Melalui pidato kebudayaan bertajuk ”Lumbung Budaya di Sepanjang Gang”, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Melani Budianta menyampaikan pentingnya narasi penciptaan ruang bersama atau ”commoning” di kampung.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik cara pandang terhadap kampung yang selama ini dianggap informal dan antitesis terhadap modernitas kota. Prinsip lumbung budaya atau cultural commons perlu jadi perspektif baru terhadap keberadaan kampung.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Melani Budianta, saat menyampaikan Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2020 bertajuk ”Lumbung Budaya di Sepanjang Gang”, Selasa (10/11/2020) malam, di Jakarta, mengatakan, pandemi Covid-19 awalnya menyerang kluster kelas menengah lalu menyebar ke pinggiran.
Dengan kata lain, pandemi Covid-19 bermigrasi ke kampung urban yang padat hunian dengan fasilitas kesehatan yang minim. Pendatang yang bermukim di sana tanpa kepesertaan jaminan sosial dan tidak punya kartu tanda penduduk lokal tidak mendapatkan bantuan.
Penduduk kampung kota kehilangan pekerjaan di perumahan dan pabrik. Mereka pulang ke desa tanpa pekerjaan. Sementara saat bersamaan, desa kehilangan penghasilan karena kota menghentikan permintaan produk pertanian.
Kampung urban pun selama ini cenderung berkembang tanpa ketahanan pangan. Sejumlah kota dan daerah cenderung tumbuh dengan ketergantungan pada turis tak berkelanjutan.
”Puncak dari kapitalisme global atau paradigma neoliberal adalah hiperurbanisme, seperti kota-kota megapolitan bermunculan. Gerak kapital menyekat ruang masyarakat, semisal pemukiman berbasis kelas dan agama mirip zaman kolonial. Momen krisis pandemi menjadi titik balik dan mulai lahir kesadaran semua orang bisa terdampak,” katanya.
Informal
Selama ini, kampung sulit didefinisikan karena dianggap pemukiman informal tak terencana yang tersebar di tengah atau di pinggiran perkotaan. Kampung biasa dianggap sebagai antitesis modernitas, meski pada saat bersamaan ada nostalgia kampung sebagai asal muasal yang tradisional.
Pada masa kolonial, kampung dipandang sebagai sumber penyakit, kumuh, tempat kurang aman, banyak begal, dan miskin. Dengan pendekatan kolonial seperti itu, pemerintah membangun kampung dengan cara memperbaiki sanitasi, jalan, dan penerangan. Pendekatan modernisasi juga masih memakai cara-cara yang mirip dengan kolonial.
Kemudian, muncul gentrifikasi atau cara pandang mengalihkan kampung yang dianggap identik dengan daerah kumuh menjadi elite. Pembangunan dengan cara pandang seperti itu menyisakan nama kampung yang terkait dengan masa lalu misalnya Kampong Glam di Singapura.
Cara pandang berikutnya adalah kampung sebagai korban penggusuran. Penggusuran merupakan pemaksaan pemindahan warga dengan berbagai alasan. Lalu, belakangan berkembang komodifikasi kampung ditandai dengan menjadikan kampung sebagai tempat swafoto dan destinasi wisata.
Sebagai contoh, pada tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo meluncurkan program 100 kampung tematik. Ada juga gagasan kampung cerdas yang memiliki ciri terkoneksi dengan layanan teknologi informasi di seluruh pelosok.
”Warga kampung menjadi obyek bukan subyek dari program instan dan superfisial yang tidak terkait hidup mereka sehari-hari,” kata Melani sambil menyertakan cerpen berjudul Pintu Tertutup di Kampung Warna karangan Demitria Budiningrum.
Cerpen ini mengisahkan seorang ibu yang berstatus penduduk asli kampung warna, tetapi kehilangan hak privatnya, seperti rumah pribadinya harus dicat warna-warni demi menarik turis dan dicap pembangkang karena tidak suka proyek kampung warna. Dia menduga keras cerpen itu sebagai kritik warga terhadap pembangunan kampung yang tidak mengakomodasi kepentingan penduduk asal.
