Menelusuri Jejak Kemanunggalan TNI dengan Rakyat
Menelusuri cagar budaya pertahanan di sejumlah tempat di Tanah Air mengungkap kemanunggalan tentara dan rakyat telah berlangsung sejak abad ke-16. Modal penting menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F09%2F70389151_1537368850.jpg)
Veteran memberikan hormat dalam acara peringatan peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/9/2018). Aksi teatrikal perobekan bendera di hotel yang dulu bernama Hotel Yamato itu untuk mengingatkan kembali generasi muda agar tetap bertekad mempertahankan kedaulatan NKRI.
Semangat perjuangan untuk mempertahankan bangsa tidak hanya terekam dalam cerita heroik para pahlawan besar. Spirit itu juga tersimpan dalam benda cagar budaya. Berbeda dengan cagar budaya bernilai pertahanan di negara lain yang cenderung merepresentasikan dominasi militer, defense heritage di Indonesia justru memperlihatkan kepaduan tentara dan rakyat dalam membangun pertahanan bangsa dan negara.
Sepanjang tahun 2020, Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Gerald Theodorus L Toruan dan pengajar di Universitas Pertahanan Jeanne Francois berkeliling ke tujuh kota untuk menelusuri cagar budaya pertahanan atau defense heritage. Tujuh kota yang dimaksud adalah Jakarta, Ambon (Maluku), Palembang (Sumatera Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Bandung (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), dan Padang (Sumatera Barat).
Satu per satu cagar budaya yang mengandung unsur perjuangan rakyat baik dalam pembangunannya maupun yang diakui warga setempat sebagai wadah perjuangan rakyat mereka sambangi. Misalnya, sisa-sisa Kasteel Batavia di Jakarta, Benteng Amsterdam di Ambon, Benteng Kuto Besak di Palembang, Gudang Logistik TNI di Padang, serta seluruh bagian Kota Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Meski terhambat pandemi Covid-19, keduanya bersikukuh mengunjungi sejumlah situs dan memperkuatnya dengan berbagai argumentasi historis guna memasukkannya ke dalam kategori defense heritage. Sebab, baik secara akademik maupun populer, konsep ini belum dikenal di Indonesia. Masyarakat umumnya menyamakan defense heritage dengan warisan budaya atau cagar budaya militer (military heritage).
Baca juga: Mural Sejarah dan Perjuangan Bangsa di Jakarta
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F038fcf49-372a-4eae-98f1-c584575a6f52_jpg.jpg)
Benteng Amsterdam di Desa Hila-Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah, Rabu (18/9/2019). Sebelum menjadi benteng pertahanan Belanda dan pusat administrasi VOC, bangunan ini digunakan sebagai gudang rempah-rempah milik Portugis.
Padahal, keduanya memiliki definisi berbeda. Tidak semua cagar budaya militer mengandung nilai pertahanan. Misalnya, bangunan-bangunan yang didirikan berdasarkan keputusan politis lalu diakui sebagai cagar budaya karena menyimpan kisah universal tentang kemanusiaan.
”Nilai defense heritage tidak harus bersifat universal, tetapi mendukung kepentingan nasional bangsa yang bersangkutan. Syarat-syarat idealnya antara lain memiliki narasi sejarah perjuangan bangsa, dikenal oleh masyarakat sekitarnya, dan apabila mungkin dipreservasi oleh pemerintahannya,” kata Gerald Theodorus L Toruan dalam peluncuran buku yang ia tulis bersama Jeanne Francois berjudul Warisan Budaya Bernilai Pertahanan (Defense Heritage) Indonesia di Gedung Balitbang Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Defense heritage semestinya mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sebab, cagar budaya pertahanan menempati posisi penting dalam sistem pertahanan negara modern, yaitu sebagai salah satu sarana program bela negara.
Theodorus menambahkan, penelusuran dan pengelompokan itu penting karena Indonesia memiliki banyak cagar budaya pertahanan yang berasal dari masa kerajaan ataupun kolonial. Mulai dari yang berbentuk benteng, bangunan sisa kolonial, jembatan, hingga tempat saksi peperangan. Namun, sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan.
Padahal, kata Jeanne Francois, defense heritage semestinya mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sebab, cagar budaya pertahanan menempati posisi penting dalam sistem pertahanan negara modern, yaitu sebagai salah satu sarana program bela negara.
