Ketentuan Dana BOS bagi Sekolah Kecil Dikaji Ulang, Batal Berlaku Tahun 2022
Pemerintah memastikan pencairan dana BOS dengan syarat jumlah siswa tak berlaku tahun 2022. Kebijakan ini disambut baik dan dikaji ulang lebih lanjut agar tak merugikan siswa miskin.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
DOKUMENTASI SMP PGRI 4 BANDAR LAMPUNG
Siswa Kelas VII SMP PGRI 4 Bandar Lampung memulai pembelajaran tatap muka, Senin (6/9/2021). Siswa yang sebagian besar anak-anak panti asuhan ini mendapatkan pendidikan gratis di SMP PGRI 4 Bandar Lampung yang masuk kategori sekolah kecil. Sekolah ini terancam tidak mendapat dana bantuan operasional sekolah karena jumlah siswa di bawah 60 orang, padahal sekolah melayani siswa miskin.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menunda ketentuan pemberian dana bantuan operasional sekolah yang mempersyaratkan jumlah total 60 siswa di sekolah. Keputusan ini mengingat dampak pandemi Covid-19 pada dunia pendidikan yang masih berlangsung hingga saat ini berimbas pada sekolah dan masyarakat, termasuk sekolah kecil.
Persyaratan untuk mendapatkan BOS agar dipastikan tidak malah justru mencerabut hak siswa miskin mengenyam pendidikan. Selama ini sekolah kecil yang umumnya dikelola yayasan itu berdiri untuk melayani siswa miskin, panti asuhan, tak memiliki alternatif karena tak tertampung di negeri, dan peserta didik di daerah terpencil yang belum terlayani sekolah negeri.
Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X yang membahas rencana anggaran pendidikan di RABPN 2022, Rabu (8/9/2021), mengapresiasi masukan dari Komisi X dan masyarakat mengenai berbagai kekhawatiran dan kecemasan terhadap implementasi persyaratan sekolah penerima dana BOS. Program tersebut sudah ada sejak 2019 dan ada waktu tiga tahun untuk menyosialisasikan kebijakan hingga 2021. Sesuai ketentuan ini, berarti kebijakan dana BOS untuk sekolah dengan minimal 60 siswa diberlakukan tahun 2022.
”Setelah kami mengevaluasi dan mengingat pandemi punya dampak besar pada siswa, kami memutuskan tidak memberlakukan syarat tersebut pada 2022. Semoga ini bisa menenangkan masyarakat. Pandemi ini suatu situasi agak ekstrem. Jadi kita harus punya fleksibilitas dan tenggang rasa pada sekolah yang masih sulit melakukan transisi melakukan skala minimum. Kami tidak akan berlakukan persyaratan di tahun 2022,” kata Nadiem.
Dengan adanya ketentuan soal dana BOS yang dikaitkan dengan jumlah minimal siswa di sekolah, seharusnya tanggung jawab pemerintahlah untuk mengambil alih layanan pendidikan bagi siswa di sekolah kecil.
Nadiem mengatakan akan terus menerima masukan tentang persyaratan dana BOS yang mengancam sekolah kecil dan siswa di daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T) serta siswa miskin. Nadiem berjanji akan melakukan kajian lebih lanjut terkait permberlakuan setelah tahun 2022.
”Mohon waktu kami mengkaji ulang lagi cara memitigasi kekhawatiran tentang kebijakan ini,” kata Nadiem.
Sesuai Peraturan Mendikbud No 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler, disebutkan dana BOS hanya akan dialokasikan untuk sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki siswa minimal 60 orang. Ketentuan ini dinilai dikriminatif, utamanya bagi sekolah swasta yang bertahan dengan dana BOS untuk memberikan pelayanan pendidikan di daerah 3T dan siswa miskin. Sejumlah penyelenggara pendidikan swasta pun bereaksi dan menolak ketentuan tersebut pada pekan lalu.
Komisi X menyambut baik keputusan Mendikbudristek. Ada usulan supaya instrumen dana BOS tidak dipakai sebagai formula mengevaluasi sekolah. Ada pula desakan supaya ketentuan ini diberlakukan hingga tahun 2024 karena pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih butuh waktu.