Berubah
Kondisi pandemi Covid-19 semestinya menjadi momen yang pas untuk mengubah cara pandang terhadap kampung. Mengutip gagasan Governing the Commons dari Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi tahun 2009, Melani memandang pentingnya memandang pembangunan kampung yang partisipatif, inklusif, dan demokratis. Pengaturan ruang terbuka sesuai pemikiran Ostrom adalah oleh komunitas untuk komunitas.
Warga kampung menjadi obyek bukan subyek dari program instan dan superfisial yang tidak terkait hidup mereka sehari-hari.
Dia menjelaskan, commoning sebagai kata kerja, bukan untuk membuat commune yang eksklusif, tetapi membangun commons atau lumbung bersama. Gagasan Ostrom ini adalah antitesis dari ahli ekologi Garrett Hardin tentang The Tragedy of Commons. Hardin memandang bahwa pembangunan ruang terbuka perlu dipagari oleh pemodal.
Dalam perjalanannya membawa prinsip cultural commons sebagai alternatif dari privatisasi kampung oleh negara atau kepentingan pemodal, dia berjumpa dan berinteraksi dengan sejumlah komunitas. Contohnya, Japung Nusantara (jejaring digital untuk membangun lumbung kampung) dan Jaringan Kampung Bekasi. Keduanya sama-sama menggunakan lumbung budaya dan pengetahuan lokal, gotong royong, dan menempatkan warga kampung sebagai subyek.
Bersama sivitas akademika dari 11 fakultas berbeda di UI, dia melakukan penelitian transdisiplin di lima kampung di Jakarta dan sekitarnya, antara lain Cikini Kramat (Jakarta Pusat) dan Nambo (Serpong).
Selain itu, dia mendapati tiga kampung di Kecamatan Karawaci (Kota Tangerang, Banten) yang berhasil menerapkan lumbung budaya bersama. Salah satunya adalah Kampung Markisa di kelurahan Pasar Baru. Kampung Markisa berhasil mengubah lingkungan kumuh menjadi bersih, warga mau bergotong royong, kohesi kuat, dan produksi mandiri material pangan berbahan buah markisa.
”Sayangnya, upaya commoning untuk kampung masih bersifat sporadis baik sebelum maupun selama masa pandemi Covid-19. Kondisi seperti itu belum cukup sistematis untuk mentransformasikan tatanan neoliberal yang dominan,” ujar Melani, yang juga dikenal masyarakat sebagai akademikus, aktivis kebangsaan, dan kritikus sastra.
Mengetengahkan persoalan
Ketua DKJ Danton Sihombing mengatakan, pidato kebudayaan menjadi tradisi tahunan DKJ yang diselenggarakan tiap tanggal 10 November sebagai bagian dari perayaan hari jadi Taman Ismail Marzuki (TIM). TIM adalah pusat kreatif yang kosmopolit dan ditandai seni tidak akan pernah lagi tunduk pada alat percekcokan politik dan penindasan. ”Sastrawan dan budayawan Umar Kayam menyebut TIM sebagai oasis budaya,” ujarnya.
Danton mengatakan, kemandirian DKJ memberi peluang bagi pidato kebudayaan untuk mengetengahkan persoalan aktual dan penting, lalu memperbincangkan, meneropong, dan mengkritisi dengan pemikiran yang jernih melalui perspektif budaya.
Pada malam sebelum pidato Melani, DKJ menampilkan pertunjukan musik hasil kolaborasi Komite Musik DKJ 2020-2023 berjudul ”Di Kampung-kampung”. Pertunjukan musik itu menggunakan cello, piano, kendang, dan nyanyian rap dari Muhammad Amrullah personel Kojek Rap Betawi.