Ritme dan Algoritme Membuka Kemungkinan Penciptaan Budaya
Teknologi membawa ritme baru kehidupan sosial dan budaya manusia. Dengan algoritme setiap hari, hal itu akhirnya bisa membentuk jati diri manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini telah memengaruhi, membentuk, dan bahkan mengubah ritme kehidupan sosial serta budaya. Dua unsur kehidupan manusia ini juga dapat tercipta lewat algoritme yang digunakan manusia setiap hari.
Hal tersebut merupakan sebuah refleksi yang disampaikan Ketua Canada Research Chair dan pengajar di Carleton University, Kanada, Merlyna Lim dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk ”Ritme dan Algoritme Kebudayaan” secara daring, Rabu (10/11/2021) malam.
Menurut Merlyna, kebudayaan dapat diproduksi, dipraktikkan, dan dipertahankan dalam ritme melalui ritus, ritual, dan rambu. Seperti mars dan himne, terdapat budaya yang lebih kaku dari yang lainnya, mengikat, penuh aturan, bahkan hegemonik. Namun, terdapat juga budaya yang memberi kebebasan bergerak untuk bereksperimen dan berekspresi.
Dalam pandangan Merlyna, teknologi membawa aturan dan ritme baru pada kehidupan manusia dan aspek di dalamnya. Hal ini tampak saat terjadinya era modern di Eropa melalui mesin cetak. Laju sebuah mesin cetak dengan dua tarikan setiap detik selama 12 jam sehari dan tak kenal lelah telah membentuk ritme efisiensi.
”Berinteraksi sosial adalah tentang ritme. Kita berteman dengan orang-orang yang memiliki ritme yang sama melewati pola pertemuan tertentu dan berulang kali. Namun, kini algoritme menghadirkan teman dalam tanda kutip dan percakapan sosial melalui perangkat digital. Algoritme juga membantu menemukan teman dan melakukan percakapan,” ujarnya.
Selain rekomendasi teman, masyarakat saat ini juga terus disuguhi rekomendasi makanan yang disantap, film yang ditonton, musik yang didengar, baju yang dipakai, barang yang dibeli, bahkan citra diri dan gaya hidup. Semua rekomendasi tersebut dilakukan oleh algoritme setiap hari hingga akhirnya membentuk jati diri manusia.
Berinteraksi sosial adalah tentang ritme. Kita berteman dengan orang-orang yang memiliki ritme yang sama melewati pola pertemuan tertentu dan berulang kali.
Merlyna juga menyoroti dinamika kehidupan yang berganti selama pandemi karena memaksa semua orang menghadapi situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Ketika ritme harian terusik karena pandemi, bukan tidak mungkin perilaku manusia dapat rusak bila tidak dikendalikan. Akan tetapi, masa pandemi juga memungkinkan orang memikirkan kembali jati dirinya.
”Pandemi dan pemaksaan untuk diam di rumah telah melahirkan ritme baru dengan menghilangkan beberapa aktivitas lama dan memperkenalkan aktivitas baru. Pada saat yang sama, dengan semakin terbaurnya sarana komunikasi dan interaksi digital, pandemi juga telah membuat kehidupan jauh lebih algoritmis,” tuturnya.
Dengan kata lain, lanjut Merlyna, pandemi Covid-19 telah menciptakan aritmia, sebuah istilah dalam dunia kedokteran untuk kondisi dimana jantung berdetak dengan ritme yang tidak teratur atau tidak normal. Aritmia ini juga memengaruhi bagaimana orang berinteraksi satu sama lain dan kemudian membentuk budaya kolektif maupun komunitas.
Pidato Kebudayaan ini merupakan program tahunan yang digelar setiap 10 November atau bertepatan dengan ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Acara ini setiap tahun mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual, yang konsisten melantunkan suara-suara jernih dari Cikini, untuk memberikan manfaat bagi kemajuan peradaban kita.
Pidato Kebudayaan 2021 dibuka dengan pertunjukan ”Continuum”, karya kolaborasi dari Ketua Komite Tari DKJ Yola Yulfianti, Ketua Komite Musik DKJ Adra Karim dan Patrick Hartono. Karya ini akan ditampilkan oleh Josh Marcy dan Nudiandra Sarasvati.
Kota sastra dunia
Dua hari sebelum DKJ menyelenggarakan pidato kebudayaan, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 8 November memilih Jakarta sebagai City of Literature atau Kota Sastra Dunia. Jakarta masuk sebagai salah satu dari 49 kota lain di dunia yang tergabung dalam jaringan kota kreatif dunia (UNESCO’s Creative City Network) tahun 2021 dan menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang terpilih.
Dalam laman resmi UNESCO dijelaskan bahwa pemilihan Jakarta sebagai kota sastra dunia berdasarkan sejarah panjang tentang literasi yang mewarnai ibu kota Indonesia ini. Sejak periode kerajaan, kolonial, hingga awal-awal kemerdekaan Indonesia dan sekarang, Jakarta menjadi pusat penting perbukuan dan literasi. Jakarta juga dinilai memiliki potensi besar untuk peningkatan serta pengembangan sastra dan literasi.
Kemajuan literasi di Jakarta tidak terlepas dari kolaborasi para pekerja perbukuan dan pekerja kreatif yang tergabung dalam Tim Jakarta Kota Buku. Ketua harian Komite Jakarta Kota Buku Laura Bangun Prinsloo mengatakan, usulan Jakarta sebagai Kota Sastra telah disampaikan sejak 2019. Usulan ini disampaikan karena Jakarta memiliki potensi literasi dan kegiatan perbukuan yang cukup aktif.
”Sejak pengajuan usulan tersebut, kami mempersiapkan berkas dokumen untuk UNESCO dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya pelaku perbukuan, lembaga dan organisasi literasi dan kementerian lainnya. Ini kesempatan yang sangat bagus bagi pemprov bersama dengan stakeholder perbukuan untuk bisa mengembangkan aspek kota Jakarta sebagai kota sastra dan literasi,” katanya.
Dalam keterangannya, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI Jakarta Andhika Permata menyatakan bahwa Jakarta dibangun dengan semangat kolaborasi. Ia pun mengapresiasi para kolaborator seperti DKJ maupun para komunitas literasi yang turut berkontribusi dalam memajukan literasi di Ibu Kota.