Perempuan pembela Hak Asasi Manusia perlu mendapat perlindungan khusus dari berbagai ancaman dan teror. Negara harus melindungi mereka saat menjalankan tugas-tugas kemanusiaan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
POLRES PEGUNUNGAN BINTANG
Ratusan tenaga kesehatan berjalan kaki mengelilingi Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Kamis (16/9/2021). Aksi ini sebagai ungkapan dukacita dan penghormatan bagi Gabriella Meilani, seorang tenaga kesehatan yang menjadi korban dalam aksi penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata di Distrik Kiwirok.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati bekerja di bidang kemanusiaan, hingga kini perempuan pembela hak asasi manusia rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan tak luput dari ancaman atau teror. Kerentanan para perempuan tersebut terjadi di sejumlah negara yang mengalami konflik, termasuk di Indonesia.
Bahkan, di Indonesia, pekan lalu, di Papua, di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, seorang perempuan tenaga kesehatan, Gabriella Meilani, meninggal setelah serangan dan pembakaran Puskesmas Kiwirok. Sekitar 10 tenaga kesehatan juga mengalami luka-luka.
Bertepatan dengan peringatan Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September 2021, Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan kepada semua pihak agar memperkuat cita-cita dunia mewujudkan perdamaian di dalam negeri dan di antara bangsa-bangsa.
”Penyerangan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, dan menyebar ketakutan terhadap tenaga kesehatan dalam situasi pandemi Covid-19 maupun dalam situasi konflik merupakan aksi kejahatan luar biasa,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani dalam pernyataan sikap, Senin (21/9/2021).
Bersama komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang, Tiasri Wiandani, Rainy Hutabarat, dan Olivia Salampessy, Andy menegaskan, tenaga kesehatan merupakan pekerja kemanusiaan yang dibutuhkan dalam berbagai situasi dan seharusnya mendapatkan perlindungan khusus termasuk dalam situasi konflik bersenjata.
Sebab, Konvensi Geneva Pertama tanggal 12 Agustus 1949 menyatakan pentingnya perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Geneva melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Geneva tanggal 12 Agustus 1949.
Karena itulah, Komnas Perempuan mendukung Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mewujudkan pemenuhan perlindungan perempuan pembela HAM dalam menjalankan kerja-kerja kemanusiaan yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Komnas Perempuan juga menyoroti situasi perempuan di Afghanistan, yang ditandai pelanggaran hak-hak asasi perempuan berupa pembatasan akses secara luas terhadap berbagai sumber daya melalui berbagai aturan. Bahkan, perempuan di negara tersebut terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan, juga kehilangan pekerjaan serta kehilangan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Karena tidak boleh ada toleransi sekecil apa pun terhadap segala bentuk kekerasan dan kita harus bebas dari segala bentuk diskriminasi.
Ancaman terhadap perempuan-perempuan yang terlibat dalam berbagai kegiatan publik, tidak hanya di Afghanistan, tetapi juga di Myanmar dan negara-negara lain yang mengalami konflik sosial.
Karena itu, Komnas Perempuan mendorong negara-negara agar menyerukan penyelesaian konflik bersenjata dan konflik sosial lainnya berpedoman pada Rekomendasi Umum No 30 CEDAW tentang perlindungan kelompok rentan dan pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik.
DOKUMENTASI LP3BH MANOKWARI
Para pengungsi di hutan setelah insiden penyerangan Pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, 2 September 2021.
Tak boleh ditoleransi
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati masyarakat, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan, harus mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak untuk dapat hidup aman, bebas dari segala aksi kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa.
”Karena tidak boleh ada toleransi sekecil apa pun terhadap segala bentuk kekerasan dan kita harus bebas dari segala bentuk diskriminasi,” ujar Menteri Bintang yang mengingatkan perlindungan perempuan sejalan dengan prinsip CEDAW.
Karena itu, Bintang menyatakan warga Papua harus dilindungi agar bisa menjalani kehidupan dengan normal, tanpa dibayang-bayangi teror dan ketakutan. Ketika Papua kembali damai dan kondusif, pemerintah akan bisa dengan tenang melanjutkan pembangunan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua, Mamberob Yosephus Rumakiek, menegaskan, kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi di mana-mana menunjukkan betapa perempuan sangat rentan dengan kekerasan.
”Peristiwa yang dialami Suster Gabriel menunjukkan bahwa perlindungan ekstra kepada perempuan, terutama yang bekerja di wilayah konflik, perlu mendapat perhatian serius,” kata Mamberob.