Festival Anak Bajang menghadirkan sosok ”Anak Bajang” sebagai sumber belajar untuk menerima keadaan, belajar hidup sederhana, belajar untuk bersolidaritas, dan terus memberi meski keadaan terbatas.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Museum Anak Bajang menggelar Festival Anak Bajang secara hibrid, Senin (27/9/2021) pagi, di Omah Petroek, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini mengajak publik untuk selalu berharapan akan dunia yang lebih baik.
Festival Anak Bajang terdiri dari enam rangkaian acara, yaitu peresmian Museum Anak Bajang oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, perayaan 40 tahun novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata sekaligus peluncuran edisi cetak ulang terbaru, peluncuran cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan di harian Kompas, pembukaan pameran lukisan ”Sukrosono” karya Susilo Budi, pentas Sanggar Tari Bambang Paningron, dan pertunjukan wayang kulit ”Sumantri Ngêngêr” oleh Ki Purwoko.
”Festival Anak Bajang membuka kembali harapan akan ruang ekspresi bagi para seniman dan pekerja budaya meskipun masih sangat terbatas akibat pemberlakuan pembatasan kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19,” kata Kepala Museum Anak Bajang Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Jumat (24/9/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Festival ini juga mengajak semua pihak, lebih-lebih pekerja media, untuk tetap tangguh dalam menyebarkan optimisme. Di tengah pandemi, jurnalistik menjadi ujung tombak penyebaran harapan dan keceriaan.
”Festival Anak Bajang menghadirkan sosok ’Anak Bajang’ sebagai sumber belajar. Belajar untuk menerima keadaan, belajar hidup sederhana, belajar untuk bersolidaritas, dan terus memberi meski keadaan terbatas. Festival ini merupakan langkah awal Museum Anak Bajang dalam mendukung program Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemendikbudristek,” kata Rhoma.
Museum Anak Bajang telah terdaftar sebagai museum ke-22 di Kabupaten Sleman, DIY. Museum ini meliputi seluruh kawasan Omah Petroek yang terbagi dalam beberapa wilayah, antara lain Penyarikan yang menampilkan aspek jurnalistik dengan tokoh utamanya Jakob Oetama, lalu wilayah Anak Bajang, wilayah Basis, wilayah Panepen, dan wilayah rumah ibadat lintas agama dan kepercayaan (kapel, langgar, kelenteng, pura, dan sebagainya).
Novel ”Anak Bajang Menggiring Angin” tersusun dari cerita bersambung Seri Ramayana karya Sindhunata yang terbit perdana di harian Kompas, Minggu 1 Februari 1981. Wiracarita legendaris ini rutin tampil di harian Kompas setiap minggu, selama hampir setahun.
Buku ”Anak Bajang Menggiring Angin” mendulang minat luar biasa dari masyarakat. Buku ini setidaknya telah terbit dalam berbagai macam versi sampul dan dicetak berulang kali.
Tepat 40 tahun ”Anak Bajang Menggiring Angin”, Museum Anak Bajang berdiri dan Sidhunata menulis cerita Anak Bajang kedua berjudul ”Anak Bajang Mengayun Bulan”. Cerita ini akan tayang di harian Kompas setiap hari, mulai Senin (27/9/2021) hingga 150 edisi ke depan.
”Tiba-tiba Anak Bajang datang sendiri dengan plot yang sederhana, tetapi saya harus mengisinya. Begitu memasuki pandemi, saya semakin intens menulisnya,” ujar Sindhunata.
Menyambut peluncuran cerita bersambung ”Anak Bajang Mengayun Bulan”, Kompas menggelar Webinar ”Anak Bajang Lahir Kembali” pada Minggu (26/9/2021) pukul 15.00-17.00. Hadir sebagai pembicara sastrawan Joko Pinurbo; editor Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, dan Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra.