Perpustakaan sekolah berperan penting dalam upaya meningkatkan literasi membaca siswa Indonesia yang rendah. Namun, kondisi mayoritas perpustakaan sekolah di Indonesia masih memprihatinkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perpustakaan sekolah dinilai belum menjadi bagian penting untuk mendukung mutu pendidikan. Padahal, dalam mendukung gerakan literasi sekolah, perpustakaan menjadi jantung untuk mengintegrasikan aktivitas literasi di sekolah dengan kurikulum dan pembelajaran.
Perpustakaan sekolah punya peran untuk meningkatkan literasi membaca siswa Indonesia yang rendah. Karena itu, keberadaan perpustakaan sekolah tidak boleh lagi sekadar ada dan dikelola seadanya oleh guru untuk mendapat tambahan jam mengajar yang kurang. Perpustakaan sekolah harus menjadi investasi penting untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dalam mendukung budaya literasi warga sekolah.
Peran penting perpustakaan sekolah dalam pendidikan dirayakan melalui Bulan Perpustakaan Sekolah Internasional pada Oktober. International Association of School Librarianship (IASL) sejak 1999 menetapkan tanggal 18 Oktober sebagai Hari Perpustakaan Sekolah Internasional, tetapi pada 2007 diubah jadi Bulan Perpustakaan Sekolah Internasional yang tahun ini bertema ”Dongeng dan Cerita Rakyat di Seluruh Dunia”.
Ketua Umum Forum Perpustakaan Sekolah/Madrasah Indonesia Mulyanto di Jakarta, Minggu (17/10/2021), memaparkan, perpustakaan sekolah masih belum dianggap sebagai bagian penting untuk mendukung mutu pendidikan.
Menurut Mulyanto yang juga Kepala SMAN 73 DKI Jakarta, tantangan pengembangan perpustakaan sekolah/madrasah tak hanya buruknya infrastruktur perpustakaan. Pengelolaan perpustakaan juga tak memadai karena dikelola guru tak terlatih sebagai pustakawan demi memenuhi kekurangan jam mengajar di sekolah.
”Selama mindset (cara pandang) kepala sekolah, dinas pendidikan, dan pemerintah daerah belum melihat perpustakaan sekolah sebagai investasi jangka panjang pendidikan, sulit membuat perpustakaan sekolah jadi prioritas. Padahal, kondisi Indonesia darurat dalam kemampuan dan budaya literasi,” ungkapnya.
Terkait hal itu, perlu regulasi pendidikan yang memasukkan indikator pengembangan perpustakaan sekolah dalam penilaian kinerja kepala sekolah dengan poin tinggi. Akreditasi perpustakaan sekolah bisa menjadi penilaian kinerja kepala sekolah dan akreditasi sekolah.
Dari Statistik Pendidikan 2019-2020, belum semua sekolah punya perpustakaan, terutama di jenjang SD yang menjadi fondasi kecakapan literasi membaca. Jumlah perpustakaan 109.051 unit dari total 149.435 sekolah negeri dan swasta. Kondisi perpustakaan yang baik hanya di 13.927 sekolah, selebihnya rusak ringan, sedang, dan berat.
Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (Aptusi) Muhamad Ihsanudin mengatakan, di era informasi ini, harus ada pergeseran dalam memandang peran strategis perpustakaan sekolah yang tidak sekadar sebagai tempat membaca dan peminjaman buku. Tenaga perpustakaan/pustakawan jadi mitra guru untuk memperkuat program literasi informasi yang semakin penting bagi siswa.
Sekolah yang mengembangkan pembelajaran aktif, kata Ihsanudin, seperti problem based learning hingga belajar inqury, memiliki kebutuhan tinggi untuk mengembangkan perpustakaan sekolah yang membantu siswa memiliki kompetensi literasi informasi.
”Kalau sekolahnya masih dengan model ceramah, tidak membuka ruang diskusi, ya, kebutuhan untuk membaca jadi kurang. Perpustakaan sekolah pun tidak dioptimalkan,” kata Ihsanudin yang juga Kepala Perpustakaan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong.
Penguatan perpustakaan sekolah dengan dukungan tenaga perpustakaan yang profesional semakin mendesak. Berdasarkan Laporan Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2018, sebanyak 7 dari 10 siswa usia 15 tahun memiliki kemampuan membaca di bawah kompetensi minimum.
Laporan Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 menunjukkan indeks literasi aktivitas membaca siswa Indonesia berada pada skala 37,32 dari skala 100 atau kategori rendah.
Kalau sekolahnya masih dengan model ceramah, tidak membuka ruang diskusi, ya, kebutuhan untuk membaca jadi kurang. Perpustakaan sekolah pun tidak dioptimalkan.
Selain itu, ada perubahan kebijakan ujian nasional jadi asesmen kompetensi minimum lewat Asesmen Nasional yang salah satunya meningkatkan literasi baca siswa. Dengan demikian, perpustakaan sekolah memiliki peran strategis dalam meningkatkan literasi baca siswa.
Hal ini salah satunya dengan pemenuhan kebutuhan tenaga perpustakaan sekolah yang berkualifikasi dan kompeten, yang semakin penting untuk mendukung peningkatan literasi baca siswa sebagai salah satu tujuan strategis pembangunan pendidikan nasional.
Ihsanudin memaparkan jumlah tenaga perpustakaan dari SD-SMA/SMK di negeri dan swasta berdasarkan Data Pokok Pendidikan pada Desember 2019 terdata 36.199 orang (sekolah negeri berkisar 30.000 orang). Dari jumlah itu, hanya tiga persen berstatus aparatur sipil negara atau 1.203 orang.
Peta kebutuhan tenaga perpustakaan di sekolah negeri dengan jumlah sekolah 165.724 sekolah, idealnya 209.143 tenaga perpustakaan. ”Kami minta supaya di pengangkatan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) juga kebutuhan tenaga perpustakaan dipenuhi. Ada sejumlah daerah yang mengajukan formasi, tetapi masih kecil,” kata Ihsanudin.
Selain itu, peraturan tentang tugas tambahan guru/pendidik sebagai kepala perpustakaan perlu dihilangkan. Dengan demikian, pengembangan perpustakaan semakin serius untuk mendukung pembelajaran di sekolah.
Kondisi literasi
Indeks aktivitas literasi membaca (indeks Alibaca) di 34 provinsi yang diteliti Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 menunjukkan penyumbang nilai tertinggi literasi ialah dimensi kecakapan, yang meliputi bebas buta aksara dan rata-rata lama sekolah. Selanjutnya, dimensi alternatif, yakni sekolah yang memiliki jaringan internet. Peningkatan literasi bisa dengan memanfaatkan perangkat elektronik.
Adapun dimensi akses terbilang rendah. Akses di sekolah termasuk sangat rendah yang ditunjukkan minimnya angka perpustakaan sekolah dalam kondisi baik (24,06) dan belum memadainya jumlah pengelola perpustakaan sekolah (14,34).
Demikian pula dimensi budaya, menunjukkan kebiasaan membaca dalam mengaskes bahan-bahan literasi rendah. Perilaku membaca buku cetak, membaca koran atau majalah, membaca artikel atau berita di media elektronik/internet, serta berkunjung ke perpustakaan umum dan taman bacaan, pun rendah.