Baca juga: Pesan dari Film Berusia 33 Tahun
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2FWhatsApp-Image-2021-10-06-at-16.29.39_1633512639.jpeg)
Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan, Gerald Theodorus L Toruan (kiri), dan pengajar di Universitas Pertahanan, Jeanne Francois (kanan), dalam peluncuran buku berjudul Warisan Budaya Bernilai Pertahanan (Defense Heritage) Indonesia di Gedung Balitbang Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Dalam sistem pertahanan negara modern, program bela negara menekankan pemahaman yang utuh tentang kehidupan berbangsa, bernegara, dan kebinekaan melalui pembelajaran dan penelitian. Modern dalam pikiran yang tercerahkan ini sama pentingnya dengan modernisasi bidang persenjataan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista). ”Untuk menuju ke sana, maka defense heritage harus menjadi bagian dalam doktrin pertahanan negara,” kata Jeanne.
Bersatu dengan rakyat
Ia menambahkan, selain menemukan kondiri riil defense heritage Indonesia, penelitian ini juga mengungkap bahwa Indonesia memiliki warisan budaya pertahanan yang sangat beragam yang muncul dalam titimangsa 1511-1949. Selama empat abad, cagar budaya yang ada merepresentasikan semangat pertahanan yang terbagi dalam dua kelompok, yakni proses menuju keindonesiaan dan upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika dilihat dari jenisnya, defense heritage di Tanah Air juga hadir dalam berbagai bentuk. Contohnya rumah, jalan, jembatan, pesantren, bahkan kawasan atau wilayah. Tidak seperti di negara-negara lain yang umumnya hanya mewariskan benteng militer.
Menurut Jeanne, keberagaman itu sekaligus menunjukkan bahwa sejak abad ke-16, sektor pertahanan bangsa ini tidak pernah dimonopoli oleh militer, tetapi merupakan bagian dari masyarakat. ”Masyarakat Indonesia (sejak dulu) sudah mengenal sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta), sehingga perjuangan yang terjadi bersifat manunggal antara tentara dan rakyat,” kata Jeanne.
Baca juga: Babi ”Ngepet”, Bipang, dan Perlawanan dari Blambangan
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190919Bah11_1568867734.jpg)
Bendera Merah Putih raksasa dibentangkan saat Teaterikal Sejarah Peristiwa Perobekan Bendera ”Surabaya Merah Putih” di Hotel Majapahit, Surabaya, Kamis (19/9/2019). Persitiwa yang terjadi pada 19 September 1945 dipicu sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan WVCh Ploegman yang mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di Hotel Yamato yang saat ini bernama Hotel Majapahit. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia dan tentara AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) hingga sekutu mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945.
Kota Surabaya, misalnya, hampir seluruh unsur wilayahnya merepresentasikan semangat pertahanan. Mulai dari ikon kota, yakni patung suro (ikan hiu) dan boyo (buaya) berasal dari cerita rakyat tentang perjuangan dua hewan tersebut dalam mempertahankan bagian dari wilayah masing-masing. Semangat itu juga mewujud dalam karakter warga setempat yang berani melawan, mengambil risiko, dan tak pernah sungkan mengatakan hal yang sebenarnya.
Karakter itu juga mendukung perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan RI, tentara Sekutu datang ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengembalikan Indonesia sebagai wilayah jajahan Belanda. Ketika memasuki Surabaya pada 30 Oktober 1945, pasukan lokal yang merupakan gabungan antara tentara dan rakyat menyerang pasukan sekutu yang dipimpin Brigadir AWS Mallaby.
Bahkan, dalam baku tembak di sekitar Jembatan Merah, Surabaya, jenderal bintang satu angkatan perang Inggris itu tewas. Ia ditembak oleh pemuda Indonesia yang hingga saat ini tidak diketahui identitasnya. Mobilnya pun diledakkan dengan granat sehingga jenazah Mallaby sulit dikenali.
Peristiwa ini memicu ultimatum dari Inggris agar seluruh pasukan Indonesia di Surabaya menyerahkan senjata tanpa syarat pada 9 November 1945. Namun, ancaman itu tidak dihiraukan sehingga pecah pertempuran sehari setelahnya, yaitu pada 10 November 1945.
Baca juga: Monumen ”Ibu Pemersatu Bangsa” Diresmikan di Bengkulu
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F465621_getattachment345589dd-5dd4-46ce-9c6e-dd4a09cae4f4457007.jpg)
Warga melintasi Jembatan Merah di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/8). Pemerintah Kota Surabaya terus merawat bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi landmark kota.
