Berdasarkan survei Kemendikbudristek per 4 September 2021, dari 537.140 sekolah, sebanyak 26,99 persen di antaranya telah menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) dan 73 persen sekolah lainnya belum menggelar PTM.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas secara bertahap telah digelar di hampir 30 persen sekolah. Karena itu, desakan untuk memastikan PTM terbatas yang aman di sekolah dan mengendalikan supaya sekolah agar tidak menjadi sumber penyebaran Covid-19 terus dilakukan.
Direktur Sekolah Dasar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sri Wahyuningsih, Jumat (10/9/2021), dalam webinar ”Pembelajaran Tatap Muka di Tengah Pandemi Covid-19" mengatakan, berdasarkan data survei PTM Terbatas oleh Kemendikbudristek per 4 September 2021, dari 537.140 sekolah yang sudah melaksanakan PTM sebanyak 59.574 sekolah atau 26,99 persen. Sementara itu, sekitar 73 persen sekolah lainnya belum melaksanakan PTM.
Dalam webinar yang digelar Diskusi Kelompok Kerja RCCE atau Kelompok Kerja Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat untuk Covid-19 itu, Sri mengatakan, belajar dari rumah (BDR) yang berkepanjangan menyebabkan learning loss atau hilangnya masa pembelajaran yang berkepanjangan. Hasil pembelajaran sulit diukur karena anak-anak yang mulai tidak disiplin mengerjakan tugas atau orangtua yang justru mengerjakan tugas anak-anak.
”Selain gejala learning loss, soal karakter anak juga dikeluhkan, mulai bergeser ke perilaku negatif seperti tidak disiplin, tidak membaca, hingga tidak mengerjakan tugas. PTM terbatas diharapkan bisa mulai memperbaiki dampak dari pembelajaran yang tidak optimal akibat BDR,” kata Arti.
Dari kajian Kemendikbudristek pada April-Mei 2020, sebagian besar peserta didik menerapkan BDR dengan cara mengerjakan soal-soal dari guru. Intensitas belajar-mengajar model BDR menurun, di SD yang belajar setiap hari berkisar 60 persen, semakin ke level SMP dan SMA/SMK berkurang di kisaran 31-36 persen. Bahkan, ada yang jadwal belajarnya tidak tentu.
Secara umum, siswa belajar di kisaran 1-2 jam per hari, bahkan ada yang kurang dari satu jam. Interaksi guru dan siswa pun menurun, di SD 10,2 jam per minggu, SMP 8,9 jam per minggu, serta SMA/SMK 9,1 jam per minggu. Persepsi siswa terhadap BDR pun sebagian besar yakni 62,5 persen tidak senang, sisanya senang. Para orangtua juga mengalami kelelahan (burn out), tertinggi di jenjang SD, lalu SMP, dan SMA/SMK.
Sri mengatakan PTM harus dipersiapkan karena sekolah sebagai layanan publik harus dibuka. Ada tahapan persiapan oleh sekolah dan orangtua harus memahami esensi PTM.
Untuk memastikan sekolah aman, kata Sri, sekolah harus memenuhi panduan dalam menjalankan PTM terbatas yang menaati protokol kesehatan. Dana Bantuan Operasional Sekolah dapat digunakan untuk melengkapi berbagai infrastruktur untuk memenuhi syarat protokol kesehatan. Pembelajaran di sekolah dilakukan secara terbatas yang diatur sekolah.
Jam belajar diminta 2-3 jam per hari, tapi bisa disesuaikan dengan kondisi sekolah yang dikomunikasikan dengan orangtua. (Sri Wahyuningsih)
”Jam belajar diminta 2-3 jam per hari, tapi bisa disesuaikan dengan kondisi sekolah yang dikomunikasikan dengan orangtua,” ujar Sri.
Sri mengingatkan agar sekolah dapat mengotimalkan peran Satuan Tugas Covid-19 untuk mengawasi proses PTM di sekolah. Sebab, pembelajaran tatap muka di era pandemi ini menuntut perubahan perilaku yang harus dipantau terus-menerus agar ditaati semua warga sekolah sehingga menjadi kebiasaan baru untuk keselamatan bersama.
Masih Khawatir
Megawati Puteri, perwakilan orangtua mengatakan, PTM di sekolah di kondisi saat ini masih dikhawatirkan sebagian besar orangtua. Namun, orangtua merasa lega karena ada pilihan untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan PTM.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Sekolah Cikal Maya Noviasari mengatakan, tim Satgas Covid-19 di sekolah mendata semua warga sekolah, dari guru, karyawan, siswa, hingga keluarga agar kondisi kesehatan mereka terpantau. Ada formulir daring yang harus diisi tiap minggu untuk melaporkan kesehatan diri.
”Banyak penyesuaian perilaku yang harus terus dibiasakan. Namanya anak-anak kan, ketika bertemu dengan teman-teman, ya, bisa lupa jaga jarak. Nah, Satgas ini sudah memastikan supaya semua guru dan karyawan memahami protokol kesehatan agar saling mengingatkan jika ada yang abai,” kata Maya.
Menurut Maya, sampai saat ini ada sekitar 50 persen orangtua yang mengizinkan siswa PTM di sekolah. Untuk itu, tetap dipastikan siswa yang BDR mendapatkan layanan belajar yang sama. Untuk perlengkapan belajar bisa dikirim ke rumah atau diambil ke sekolah sehingga saat belajar daring dapat melakukan pembelajaran yang sama dengan anak-anak di ruang kelas.
Maya mencontohkan kebiasaan baru yang diterapkan, yakni siswa tidak menyimpan tas di loker, tetapi di meja masing-masing. Saat siswa hendak minum, siswa harus keluar ruangan kelas. Meskipun kelas ber-AC, pintu dan jendela dibuka. Saat pembelajaran selama dua jam berakhir, siswa diawasi supaya tidak berkerumun dan segera pulang.
Risang Rimbatmaja dari UNICEF mengatakan, UNICEF melakukan survei persepsi orangtua terhadap PTM. Tujuannya untuk melihat, apakah orangtua setuju PTM karena merasa capek mendampingi anak BDR, mempersiapkan anaknya, memastikan sekolah sehat, berdialog dengan guru, meminta persiapan yang matang dari sekolah, hingga orangtua memahami atau tidak sekolah aman untuk PTM. Survei dilakukan pada 1.200 orang dari sejumlah daerah yang akan dirilis pertengahan September ini.
Pemantauan ke sekolah
Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim kemarin meninjau PTM terbatas di Bogor dan DKI Jakarta. Nadiem didampingi Anggota Komisi X DPR Putra Nababan mengecek pelaksanaan PTM terbatas di SD Swasta Santo Fransiskus III, SMP PGRI 20, dan SMAN 71.
Saat ini, Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3, di mana sekolah sudah diperbolehkan melaksanakan PTM terbatas. ”Hari ini saya sangat gembira melihat kembali pembelajaran dan interaksi di sekolah. Semoga segenap warga sekolah dapat mempertahankan disiplin protokol kesehatan dan semangat dalam menjalankan PTM terbatas,” ujar Nadiem.
Nadiem mengingatkan, sekolah di wilayah PPKM level 1-3 sudah diperbolehkan PTM terbatas. ”Apalagi yang pendidik dan tenaga kependidikannya sudah divaksinasi secara lengkap, ada kewajiban bagi sekolah memberikan opsi PTM terbatas dan juga pembelajaran jarak jauh (PJJ) tanpa diskriminasi karena orangtualah yang memegang keputusan terakhir. Itu sudah diatur dalam SKB Empat Menteri,” lanjutnya.