Sekolah Kecil Layani Siswa Miskin dan Hanya Mengandalkan dana BOS
Sampai sekarang, banyak sekolah swasta kecil dengan jumlah di bawah 60 siswa yang tetap eksis untuk melayani masyarakat. Sekolah-sekolah tersebut masih mengandalkan dana bantuan operasional sekolah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib sekolah swasta kecil berada di ujung tanduk dengan munculnya kebijakan penyaluran dana bantuan operasional sekolah atau BOS yang mengharuskan sekolah penerima BOS memiliki minimal 60 siswa selama tiga tahun berturut-turut. Padahal, dana BOS inilah yang menjadi gantungan harapan sekolah kecil, terutama sekolah swasta, untuk tetap menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak miskin.
Kepala Sekolah SMA Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 1 Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Kasi Darmanto, yang dihubungi, Sabtu (4/9/2021), mengatakan, ia tidak dapat membayangkan bagaimana siswa miskin akan mampu bertahan menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan SMA jika tidak ada sekolah yang berpihak pada mereka. SMP PGRI 1 Curup yang ia pimpin, misalnya, nyaris tak lolos memenuhi ketentuan minimal 60 siswa.
Mereka berjuang keras untuk memastikan siswa yang pindah ke sekolah tersebut bisa tercantum dalam data pokok pendidikan (Dapodik) sekolah. Sebab, umumnya siswa yang pindah dari sekolah negeri ke SMA itu tidak mampu membayar pungutan komite, tetapi data mereka tetap tercatat di Dapodik sekolah negeri.
”Jujur, sekolah kami hanya punya ruang kelas. Tidak ada bantuan dari mana pun kecuali dana BOS yang membuat sekolah bisa bertahan. Yang kami layani ini anak-anak dari keluarga miskin. Ada yang tinggal di panti asuhan, ada yang sambil kerja mengasuh anak orang lain. Kalau tidak ada sekolah yang gratis seperti sekolah kami di SMP dan SMA PGRI, siapa yang akan memastikan mereka dapat bersekolah tanpa terkendala biaya?” kata Kasi.
Sementara ini, siswa SMP PGRI Curup berjumlah 29 siswa. Sekolah itu jatuh-bangun untuk bertahan supaya siswa miskin tetap dapat belajar di sana. Berbagai program bantuan di luar BOS yang sering diterima sekolah negeri, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, tak pernah diterima sekolah ini.
”Bagaimana kami dapat meningkatkan fasilitas sekolah jika hanya mengandalkan dana BOS sesuai jumlah siswa. Guru-guru hanya dibayar Rp 5.000 per jam pelajaran. Ada tantangan manajemen, ada tantangan pembiayaan, ada tantangan memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa miskin. Tetapi, semua hanya mengandalkan dana BOS,” kata Kasi yang juga Pelaksana Tugas Kepala SMP PGRI Curup.
Seiring munculnya kebijakan penyaluran dana BOS pada 2019, dana BOS akan diberikan bagi sekolah yang memiliki minimal 60 siswa saja. Ketentuan ini tetap berlanjut pada Peraturan Mendikbudristek Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan menolak Permendikbud Nomor 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler yang dinilai diskriminatif ini.
Pernyataan sikap bersama ditandatangani Sungkowo Mudjiamono (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhmmadiyah), Z Arifin Junaidi (Lembaga Pendidikan Ma’arif Penguru Besar Nahdlatul Ulama), Unifah Rosyidi (Ketua Umum Pengurus Besar PGRI), Ki Pardimin (Taman Siswa), Vinsensius Darmin Mbula (Majelis Nasional Pendidikan Katolik), dan David J Tjandra (Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia) yang disampaikan pekan lalu.
Ada ketentuan bahwa dana BOS akan diberikan kepada sekolah di jenjang SD-SMA/SMK sederajat jika dalam tiga tahun berturut-turut jumlah total siswa di suatu sekolah minimal 60 orang. Kenyataannya, banyak sekolah swasta kecil dengan jumlah di bawah 60 siswa yang tetap eksis untuk melayani masyarakat.