”Kami minta supaya tidak dijadikan standar menyangkut 60 siswa. Saya yakin Kemendikbudristek bisa merumuskan formula kebijakan lain yang bisa menjadi alat untuk melakukan evaluasi supaya sekolah agar lebih baik lagi, tanpa menggunakan instrumen BOS, mohon dicarikan instrumen lain di luar BOS yang lebih efektif,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.
Nadiem memaparkan seluruh kebijakan dana BOS pada dasarnya berpihak kepada yang paling membutuhkan. Apalagi saat ini alokasi dana BOS di setiap daerah bersifat majemuk, di mana dana yang diberikan dikalikan indeks kemahalan. Dampaknya, satuan pendidikan yang berada di 3T bisa mendapatkan dana yang jauh lebih banyak untuk meningkatkan kualitasnya.
”Setiap kali saya dapat masukan bahwa ini bisa berdampak negatif bagi teman-teman yang membutuhkan di daerah terpencil, saya langsung mendengar dan terbuka menerima masukan. Karena itu, kebijakan ini akan dikaji ulang,” kata Nadiem.
Nadiem menegaskan satuan pendidikan yang benar-benar membutuhkan akan mendapatkan sesuai kebutuhannya. Setiap kepala sekolah memiliki kemerdekaan untuk menggunakan apa yang terpenting bagi sekolahnya.
”Itu adalah satu prinsip dasar. Jika ada yang mengancam terhadap prinsip itu, saya akan dengarkan dan langsung saya putuskan,” kata Nadiem.
Pemerintah inkonsisten
Kebijakan soal dana BOS yang justru mengorbankan sekolah kecil yang melayani pendidikan siswa miskin dan di daerah 3T sebelumnya menuai banyak kritik. Melalui akun resmi Instagram dan Twitter di @PPIPM, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) juga melakukan kampanye digital dengan tagar #LagiLagiMendikbudRistek. Secara spesifik, PP IPM menyoroti Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 Pasal 3 Ayat (2) Huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang berbunyi: ”memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) peserta didik selama 3 (tiga) tahun terakhir”.
”Kalau sekolah jumlah siswanya sedikit dan tak memiliki layanan pendidikan sesuai harapan, solusinya bukan tidak diberikan dana BOS. Tetapi diperketat sistem pengawasan dan pengelolaan dana BOS-nya. Agar terukur, efisien, dan mendorong perkembangan sekolah,” ujar Mukhtara Rama selaku Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik PP IPM.
DOKUMENTASI SMA PGRI 1 CURUP,
Kondisi sekolah di SMA PGRI 1 Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sekolah ini melayani siswa miskin dengan sekolah gratis karena mendapat dana bantuan operasional sekolah. Kemendikbudristek mengeluarkan kebijkan sekolah kecil dengan siswa kurang dari 60 sisa tidak mendapat dana BOS. Padahal, sekolah kecil, umumnya sekolah swasta, menjadi tempat sekolah siswa miskin.
Ketua Umum PP IPM Nashir Efendi menegaskan, pemerintah inkonsisten dengan kebijakannya sendiri yang menginginkan pemerataan dan percepatan pendidikan. PP IPM menilai bahwa keputusan itu sangat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan karena dana BOS dibutuhkan oleh banyak sekolah untuk pengembangan sarana dan prasarana pendidikan.
Secara terpisah, Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia Muhammad Ramli Rahim mengatakan, sekolah kecil dengan siswa di bawah 60 orang hampir pasti akan kesulitan membiayai dirinya sendiri. Dengan adanya ketentuan soal dana BOS yang dikaitkan dengan jumlah minimal siswa di sekolah, seharusnya tanggung jawab pemerintahlah untuk mengambil alih layanan pendidikan bagi siswa di sekolah kecil.
Menurut Ramli, penyelenggara pendidikan masyarakat atau swasta tampil terdepan menyelenggarakan pendidikan bagi anak bangsa karena ketidakmampuan pemerintah melunasi janji kemerdekaan mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama dalam penyediaan sekolah. Saat ini masih banyak kecamatan yang tidak memiliki sekolah, terutama jenjang SMP dan SMA.
”Dengan aturan minimal siswa 60 orang, sepertinya pemerintah sudah sangat yakin bahwa pemerinta siap menyelenggarakan pendidikan di seluruh Indonesia,” kata Ramli.