Saat itu, ribuan pasukan yang berasal dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan organisasi perjuangan bersenjata yang dibentuk berbagai elemen masyarakat bersatu melawan Tentara Sekutu hingga akhirnya mampu mempertahankan Republik dengan simbol perobekan warna biru pada bendera Belanda di puncak Hotel Yamato (sekarang: Hotel Majapahit Surabaya). Kemenangan yang mampu menggerakkan perlawanan di seluruh penjuru Tanah Air itu diraih dengan korban jiwa belasan ribu rakyat sehingga 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Semangat pertahanan juga terekam di Benteng Nieuw Victoria, Ambon, Maluku. Sekalipun dibangun oleh Portugis pada abad ke-16 kemudian diambil alih Belanda sebagai pusat pemerintahan yang mengeruk kekayaan Maluku, bangunan ini sarat dengan perjuangan rakyat Indonesia.
Semangat pertahanan juga terekam di Benteng Nieuw Victoria, Ambon, Maluku. Sekalipun dibangun oleh Portugis pada abad ke-16 kemudian diambil alih Belanda sebagai pusat pemerintahan yang mengeruk kekayaan Maluku, bangunan ini sarat dengan perjuangan rakyat Indonesia. Sebab, di benteng inilah para kolonialis memertahankan diri dari berbagai serangan perlawanan masyarakat pribumi.
Di depan Benteng Nieuw Victoria, pahlawan nasional Pattimura digantung pada 6 Desember 1817 karena mengonsolidasikan rakyat serta memimpin sejumlah pertempuran untuk mengusir Belanda dari Ambon. Di dalam benteng itu pula terdapat bekas penjara bawah tanah tempat menawan Pattimura sebelum menjalani hukuman gantung.
Baca juga: Milenial dan 185 Pahlawan Nasional
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F33506a3c-1150-4186-a8ce-cb0c5a4659c1_jpg-1.jpg)
Benteng Nieuw Victoria di kota Ambon, Maluku, Rabu (18/9/2019).
Di Palembang, Sumatera Selatan, pertahanan rakyat tersimpan dalam Benteng Kuto Besak yang berdiri tepat di depan Sungai Musi. Benteng yang dibangun pada era Sultan Mahmud Muhammad Bahauddin dari Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-18 itu didirikan untuk melindungi kesultanan dari serangan kolonialis.
Di Padang, Sumatera Barat, ditemukan pula Gudang Logistik TNI di tengah kawasan Kota Tua Padang yang selama ini jarang diketahui. Gudang logistik yang digunakan semasa perang itu juga dilengkapi dengan prasasti amanat Jenderal Sudirman. Namun, kondisinya memprihatinkan.
Sejarah rakyat
Menurut Jeanne, identifikasi defense heritage juga berperan penting dalam perspektif historis. Dari sejumlah cagar budaya itu, perjuangan rakyat sehari-hari dapat masuk sebagai bagian dari sejarah total Indonesia. Dengan begitu, paradigma bahwa narasi sejarah hanya ditulis oleh orang-orang besar pun bisa mulai diubah, dengan mengedepankan pengalaman rakyat yang terekam di cagar budaya pertahanan.
”Ini membuat sejarah pertahanan nasional mencakup harmonisasi sejarah sipil dan militer, tidak hanya sejarah militer,” ujar Jeanne.
Baca juga: Menara Seruling, Keping Sejarah Pertahanan di Malang

Kawasan Benteng Kuto Besak di Palembang, Rabu (24/2).
Sultan Palembang Darussalam Raden Muhamad Fauwaz Diradja menambahkan, di wilayahnya, penelitian dan pengembangan konsep defense heritage bermanfaat dalam merawat memori kolektif masyarakat tentang perjuangan yang pernah dilakukan di masa lalu. Contohnya di Palembang, masyarakat selalu mengingat Benteng Kuto Besak. Ingatan ini penting untuk selalu ditanamkan kepada generasi berikutnya.
Penelitian dan peluncuran buku yang ditulis Theodorus dan Jeanne diapresiasi sejumlah pihak. Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Agus Aris Munandar salah satunya. Menurut dia, ini merupakan pustaka pertama di Indonesia yang membahas cagar budaya bernilai pertahanan. Studi terkait juga sebelumnya tidak pernah dilakukan di Indonesia.
Kepala Balitbang Kemhan Marsekal Muda Julexi Tambayong mengatakan, buku ini memberikan pemahaman dasar bahwa Indonesia bertugas menjaga dan melestarikan obyek cagar budaya pertahanan. Sebab, hal itu juga merupakan bagian dari sejarah perjuangan yang membentuk identitas Indonesia. Ia berharap, ke depan defense heritage semakin mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat dalam upaya membangun nasionalisme dan patriotisme.