Perguruan Tinggi Diminta Bentuk Satuan Tugas Penanganan Kekerasan Seksual
Ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban kekerasan seksual perlu dijamin. Karena itu, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual perlu segera dibentuk.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Unsur pimpinan perguruan tinggi diminta untuk menyiapkan dan membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan. Hal itu sebagai tindak lanjut terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut dinilai menjadi langkah awal untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Apresiasi terhadap terbitnya Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi salah satunya dinyatakan Jaringan Muda Setara sebagai jejaring orang muda kampus yang menyuarakan isu kesetaraan. Jaringan Muda Setara menemukan berbagai bentuk kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus, terutama pelecehan seksual secara masif.
Namun, sering kali kasus-kasus yang ada dibiarkan begitu saja atau berakhir tanpa penanganan jelas. Bahkan, intimidasi hingga ancaman drop out (DO) justru dialami korban dan pembela yang berani bersuara. Tidak jarang pula, kasus berakhir dengan ”didamaikan”, dan pelaku dibiarkan bebas, sedangkan korban harus menanggung beban psikologis akibat kekerasan seksual tersebut seorang diri.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemdikbudristek Nizam, Senin (8/11/2021), mengatakan, tujuan utama Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Peraturan yang ditetapkan sejak 31 Agustus 2021 ini menuai sambutan positif sejumlah pihak.
Saat ini beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. ”Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya aturan ini dikeluarkan,” tuturnya.
Nizam mengatakan, Permendikbudristek PPKS dinilai detail dalam mengatur langkah penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di samping itu, aturan tersebut membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika.
”Kami mengajak agar kampus kita menjadi lingkungan belajar yang semakin aman dan nyaman untuk mewujudkan Merdeka Belajar,” ujar Nizam.
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga Basuki Rekso Wibowo mendukung penerbitan Permendikbudristek ini. ”Dengan telah ditetapkan serta terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, maka secara yuridis pihak perguruan tinggi dapat melakukan langkah-langkah legal menindak pelaku kekerasan seksual,” ungkapnya.
Peran anak muda
Dalam pernyataan dukungan Jaringan Muda Setara yang terdiri dari berbagai organisasi dan individu di kampus dari berbagai perguruan tinggi disebutkan, Permendikbudristek PPKS ini sangat mendukung gerakan orang muda kampus melawan kekerasan seksual. Sebab, aturan tersebut menyediakan pedoman bagi perguruan tinggi untuk membudayakan praktik pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak kepada korban.
Budaya berpihak kepada korban pun diapresiasi. Peraturan ini dinilai mengusung konsep relasi kuasa jender dalam mendefinisikan kekerasan seksual. Dengan demikian, hal itu membantu perguruan tinggi untuk secara tegas melihat definisi dan bentuk kekerasan seksual yang sering kali tidak diakui terjadi di kampus.
Pemahaman mengenai ketimpangan relasi kuasa ataupun jender serta bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi di kampus akan mencegah keberulangan atau reviktimisasi pada korban. Sebab, dalam banyak kasus pelaporan kekerasan seksual, acap kali korban kembali jadi korban karena disudutkan dengan pertanyaan terkait penampilan, ekspresi, hingga hubungan dengan pelaku.
Secara yuridis pihak perguruan tinggi dapat melakukan langkah-langkah legal menindak pelaku kekerasan seksual.
Selain itu, ada mekanisme pencegahan yang komprehensif dan melibatkan tiap unsur sivitas akademika melalui penguatan tata kelola. Sebagai contoh, pembentukan satuan tugas, penyusunan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, penyediaan layanan pelaporan kasus, dan jaminan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Jadi, aturan ini tak hanya mengakomodasi kelompok tertentu dan meninggalkan kelompok rentan lainnya.
Keberadaan aturan itu dinilai menjamin pemulihan korban dengan intervensi yang diperlukan dan disetujui korban. Orientasi aturan ini tak hanya penegakan hukum terhadap pelaku, tetapi juga memperhatikan pemulihan korban akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya ataupun akibat proses investigasi.
Pencegahan kriminalisasi korban dan pembela dalam penanganan kasus yang sedang berlangsung juga diperlukan. Sebagai bagian dari pelindungan korban dan pembela, aturan itu dinilai menjamin keberlanjutan hak serta perlindungan dari ancaman fisik, nonfisik, hingga kriminalisasi bagi korban dan saksi yang melaporkan peristiwa kekerasan seksual.
Adapun sanksi dalam penanganan kekerasan seksual di kampus terbagi menjadi tiga bagian, yakni ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan mewajibkan pelaku untuk menyatakan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Selain itu, pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang diwajibkan untuk mengikuti pembinaan konseling untuk memberikan efek jera sehingga tidak terjadi keberulangan.
Ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban perlu dijamin melalui pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Partisipasi dari tiap unsur sivitas akademika yang berpihak pada korban seperti mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan lainnya adalah kunci dalam implementasi aturan PPKS ini.
Dengan menetapkan syarat ketat seperti pernah mendampingi korban kekerasan seksual dan proporsi anggota yang melibatkan partisipasi mahasiswa sebesar 50 persen, satgas mampu menjangkau dan mengamati situasi terkini di kampus. Hal ini sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman pada korban mahasiswa karena yang menerima laporan kasusnya adalah teman sebaya mereka.
Aturan ini juga memberikan jaminan perlindungan kepada korban dan saksi. Perlindungan tersebut meliputi, antara lain, perlindungan akademis ataupun pekerjaan sebagai pendidik ataupun tenaga pendidik, perlindungan dari ancaman fisik ataupun nonfisik, perlindungan akan kerahasiaan identitas, perlindungan dari ancaman pidana atau perdata hingga penyediaan rumah aman bila korban dan saksi memerlukan.
Penerapan peraturan tersebut sekaligus memastikan tanggung jawab perguruan tinggi dalam meningkatkan keamanan kampusnya dari kekerasan seksual. Peraturan menteri ini juga mewajibkan kampus menjadi salah satu kunci yang mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Apabila perguruan tinggi tidak melaksanakannya, hal itu berakibat pada pengurangan hak yang dimiliki perguruan tinggi tersebut.
Selain itu, kebutuhan penyandang disabilitas dalam setiap proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bisa diakomodasi. Hal ini merupakan bentuk perlindungan Permen PPKS terhadap hak-hak penyandang disabilitas yang kerap diabaikan. Selain itu, pengakomodasian kebutuhan penyandang disabilitas menunjukkan inklusivitas Permen PPKS terhadap ragam kerentanan korban kekerasan seksual.
Untuk mengakomodasi keragaman kondisi kampus di Indonesia, para pemimpin perguruan tinggi diberi wewenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur di Permen PPKS dan kepastian hukum untuk meminta bantuan dari Mendikbudristek dalam penanganan kasus-kasus berat.
”Kami mengajak semua pihak untuk mendukung Permen PPKS dan mewujudkan implementasinya. Harus dipastikan satgas yang dibentuk di masing-masing kampus dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai tujuan Permendikbud PPKS,” kata Annisa Nurul Hidayah, perwakilan individu di Jaringan Muda Setara.