat kita mampu bergeser pada cara berpikir baru,” kata Djohan.
Proses untuk mengubah pola pikir tidak bisa dengan cara cepat atau instan. Guru harus menjalaninya dengan tabah dan melewatinya dengan sungguh-sungguh.
”Anak dengan pola pikir tidak berkembang suka bilang tugas terlalu sulit. Nah, peran guru membantu untuk mengubahnya menjadi pola pikir berkembang. Bukan berarti orang dengan pola pikir baru ini lebih pintar, tapi punya keyakinan. Kalau dikasih pekerjaan mau mengerjakan. Kalau tidak bisa bertanya ke guru. Mereka mau menerima tantangan dan melewati berbagai kendala karena dia tidak sendirian,” kata Djohan.
Pendidikan tidak sepenuhnya tanggung jawab anak-anak. Kalau anak-anak tidak bisa, guru menolong atau membuka jalan. Dengan demikian, guru pun senantiasa berfokus pada kepentingan anak didiknya.