Seleksi PPPK Karut-marut, Guru Honorer Tuntut Keadilan
Penyelenggaraan seleksi PPPK dari kelompok guru honorer banyak bermasalah dan merugikan guru.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan rekrutmen guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK yang awalnya memberikan secercah harapan bagi guru honorer di sekolah negeri kini semakin suram. Guru-guru honorer dari berbagai mata pelajaran di sekolah negeri yang telah terdata di data pokok pendidikan dan seharusnya masuk dalam tes seleksi PPPK tahap satu pekan ini tidak bisa ikut ujian. Mereka juga khawatir karena hasil tes kemampuan teknis di bawah rata-rata ambang batas kelulusan.
Sekretaris Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Wijaya mengatakan, penyelenggaraan seleksi PPPK dari kelompok guru honorer banyak bermasalah dan merugikan guru. Para guru honorer terus melaporkan berbagai kendala yang dihadapi untuk bisa ikut di seleksi tahap satu.
”Ketidakadilan yang dialami guru ini karena hal-hal teknis yang tidak konsisten dari panitia seleksi, termasuk dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kami akan berjuang supaya hak guru untuk mengikuti seleksi PPPK secara adil bisa diberikan kepada guru,” kata Wijaya, Rabu (15/9/2021), di Jakarta.
Berbagai laporan disampaikan, antara lain, dari guru honorer pengampu mata pelajaran Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, dan Geografi di SMA. Ada dua surat edaran dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Kemendikbudristek, yang berbeda.
Laporan dari sekitar 90.000 guru honorer yang didampingi PB PGRI juga mengeluhkan soal kemampuan teknis mereka yang jauh dari kisi-kisi atau uji coba yang dilatihkan ke guru oleh Kemendikbudristek. Para guru merasa cemas karena nilai kemampuan teknis di bawah ambang batas yang ditetapkan.
Secara terpisah, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, guru-guru honorer Sejarah yang sudah lolos seleksi administrasi, mendapat nomor ujian dan bisa mencetak nomor ujian. Akan tetapi, mereka tidak mendapatkan titik lokasi ujian dan jadwal ujian.
Awalnya, ada 16 guru sejarah di DKI Jakarta yang melapor dan terus bertambah. Ternyata laporan juga datang dari guru-guru honor bidang Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi yang satu rumpun dengan sejarah.
Sumardiansyah mengatakan, karut-marut guru honorer yang memiliki nomor ujian tetapi tidak bisa melaksanakan tes di tahap 1 akibat sistem dan ketentuan yang tidak konsisten. Para guru bingung dan sampai saat ini tidak mendapatkan solusi atas ketidakadilan yang menimpa mereka.
Guru honorer sejarah, misalnya, mengacu pada beredarnya dua dokumen Surat Edaran Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru PPPK Tahun 2021. Keduanya memiliki kop dan nomor surat yang sama, tapi terdapat perbedaan lampiran di antara keduanya. Pada dokumen pertama, Sejarah disebutkan tidak linier dengan Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Namun, pada dokumen kedua justru disebutkan Sejarah linier dengan Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi.
”Beredarnya dua dokumen tersebut membawa implikasi kebingungan guru Sejarah honorer dalam melihat linieritas yang berkenaan dengan pemilihan formasi di sekolah induk,” kata Sumardiansyah.
Ketika ada kesempatan reset, guru Sejarah yang tidak ada formasi di sekolah induk, memilih ke sekolah lain. Ada juga guru Sejarah yang memanfaatkan reset beralih ke mata pelajaran yang disebutkan linier, yakni Ekonomi, Sosiologi, atau Geografi.
Di sistem, guru tidak ditolak saat mereset. Akan tetapi, ketika pengumuman jadwal ujian, guru yang sudah punya nomor ujian dan bisa mencetak kartu, justru tidak mendapat tanggal ujian dan titik lokasi.
Dampak dari kejadian tersebut, para guru tidak dapat mengikuti ujian seleksi PPPK tahap I dan terpaksa diarahkan mengikuti seleksi PPPK tahap II. Para guru honorer ini harus bersaing dengan pelamar lain dari jalur umum dengan jumlah formasi sisa yang semakin sedikit.
”Secara psikologis hal ini juga sangat merugikan guru Sejarah honorer. Hal ini terjadi juga pada guru honorer lain. Kami akan terus memperjuangkan keadilan buat para guru yang dirugikan sistem ini karena punya dasar yang kuat,” ujar Sumardiansyah yang juga Wakil Ketua APKS PB PGRI.
Kekhawatiran juga membayangi guru honorer pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah negeri. Yuliana, salah satu guru PAK di SMA Negeri di Jawa Barat, mengatakan, dia mendapat nomor ujian, tapi tidak jelas apakah bisa ikut ujian.
”Seharusnya kalau sesuai syarat untuk guru honorer yang terdata di Dapodik, ya di tahap satu. Tapi, tidak ada formasi guru PAK di Jawa Barat. Namun, sistemnya menerima. Karena tidak bisa ujian di tahap satu, belum tahu juga apa bisa di tahap dua. Kami cek, untuk Jawa Barat tetap belum ada formasi guru PAK,” jelas Yuliana.
Padahal, kata Yuliana, guru honorer berharap ada peningkatan kesejahteraan dan perlindungan dengan menjadi PPPK. ”Kami menyayangkan untuk bisa ikut tes saja terkendala. Apalagi formasi guru PAK di seluruh Indonesia memang minim dibuka, hanya daerah tertentu. Padahal, guru PAK di sekolah negeri kurang,” jelas Yuliana.