Kekerasan seksual hingga kini menjadi fenomena gunung es. Di perguruan tinggi, kekerasan seksual hingga kini sulit terungkap. Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan jadi harapan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sedang menghadapi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi hadir untuk melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
”Peraturan menteri ini adalah sinyal kepada sivitas akademika dan mahasiwa bahwa pemerintah hadir untuk melindungi Anda, melindungi anak-anak kita dan masa depan generasi penerus kita,” ujar Mendikbudristek Nadiem Makarim pada peluncuran Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: ”Kampus Merdeka dari Kekerasan”, Jumat (12/11/2021), secara daring.
Nadiem menegaskan, Permendikbudristek No 30/2021 mendesak karena kekerasan seksual di kampus merupakan fenomena gunung es. Ia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dialami seorang mahasiswi perguruan tinggi tiga tahun lalu. Pelakunya dosen. Karena terlalu takut kepada dosen tersebut, mahasiswa tersebut meninggalkan pembelajaran di kampus. Karena itulah, pemerintah mengambil posisi untuk melindungi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan dari kekerasan seksual.
”Saya menceritakan ini karena kita tidak bisa mempunyai mimpi-mimpi bahwa perguruan tinggi kita menyediakan pendidikan yang berkualitas, kelas dunia, kalau mahasiswa dan dosen merasa tidak aman, tidak nyaman, dan dampak dari satu kejadian saja, bisa dirasakan seumur hidup,” ujarnya.
Nadiem juga mendorong mereka yang mengalami kekerasan seksual di kampus untuk bersuara keras dan tegas, untuk bilang tidak pada kekerasan seksual. ”Dan, untuk memberikan peringatan yang sangat tegas kepada mereka yang memikirkan bahwa hal-hal ini bisa dilakukan di dalam kampus,” ucapnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan menguatkan upaya perlindungan kepada perempuan dan anak-anak Indonesia, sekaligus menjadi regulasi yang tepat untuk mencegah, menangani, dan mengurangi risiko berulangnya kekerasan seksual di kampus.
”Kami berharap, setiap sivitas akademika perguruan tinggi di Indonesia dapat menangkap semangat dari peraturan ini dan dengan penuh semangat ikut menumbuhkan kehidupan sivitas akademika yang aman, mengedepankan kemanusiaan, serta berlandaskan pada kesetaraan dan keadilan,” ujar Bintang.
”Yang lebih memprihatinkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi sering kali tidak tertangani dengan semestinya sehingga memberikan dampak luar biasa terhadap kondisi mental dan fisik korban,” lanjut Bintang.
Kita tidak bisa mempunyai mimpi-mimpi bahwa perguruan tinggi kita menyediakan pendidikan yang berkualitas, kelas dunia, kalau mahasiswa dan dosen merasa tidak aman, tidak nyaman, dan dampak dari satu kejadian saja bisa dirasakan seumur hidup.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendukung sepenuhnya Permendikbudristek No 30/2021. Bahkan, Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Hal itu sebagai komitmen menjadikan perguruan tinggi bebas dari kekerasan seksual.
”Jadi, problem kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan hanya problem Kemendibud, tapi problem serupa juga ada di bawah Kemenag,” katanya.
Proses hukum
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengungkapkan, pada tahun 2020, dari 2.389 kasus yang diterima Komnas Perempuan, sebanyak 53 persen adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya di ruang personal, tetapi juga di ruang publik, seperti di lembaga pendidikan.
”Sekitar lima tahun terakhir ada lebih dari 67 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Pada banyak kasus kekerasan seksual, sering kali tidak dapat diajukan proses hukum karena dianggap perilaku yang suka sama suka. Misalnya, dosen yang melakukan pelecehan seksual dianggap mahasiswa sendiri yang mau karena ingin nilai tinggi,” tutur Andy.
Mewakili Wahid Institute, Alissa Wahid berpendapat, Permendikbudristek No 30/2021 bisa menangani atau merespons kondisi yang sudah penting dan genting saat ini. ”Datanya sudah sedemikian banyak, tidak bisa lagi disebut kasus per kasus, dan memang dampaknya bisa ke mana-mana, apalagi dampak pada keluarga,” katanya.
Keluarga, menurut Alissa, menerima dampak langsung dari setiap kasus kekerasan seksual terutama yang dialami perempuan. Ketika mahasiswa korban kekerasan seksual berhenti kuliah akan kembali pada keluarga, itu akan menjadi pukulan besar bagi keluarga.