Sekolah Berstrategi Atasi Learning Loss Sekaligus Memastikan Sekolah Tetap Aman
Keinginan para siswa dan guru bersekolah tatap muka menjadi motivasi mereka ikut vaksinasi. Selain vaksinasi, penguatan sistem pembelajaran campuran juga perlu dilakukan untuk kejar ketertinggalan belajar para siswa.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembelajaran tatap muka terbatas di tengah situasi pandemi Covid-19 yang mulai menurun menghadapi tantangan untuk mencapai ketertinggalan pembelajaran sekaligus memastikan sekolah aman dari penyebaran Covid-19. Pemerintah terus diingatkan agar pembukaan sekolah ini tetap memastikan siswa dan guru terlindungi dengan meningkatkan cakupan vaksinasi serta mendukung peningkatan kualitas pembelajaran.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak menjadikan vaksinasi sebagai syarat mengikuti pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas bagi guru dan anak. Namun, demi memberikan keamanan dan kenyamanan belajar bersama, vaksinasi menjadi salah satu hal penting yang mesti dipenuhi sekolah. Upaya jemput bola pun dilakukan sekolah dan daerah untuk memperluas cakupan vaksinasi Covid-19 pada guru dan tenaga kependidikan serta siswa usia 12-17 tahun.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Rabu (29/9/2021) pukul 18.00, tenaga pendidik yang sudah mendapat vaksin lengkap mencapai 2,092 juta orang dan yang mendapat vaksin satu sekitar 2,532 juta orang. Adapun, kelompok usia 12-17 tahun yang sudah divaksin lengkap 2,564 juta anak (9,6 persen) dan vaksin satu sebanyak 3,898 juta anak (14,6 persen) dari total kelompok sasaran sekitar 26,705 juta anak.
Sekolah-sekolah di Provinsi Aceh berusaha keras untuk menggenjot realisasi vaksinasi terhadap siswa dan tenaga pendidik. Realisasi vaksinasi mulai meningkat, tetapi masih ada orangtua siswa yang belum setuju vaksin.
Kepala SMA N 4 Banda Aceh, Bachtiar, menuturkan, dirinya optimis target vaksinasi 100 persen pada 30 September 2021 tercapai. Keinginan para siswa dan guru bersekolah tatap muka menjadi motivasi mereka ikut vaksinasi.
“Sampai sekarang masih ada siswa yang divaksin, kesadaran siswa dan orangtua cukup baik. Lebih banyak yang vaksin mandiri daripada di sekolah,” kata Bachtiar.
Kepala SMA 10 Padang, Sumatera Barat, Parendangan, mengatakan, dengan pendekatan, sekolah mendapatkan izin tertulis mengikuti vaksinasi Covid-19 dari semua orangtua siswa. ”Bukan syarat wajib, tetapi untuk kenyamanan proses pembelajaran tatap muka,” ujar Parendangan.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Selatan Annadwi menuturkan, minat warga untuk vaksin cukup tinggi. Meski demikian, masih ada orangtua murid yang belum setuju anaknya divaksin karena masih ragu terhadap kegunaan dan kehalalan vaksin.
Kami datangi rumah siswa, memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa vaksin ini halal dan aman bagi tubuh.
“Kami datangi rumah siswa, memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa vaksin ini halal dan aman bagi tubuh,” kata Annadwi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, pemerintah pusat wajib melakukan percepatan vaksinasi kepada peserta didik usia 12-17 tahun. Tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah agar terbentuk kekebalan kelompok.
“Kalau hanya guru yang divaksinasi, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa,” ujar Retno.
Selain itu, pemerintah pusat harus memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak paling banyak di Pulau Jawa dan itupun hanya menyasar anak-anak di perkotaan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman B Pulungan mengatakan, vaksinasi anak harus terus didorong secara cepat. Bukan hanya untuk kelompok usia 12-17 tahun, tapi juga di bawahnya.
“Kami mendukung PTM segera, tapi minta tolong supaya dikawal betul PTM yang aman dan sehat, serta bisa menjamin kesehatan anak Indonesia,” ujar Aman.
Mengatasi Learning Loss
Sementara itu, untuk mengatasi learning loss, Bank Dunia mengingatkan bahwa pembukaan sekolah tetap harus memperkuat kualitas pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun, saat ini implementasi PJJ di Indonesia menghadapi tantangan, bukan hanya dari segi infrastruktur jaringan dan peralatan teknologi informasi dan komunikasi yang terbatas. Kemampuan guru untuk melaksanakan PJJ berkualitas yang berpusat pada siswa dan pembelajaran aktif juga belum disiapkan dengan baik.