Penyelenggara sekolah swasta mempertahankan sekolah swasta di daerah perdesaaan, perkotaan, hingga pedalaman, semata-mata demi melayani kebutuhan belajar siswa yang sulit menjangkau pendidikan. Pertimbangannya, antara lain, kendala geografis, tidak ada sekolah negeri, hingga melayani anak-anak dari keluarga miskin.
Tidak sesuai harapan
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengatakan, aturan tentang dana BOS untuk sekolah dengan minimal 60 siswa tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit. Sebab, dengan jumlah peserta didik yang sedikit, para orangtua akan menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan.
Kondisi ini juga menyebabkan inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan. Dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan mutunya dapat lebih ditingkatkan.
”Jika dana BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas,” kata Jumeri.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam E Afrizal Sinaro mengatakan, kebijakan pemerintah ini justru menghancurkan pendidikan, terutama kalangan sekolah yang sudah sangat menderita dengan Covid-19. Puluhan ribu lembaga pendidikan swasta terseok-terseok dengan berbagai beban berat akibat menurunnya secara masif jumlah peserta didik. Ditambah beban biaya yang berat juga harus dipikul dalam kondisi sulit.
”Harusnya negara hadir dengan solusi dan berbagai kemudahan agar generasi masa depan bangsa ini tetap mendapat pendidikan dengan baik. Namun, kebijakan yang ditempuh Mendikbudristek sekarang sudah sangat bertentangan dengan nurani bangsa. Tidak peduli sama sekali dengan kemiskinan yang sedang mendera masyarakat, terutama daerah-daerah yang untuk sekedar bertahan hidup saja sudah susah,” ujar Afrizal
Kebijakan tersebut, kata Afrizal, mencerminkan ketidakberpihakan pada dunia pendidikan dan problem yang sedang dihadapi. Hal itu juga bertentangan dengan UUD 1945. Negara mestinya membiayai pendidikan nasional secara keseluruhan karena merupakan hak konstitusional warga negara.
Mengutip Pasal 31 Ayat 1 dan 2 UUD 1945, kata Afrizal, pemerintah semestinya membiayai pendidikan seluruh peserta didik karena hal itu menjadi hak konstitusional warga negara. Kunci kesuksesan pembangunan yang sedang gencar digerakkan negara saat ini hanya akan berhasil dengan maksimal apabila pendidikan bisa dibenahi dengan tuntas.
”Jangan ada lagi keterbelakangan yang harus menjadi kendala kemakmuran.
Jangan sampai memunculkan kebijakan yang hanya akan menindas masyarakat miskin tambah miskin, dunia pendidikan yang sudah susah akan makin menderita dan terpuruk,” kata Afrizal.
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi, Minggu (5/9/2021), bertajuk ”Ada Apa dengan Diskriminasi BOS dan Pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan”, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir mengatakan, masyarakat swasta yang jatuh bangun mau berkontribusi untuk kehidupan bangsa, jangan sampai terkendala hanya karena keluarnya Permendikbudristek tentang dana BOS.
”Ini kegelisahan organisasi yang memiliki lembaga pendidikan. Pemerintah wajib mendanai pendidikan nasional, jangan karena siswa jumlahnya lebih kecil, lalu tidak didanai. Kalau sekolah kecil sudah mau tenggelam, apa pendekatannya ditenggelamkan? Justru cari solusi, pemerintah seharusnya membina sekolah kecil untuk mampu menghadirkan pelayanan bagus, kualitas bagus, sehingga lambat-laun menjadi sekolah hebat,” kata Dudung.
Pemerhati Pendidikan Aulia Wijiasih mengatakan, dalam pendidikan selama ini diskriminasi terus terjadi. Sekolah baik semakin baik dan ditetapkan menjadi sekolah model atau kini sekolah penggerak. Sementara sekolah biasa, apalagi sekolah kecil, semakin sulit mencapai standar karena sarana dan prasarana saja tidak bisa memenuhi syarat.
”Bukankah tugas pemerintah mendampingi sekolah kecil supaya tetap mampu memberikan pelayanan pendidikan yang baik,” kata Aulia.