Abdulrazak Gurnah, Kemanusiaan dalam Sepotong Fiksi
Pengalaman Abdulrazak Gurnah sebagai pengungsi saat remaja melekat hingga usianya 70-an tahun. Pengalaman itu jadi basis menulis novel tentang dampak kolonialisme, sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan oleh pembaca.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Telepon di rumah novelis Abdulrazak Gurnah (72) tidak berhenti berdering. Satu demi satu wartawan meneleponnya, meminta waktu wawancara setelah Gurnah menang Hadiah Nobel Sastra 2021. Gurnah yang masih setengah percaya pun meladeni permintaan itu satu demi satu.
Beberapa menit sebelum pengumuman Nobel Sastra, Kamis (7/10/2021), Sekretaris Permanen Akademi Swedia Mats Malm menelepon Gurnah saat ia sedang di dapur. Gurnah menang Nobel Sastra, katanya. Gurnah tidak lekas percaya. Dia kira ini telepon iseng.
”Isu ini beredar beberapa minggu, bahkan beberapa bulan, sebelum pengumuman. Saya tidak menyangka sama sekali. Saya malah bertanya-tanya, siapa yang akan menerimanya (Nobel Sastra)? Saya berpikir menunggu dan mendengar sendiri pengumuman itu,” kata Gurnah saat wawancara telepon dengan Kepala Pejabat Ilmiah Penjangkauan Hadiah Nobel Adam Smith, sesaat setelah pengumuman Nobel Sastra.
Belum selesai diwawancara, Gurnah mendapat telepon dari kantor berita BBC. Profesor emeritus Sastra Inggris dan Pascakolonial Universitas Kent, Inggris, itu meminta wartawan meneleponnya lima menit lagi. Saat diwawancara BBC pun, telepon Gurnah tidak berhenti berbunyi.
Situasi ini asing bagi pria kelahiran 1948 tersebut. Pada wawancara dengan BBC, ia mengaku sangat terkejut dan ”badannya gemetar sedikit”. Nobel Sastra dinilai bukan hanya pengakuan atas karya sastra, melainkan juga gagasan yang disampaikan lewat tulisan.
Gurnah dikenal sebagai novelis yang lahir dan tumbuh di Zanzibar, Tanzania. Ia kabur dari negaranya pada tahun 1960-an karena gejolak politik. Kala itu usianya 18 tahun. Orang-orang seperti Gurnah—orang Arab—dipersekusi dan dibunuh di bawah pemerintahan Presiden Abeid Karume.
Ia kabur ke Inggris dan menetap di sana hingga sekarang. Gurnah pernah kembali ke Zanzibar pada 1984 sebelum ayahnya meninggal.
Gurnah mulai menulis dalam pelariannya di Inggris saat berumur 21 tahun. Ia menulis saja tanpa tahu bahwa ke depan ia akan menulis tentang kolonialisme secara konsisten di novel-novelnya.
Ada 10 novel Gurnah yang terbit dan ada pula sejumlah cerita pendek yang ia tulis. Novel pertamanya berjudul Memory of Departure (1987). Sejak novel keempat berjudul Paradise (1994) terbit, Gurnah diakui sebagai salah satu penulis paling menonjol.
Tulisan Gurnah banyak bicara soal kolonialisme, utamanya yang dialami orang Afrika. Kolonialisme kemudian berdampak pada banyaknya orang yang terpaksa kabur mencari suaka ke belahan dunia lain, masalah identitas yang hilang di negara orang, hingga pergumulan pencari suaka menjalani hidup baru.
”(Nobel Sastra) diberikan untuk perjuangannya yang tak kenal lelah mengungkap dampak kolonialisme dan nasib para pengungsi di antara jurang kebudayaan dan benua-benua,” kata Sekretaris Permanen Akademi Swedia.
Memori
Tulisan Gurnah berangkat dari memorinya sebagai pengungsi. Ia mengaku hanya menulis hal yang ia tahu dan menurutnya menarik. Tulisannya bertolak dari pemikiran dan pengalaman pribadi ditambah imajinasi.
Kendati sudah lama tinggal di Inggris, pikirannya masih kerap tertambat di Zanzibar. Hal ini wajar bagi sebagian orang yang pernah mengalami hal serupa dengan Gurnah.
Itu sebabnya pembaca bisa menemukan kisah soal kolonialisme, orang Afrika, dan paduan keduanya bagi kehidupan karakter di novelnya. Menurut Akademi Swedia, Gurnah menyampaikan kisahnya dengan kejujuran yang brutal. Keteguhan dia pada kebenaran kerap membuat novelnya suram dan sulit ditebak.
Gurnah menilai orang Eropa sering salah paham tentang migrasi. Para migran diberi label ”migran ekonomi” dan hal itu dianggap merugikan. Padahal, kata Gurnah, banyak orang Eropa pergi dari negara asalnya dan menjajah negara lain dengan tujuan ekonomi pula.
Migran datang bukan hanya karena kebutuhan, melainkan juga karena mereka punya sesuatu untuk dibagikan di negara tujuannya. Gurnah mengatakan, migran tidak datang dengan tangan hampa. Secara tidak langsung, Gurnah ingin migran dipandang setara, tidak semata sebagai pendatang miskin.
Ia juga menyoroti buntut lain kolonialisme dan migrasi, yaitu banyak migran yang kehilangan dirinya di negara baru. Akar kebudayaan dan identitas mereka tercabut begitu saja. Ada pula yang mengalami rasisme.
Lebih jauh, migran dipaksa berhadapan dengan dua pilihan; meninggalkan hidup lama atau membangun kehidupan baru di negara baru. Novel Gurnah dianggap menyingkap perspektif lain soal pengungsi dan kebudayaan, khususnya kekayaan budaya Afrika.
Kemenangan Gurnah sebagai peraih Nobel Sastra disebut tidak berhubungan dengan gelombang migrasi akibat konflik beberapa tahun terakhir. Ketua Komite Nobel Anders Olsson mengatakan, Gurnah menang atas karya yang dihasilkan bertahun-tahun.
Fiksi dinilai dapat membantu orang-orang memahami kolonialisme hingga migrasi secara utuh. Jika negara-negara kaya selama ini melihat migran dari layar kaca atau gawai, Gurnah berharap agar mereka dapat melihat kemanusiaan para migran dari tulisannya.
”Yang bisa fiksi lakukan adalah mengisi kekosongan. Dan, memungkinkan orang melihat bahwa ada cerita rumit yang diperhalus dengan kebohongan dan distorsi, yang membuat mereka mengabaikan apa yang tidak ingin didengar,” kata Gurnah.
Kebanggaan
Gurnah menambah daftar orang Afrika yang pernah menerima Hadiah Nobel. Orang Afrika pertama yang menang Nobel Sastra adalah Wole Soyinka pada 1986. Setelah Soyinka, Gurnah menjadi orang kulit berwarna kedua dari wilayah Sub-Sahara Afrika yang menerima Nobel Sastra.
Menteri Edukasi dan Pelatihan Vokasi Zanzibar Simai Mohammed Said mengatakan, Gurnah telah membawa kebanggaan bagi Zanzibar. Gurnah kini menjadi pembicaraan orang muda dan tua di sana. Kemenangan Gurnah diharapkan jadi pendorong masyarakat untuk kembali membaca. (REUTERS/AP/AFP/BBC/nobelprize.org)
Abudlrazak Gurnah
Tempat, tanggal lahir : Zanzibar, Tanzania 1984
Pendidikan terakhir : Phd di Universitas Kent, Canterbury, Inggris