Warisan Budaya Pertahanan Potensial untuk Pariwisata dan Pendidikan
Warisan budaya pertahanan atau ”defense heritage” dapat menjadi sarana belajar sejarah bagi generasi mendatang. Warisan ini dapat dikembangkan pula untuk pariwisata.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warisan budaya pertahanan di Indonesia dinilai tepat untuk edukasi sejarah dan penanaman nilai nasionalisme. Warisan tersebut juga potensial dikembangkan untuk pariwisata.
Peneliti Ahli Muda Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan, Gerald Theodorus L Toruan, mengatakan, Indonesia merupakan negara ASEAN yang paling lama dijajah dalam sejarah. Adanya warisan budaya pertahanan atau defense heritage menggeser pandangan Indonesia sebagai negara terjajah menjadi negara pejuang. Hal ini patut dipelajari generasi penerus.
”Tapi, sebagian orang sudah melupakan sejarah, khususnya anak muda zaman sekarang. Peninggalan sejarah banyak yang punah,” kata Gerald pada diskusi daring, Rabu (27/10/2021). ”Defense heritage penting untuk mengingatkan kita akan sejarah. Ada juga potensi untuk mengembangkan daerah dan meningkatkan pendapatan asli daerah dari situ,” ujarnya.
Namun, mengembangkan warisan budaya pertahanan tidaklah mudah. Salah satu tantangannya adalah anggapan sebagian publik bahwa museum dan cagar budaya tidak menarik. Selain itu, pelestarian dan pengembangan kerap terhambat anggaran yang terbatas.
Adapun yang disebut warisan budaya pertahanan adalah bangunan atau benda bersejarah Indonesia dari masa kerajaan atau kolonial. Benda atau bangunan itu digunakan untuk melawan atau bertahan dari musuh. Benda atau bangunan itu disebut defense heritage jika bukti fisiknya masih ada hingga sekarang, melibatkan tokoh pejuang Indonesia, hingga ada pengakuan dari masyarakat setempat.
Menurut peneliti warisan budaya pertahanan dari Universitas Pertahanan Jeanne Francoise, defense heritage penting untuk memahami sejarah pada masa depan. Setelah tahun 2045, katanya, akan ada perubahan paradigma bersejarah dan persepsi memahami masa lalu di masyarakat.
”Literasi digital dan kecerdasan buatan akan memperkuat koleksi dan sejarah pertahanan yang utuh, termasuk narasi perjuangan rakyat sehari-hari, bukan hanya sejarah militer,” ucap Joanne.
Kepala Museum TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala Kolonel Sus Yuto Nugroho mengatakan, masa depan berangkat dari sejarah bangsa. Itu sebabnya, edukasi sejarah menjadi penting untuk generasi penerus.
Defense heritage penting untuk mengingatkan kita akan sejarah. Ada juga potensi untuk mengembangkan daerah dan meningkatkan pendapatan asli daerah dari situ.
Dalam konteks tersebut, museum tidak hanya berperan untuk menyimpan dan melestarikan warisan budaya pertahanan. Museum juga berperan mengembangkan narasi warisan, lalu mengomunikasikannya ke publik. Museum juga mesti berinovasi untuk menarik minat publik.
”Museum, menurut saya, bukan gudang, bukan tempat penyimpanan barang berdebu. Museum sebagai tempat transfer pengetahuan,” katanya.
Hingga kini Museum TNI AU Dirgantara Mandala menyimpan lebih dari 3.500 koleksi. Museum yang berlokasi di Yogyakarta ini juga menyimpan 61 pesawat terbang, termasuk pesawat N-250 Gatotkaca yang dibuat oleh Presiden RI ketiga BJ Habibie. Pesawat itu rampung dikerjakan beberapa saat sebelum Indonesia berusia 50 tahun.
Sejumlah upaya dilakukan untuk menumbuhkan minat pengunjung terhadap bidang penerbangan. Misalnya, mengajak pengunjung melihat pesawat lepas landas dan mendarat.
Revitalisasi
Menurut Gerald, pengembangan warisan budaya pertahanan menjadi destinasi pariwisata mesti dilakukan bertahap. Tahap pertama ialah melakukan revitalisasi warisan tersebut. Ia mengatakan, sebagian bangunan bersejarah bernilai pertahanan rusak, bahkan terancam punah.
”Lalu, buat peta jalan tentang ini. Diskusi dengan para pemangku kepentingan di daerah, audiensi dengan pemerintah pusat, hingga mencari dukungan anggaran penting,” kata Gerald.
Penyusunan serta pengemasan narasi sejarah juga penting untuk menarik minat publik. Menurut data Badan Pusat Statistik dalam Statistik Sosial Budaya, pada 2012 hanya 2,51 persen penduduk berusia 10 tahun ke atas yang mengunjungi situs sejarah atau budaya selama setahun terakhir. Pada 2018, angkanya meningkat jadi 10,9 persen.