Ekosistem seni tari di Jakarta bergeliat kembali. Festival tari yang menggabungkan pertunjukan, diskusi, lokakarya, dan kolaborasi menjadi penandanya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Sama seperti daerah-daerah lain, ekosistem seni—khususnya seni tari—di Jakarta sempat ”mati suri” selama pandemi Covid-19. Pentas, proyek seni, hingga kolaborasi seni terpaksa ditunda atau batal. Jakarta International Contemporary (Jicon) Dance Festival menjadi penanda dimulainya kembali kegiatan seni yang tertunda.
Jicon Dance Festival adalah festival tari yang diinisiasi Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Festival ini berlangsung pada 13-30 Oktober 2021 di Creative Hall M Bloc Space, Jakarta. Publik juga dapat mengakses festival ini secara daring.
Menurut Ketua Komite Tari DKJ Yola Yulfianti, pandemi tidak hanya meniadakan panggung, tetapi juga pekerjaan. Sejumlah sanggar tari terpaksa tutup karena pengelolanya tak sanggup lagi membayar tagihan sewa, listrik, dan lainnya. Pekerjaan bagi para penari hingga kini masih belum banyak, tetapi keadaan mereka membaik karena ada semangat baru yang tumbuh.
Tujuannya, untuk menyusun ulang strategi artistik dan menghasilkan kebaruan di dunia seni.
”Kita harus punya strategi. Ada panggung yang mesti digeser (dari luring ke daring). Media sosial juga menjadi panggung lain yang punya nilai untuk dimonetisasi,” kata Yola pada pembukaan Jicon Dance Festival di Jakarta, Rabu (13/10/2021).
Kendati pandemi mematikan panggung fisik, di sisi lain pandemi mendorong seniman menjajal kemungkinan baru mempresentasikan seni tari. Pemanfaatan teknologi dan media baru pun dieksplorasi para seniman.
Hal ini tampak dari program Digital Dance Lab, bagian dari Jicon Dance Festival. Ini merupakan program eksperimental yang mengolaborasikan enam koreografer dan seniman media baru. Hasil kolaborasi berupa pertunjukan tari yang akan ditayangkan perdana pada 16 Oktober 2021 di laman dan kanal Youtube Jicon.id.
”Ini contoh persiapan agar dunia pertunjukan nanti bisa berpartisipasi ke teknologi metaverse yang sebentar lagi mengubah cara kita berinteraksi, berkreasi, dan melakukan pertukaran nilai-nilai,” kata Ketua Dewan DKJ Danton Sihombing.
Ia menambahkan, hal ini sekaligus upaya menjawab tantangan keterbatasan berkarya selama pandemi. Eksplorasi dan eksperimen perlu terus dilakukan dilakukan. Tujuannya, untuk menyusun ulang strategi artistik dan menghasilkan kebaruan di dunia seni.
Selain itu, ada pula kolaborasi antara seniman Indonesia dan seniman dari Yayasan Tanpopo-No-Ye, Jepang. Kolaborasi itu melibatkan komunitas orang berkebutuhan khusus dan mahasiswa.
Ada pula kolaborasi dengan seniman dari Maputo, Mozambik. Akan ada pertukaran karya yang dihasilkan dari Jicon Dance Festival dengan karya dari Kinani Festival yang berlangsung di Maputo. Selain itu, wawasan para penari turut diperluas melalui rangkaian diskusi.
”Ini untuk menghubungkan seniman tari, seniman pertunjukan, seniman media baru, dan juga masyarakat agar ekosistem tari, khususnya tari, tetap bisa terjaga dan mendapat tempat di masyarakat,” tutur Direktur Jicon Dance Festival Soni Marti Lova.
Sementara itu, Ketua Komisi Program DKJ Harry Purwanto mengatakan, ekosistem seni dapat berkelanjutan jika ada apresiasi dari masyarakat. Apresiasi dapat ditumbuhkan, antara lain, melalui edukasi atau presentasi seni yang bernilai.
”Perlu introspeksi, apa kita sudah memberi pengetahuan yang baik (melalui seni) ke masyarakat?” kata Harry. ”Saya optimistis dengan potensi teman-teman yang berkecimpung di dunia tari. Banyak potensi yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta Gumilar Ekalaya mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomitmen mendukung kegiatan seni. Publik didorong menginisiasi kegiatan kreatif, sementara pemerintah berperan menjadi fasilitator. Ia optimistis ekosistem seni dan ekonomi kreatif akan berkembang dengan partisipasi pemuda-pemudi.