Meski telah berusia 40 tahun, cerita bersambung ”Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata dipandang masih tetap relevan untuk dibaca dan dihayati dengan kondisi saat ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat dekade lalu, cerita bersambung karya Sindhunata berjudul Seri Ramayana terbit di harian Kompas. Meski telah berusia 40 tahun, cerbung yang kemudian dibukukan menjadi novel fiksi berjudul Anak Bajang Menggiring Angin itu tetap relevan untuk dibaca dan dihayati dalam kondisi saat ini.
Hal iyu mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Anak Bajang Lahir Kembali”, Minggu (26/9/2021), yang digelar harian Kompas. Hadir sebagai pembicara, sastrawan Joko Pinurbo, Editor Gramedia Pustaka Utama (GPU) Mirna Yulistianti, dan Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra. Sebagai kejutan bagi audiens, sang penulis, Sindhunata, dihadirkan di akhir diskusi.
Dari hasil pemaknaan Joko Pinurbo, ia memandang bahwa karya sastra ini berisi renungan yang berat dan tidak mudah dipahami. Salah satu renungan yang sulit dicerna Joko Pinurbo ialah tentang bagaimana penderitaan menjadi bagian dari nilai manusia yang paling berharga.
”Buku ini bagi saya sangat tepat untuk kita rayakan dan lahirkan kembali pada masa pandemi. Sebab, buku ini semacam cermin untuk melihat wajah keseharian kita. Beberapa karya Romo Sindhu ini merupakan alegori mengenai banyak hal dalam kehidupan kita, termasuk sosial politik,” ujar sastrawan yang biasa dipanggil Jokpin ini.
Jokpin juga menyoroti hubungan antara Rama dan Shinta yang relevan dengan kondisi saat ini. Dengan arogansinya, Rama kerap menganggap bahwa Shinta tidak memiliki hak untuk menyatakan kebenaran. Jokpin pun membandingkan arogansi Rama dengan beberapa golongan masyarakat saat ini yang mengklaim dirinya memiliki otoritas untuk menyatakan orang lain baik atau tidak.
Lebih spesifik, Jokpin juga mengembangkan problematika Rama dan Shinta yang cenderung memiliki hubungan patriarki. Rama dinilai sebagai perwakilan sempurna dari budaya patriarki yang menganggap perempuan tidak memiliki hak menyatakan kebenarannya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang cenderung patriarki ini sejatinya masih terjadi dalam masyarakat kita.
Agar Anak Bajang Menggiring Angin dapat terus relevan dibaca oleh generasi saat ini, Jokpin memandang perlunya transformasi karya sastra ini dari tulisan menjadi lisan, seperti sandiwara radio atau siniar (podcast). Gema kata-kata dan pesannya pun dinilai akan lebih terasa karena karya sastra ini ditulis dengan bahasa yang rilis dan ritmis.
Sindhunata mengatakan, Anak Bajang Menggiring Angin tidak akan terbit jika tidak ada penugasan dari Rustam Affandi yang menjabat sebagai redakturnya saat itu. Ia pun tidak pernah berpikir penugasan dari atasannya akan menjadi cerita bersambung hingga dibukukan.
Bagi Sindhunata, anak bajang ini adalah simbol ketidaksempurnaan dan lain dengan manusia yang terlahir sempurna. Namun, pada kenyataannya, manusia selalu menyia-nyiakan kesempurnaannya. Sementara anak bajang terus mencoba menghayati nilai-nilai untuk menuju kesempurnaan.
”Figur anak bajang ada dalam tokoh-tokoh dalam karya ini. Figur yang dikritik anak bajang mungkin terdapat juga dalam diri kita yang sering menyia-nyiakan kesempurnaan,” ujarnya.
Cerita bersambung
Tepat 40 tahun Anak Bajang Menggiring Angin, Sindhunata menulis sekuel kedua Anak Bajang berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Cerbung ini terbit setiap hari di harian Kompas mulai hari ini hingga 150 edisi ke depan.
Sutta Dharmasaputra mengatakan, Kompas perlu memuat cerita bersambung karena media tidak hanya mengabarkan kejadian di sekitar kita, tetapi juga memberikan pelepasan atau relaksasi. ”Di tengah kondisi pandemi saat ini yang penuh dengan kepenatan, kita juga perlu melihat sesuatu dalam perspektif yang lain. Kami mengawali dengan cerita bersambung Agustinus Wibowo dan telah selesai pada akhir September ini. Kebetulan Romo Sindhu juga berkeinginan membuat sekuel lanjutan Anak Bajang Menggiring Angin,” kata Sutta.
Mirna mengatakan, selama empat dekade, karya Sindhunata terus-menerus mendapat respons yang sangat baik dari pembaca. Beberapa pembaca bahkan membagikan kutipan dalam Anak Bajang Menggiring Angin ke media sosial pribadinya masing-masing.
”Tidak ada perubahan dari cetakan pertama hingga terbaru saat ini. Orisinalitas dan otentisitasnya tetap terjaga, yang berubah hanya sampulnya saja. Pembaca milenial akan banyak bertemu kalimat-kalimat yang bisa dijadikan kutipan sebagai penguat pada masa pandemi atau pada saat-saat terpuruk. Banyak juga cerita kecil yang masih relevan dengan kondisi sosial ataupun politik saat ini,” ucapnya.
Hari ini, GPU meluncurkan sampul terbaru Anak Bajang Menggiring Angin bersamaan dengan peresmian Museum Anak Bajang dan peluncuran cerbung Kompas, Anak Bajang Mengayun Bulan, di Omah Petroek, Karangkletak, Wonorejo, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.