Pembelajaran campuran untuk mengatasi PTM terbatas, secara umum dijalankan guru dengan cara melakukan pembelajaran di kelas dan di rumah secara bersamaan lewat platform zoom/Gmeet. Model belajar campuran dengan daring secara bersamaan ini memudahkan guru untuk menyampaikan pembelajaran sekaligus kepada semua siswa, Namun, keefektifannya diragukan karena pembelajaran daring masih tetap dilakukan dengan model konvensional.
Sebelum sekolah dibuka, Dinas Pendidikan DKI Jakarta melatih perwakilan guru, orangtua, hingga siswa melalui kurikulum khusus yang difasilitasi lembaga distribusi pelatihan Sekolah.mu. Guru mendapat pelatihan lebih banyak dengan 8 modul, terkait topik pedagogis seperti asesmen, pembelajaran campuran, dan kesiapan protokol kesehatan.
Kepala Sekolah SMKN 38 Jakarta, Ida Saidah mengatakan, metode pembelajaran yang dipelajari dalam pelatihan itu, menurut Ida, terkait kurikulum Merdeka Belajar yang kini mulai diperkenalkan Kemendikbudristek. Kurikulum itu menekankan peran guru dalam melihat kemampuan dan kebutuhan siswa.
Namun, pelatihan yang relatif singkat dan saluran daring bisa menjadi kendala. "Kami sendiri tidak alami kendala berarti kemarin. Namun, ini mungkin bisa jadi masalah bagi guru-guru di sekolah lain karena bisa sedikit mengganggu waktu mengajar dan waktunya cukup singkat untuk mengejar penilaian," ujar Ida.
Kepala Bidang Advokasi Guru, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyayangkan demi terlaksananya PTM di Jakarta, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mewajibkan para guru, siswa dan orangtua untuk mengisi modul yang menjadi syarat agar sekolah tersebut bisa melakukan PTM terbatas dengan platform swasta. Saat mengikuti program ini, data pribadi masuk ke platform swasta, lalu mereka terpapar dengan berbagai program gratis dan berbayar yang dilaksanakan platform swasta tersebut.
P2G menghitung terdapat 11 modul yang wajib diisi, berisi konsep yang tidak berkaitan dengan persiapan PTM Terbatas di DKI Jakarta. “Padahal pengisian modul ini adalah persiapan syarat untuk PTM. Meskipun materi persiapan PTM memang diberikan, tapi porsinya lebih sedikit dibandingkan promosi platform tersebut untuk memperkenalkan paket pembelajaran mereka,” tambah Iman.
Yang juga disayangkan, perusahaan platform pembelajaran ini dalam modulnya, hanya memberikan pemahaman tentang blended learning bagi guru dan siswa, tapi tidak mempertimbangkan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah dalam implementasinya.
"Pelatihan blended learning dipelajari secara mandiri, dengan membaca tayangan power point dan membuka link-link video, ya mirip-mirip pelatihan Kartu Pra Kerja. Jadi tidak ada pelatihan dengan penjelasan langsung, tidak ada dialog dengan instruktur yang sebenarnya dibutuhkan guru,” kata Abdul Rahman, guru di Jakarta.
Sementara itu, Kepala SMAN 6 Yogyakarta Siti Hajarwati menyatakan, selama pandemi Covid-19, SMAN 6 Yogyakarta menggunakan kurikulum darurat yang diperkenalkan Kemendikbudristek. Dengan memakai kurikulum darurat, proses pembelajaran pun bisa difokuskan pada materi yang esensial.
Selain itu, selama pandemi Covid-19, SMAN 6 Yogyakarta tetap menjalankan pendidikan karakter. Salah satu bentuk pendidikan karakter itu adalah melalui podcast yang dibuat oleh pihak sekolah dan disiarkan melalui Youtube. Podcast yang melibatkan guru dan murid itu membahas beragam tema, misalnya bagaimana menjadi pribadi yang berintegritas, bagaimana meningkatkan prestasi di sekolah, hingga masalah percintaan.
“Podcast itu kami gunakan untuk penanaman karakter siswa. Podcast itu dikelola oleh guru dan kadang kita mengundang siswa,” ujar Hajarwati.
Selama pandemi Covid-19, SMAN 6 Yogyakarta juga menggelar kegiatan kemah virtual sebagai bagian dari pendidikan karakter. Dalam kegiatan itu, para siswa diminta mendirikan tenda di rumah masing-masing, lalu mengikuti kegiatan bersama secara daring melalui aplikasi Zoom.
Selama kegiatan kemah virtual itu, para siswa mendapat sejumlah tugas, misalnya menanam tanaman, membagikan masker ke tetangga, mengikuti kuis, dan sebagainya. “Anak-anak mendirikan tenda di kamar atau halaman rumah, tapi kegiatannya dipimpin dari sekolah. Tendanya itu pakai selimut dan kursi enggak masalah,” katanya. (ELN/SKA/ERK/HRS/AIN/JOL/DIA)