Nasib Sekolah Kecil Berada Di Ujung Tanduk
Persyaratan pencairan dana BOS kian mengimpit sekolah-sekolah kecil dan miskin. Hak pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu, yatim-piatu, dan mereka yang tak memiliki alternatif sekolah lain dipertaruhkan.
Sebuah pesan datang dari dinas pendidikan yang mengurusi dana bantuan operasional sekolah. Isi pesan itu mengingatkan bahwa sekolah tidak lagi bisa menerima dana bantuan operasional apabila selama tiga tahun berturut-turut sekolah memiliki siswa di bawah 60 orang.
Bagi sejumlah sekolah swasta kecil, pesan ini bagai petir di siang hari nan terik. Selama ini sekolah-sekolah itu mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat untuk mendidik anak-anak miskin.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Nomenklatur kementerian tersebut kini menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Dalam aturan itu disebutkan, dana BOS akan diberikan kepada sekolah di jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (SMA/SMK) sederajat jika tiga tahun berturut-turut jumlah total siswa minimal 60 orang.
Harus ada perspektif positif pada sekolah swasta yang terbukti kontribusinya membantu pendidikan di negeri ini. Jangan sampai sekolah swasta dianaktirikan
Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak tahun 2019 dan akan dilaksanakan pada tahun 2022. Dalam aturan tersebut tercantum pengecualian tetapi dengan syarat sekolah harus mengantongi rekomendasi dari dinas pendidikan di daerah, lalu disetujui menteri.
Kenyataannya, banyak sekolah swasta kecil dengan jumlah di bawah 60 siswa yang tetap ada dan beroperasi untuk melayani masyarakat. Penyelenggara sekolah swasta mempertahankan sekolah swasta di daerah pedesaan, perkotaan, hingga pedalaman, semata-mata demi melayani kebutuhan belajar siswa, yang sulit menjangkau pendidikan. Pertimbangannya antara lain kendala geografis, melayani anak-anak dari keluarga miskin, hingga tidak ada sekolah.
Kepala SMP PGRI 4 Bandar Lampung Nurhaina merasa cemas dengan kemungkinan dana BOS regular berhenti mengalir ke sekolah ini. Di tahun ajaran baru 2021/2022, hanya 56 siswa yang belajar di sekolah ini. Pada data pokok pendidikan (dapodik) baru 55 orang yang diakui bersekolah di tempat tersebut.
Pada Senin (6/9/2021), siswa kelas VII yang berjumlah 22 orang, pertama kalinya hadir untuk belajar tatap muka di sekolah di masa pandemi Covid-19. Ada yang berseragam, ada yang berbaju bebas. Bahkan, ada siswa yang hanya mengenakan sandal ke sekolah.
Sejak empat tahun terakhir, sekolah ini menjadi tempat belajar bagi anak-anak dari panti asuhan di Bandar Lampung. Anak-anak panti asuhan ini berasal dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. Akibat ketentuan zonasi, mereka tak tertampung ke sekolah negeri. Ada hambatan soal kartu keluarga atau asal daerah untuk bisa mengakses sekolah negeri.
“Kami menggratiskan siswa dengan menggunakan dana BOS. Dana itu yang untuk membuat siswa-siswa yang sebagian besar penghuni panti asuhan bisa belajar di sekolah. Para guru pun ikhlas dibayar seadanya dari dana BOS yang sering terlambat,” ujar Nurhaina.
Untuk siswa baru tahun ini, para guru berusaha untuk meminta baju seragam kakak kelas atau dari tetangga. Mereka tak ingin anak-anak panti asuhan ini tak percaya diri jadi siswa SMP karena tak punya baju seragam putih-biru.
Para guru dengan honor pas-pasan (bahkan cenderung minim/kurang) dari dana BOS sebesar Rp 12.000 per minggu yang dibayar ketika dana BOS cair per tiga bulan, yang kadang juga terlambat, rela berbagi dengan anak-anak panti asuhan. Para guru membantu siswa untuk bisa membeli seragam atau sepatu hingga urusan sekolah lainnya.
Baca juga : Sekolah Kecil Layani Siswa Miskin dan Hanya Mengandalkan dana BOS
“Saya merasa sedih, bagaimana pemerintah bisa terpikir untuk menyetop dana BOS kepada sekolah swasta seperti kami yang memang membantu siswa miskin,” kata Nurhaina yang mengandalkan gaji dari tunjangan sertifikasi guru dari pemerintah.
Sekolah ini di ibu kota provinsi. Namun, siswa tak mengenal komputer atau internet, karena sekolah tak mampu membayarnya. Saat ujian nasional berbasis komputer di masa lalu atau asesmen nasional nanti, siswa harus menjalaninya di sekolah lain. Alhasil, ada uang yang harus disiapkan. Ketika siswa tak ada uang, lagi-lagi guru turun tangan, bahkan menjemput siswa yang tak punya ongkos transportasi.
Terkendala biaya
Kepala Sekolah Kepala SMA PGRI 1 Curup, Kasi Darmanto, tidak dapat membayangkan siswa miskin akan mampu bertahan menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan SMA jika tidak ada sekolah yang berpihak pada mereka. Sekolah yang dipimpinnya di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu ini nyaris tak lolos memenuhi ketentuan minimal 60 siswa.
Mereka berjuang keras untuk memastikan siswa yang pindah ke sekolah ini bisa berpindah ke dapodik sekolah. Sebab, umumnya siswa pindah dari sekolah negeri dan tidak mampu membayar pungutan komite, tetapi data siswa tetap tercatat di dapodik sekolah negeri.
“Jujur, sekolah kami hanya punya ruang kelas. Tidak ada bantuan dari manapun kecuali dana BOS yang membuat sekolah bisa bertahan. Yang kami layani ini anak-anak dari keluarga miskin, ada yang tinggal di panti asuhan, ada yang sambil kerja mengasuh anak orang lain. Kalau tidak ada sekolah yang gratis seperti sekolah kami di SMP dan SMA PGRI, siapa yang akan memastikan mereka bersekolah tanpa terkendala biaya,” kata Kasi.
Siswa SMP PGRI Curup berjumlah 29 siswa. Sekolah jatuh-bangun untuk bertahan, supaya siswa miskin tetap dapat belajar di sekolah. Berbagai program bantuan di luar BOS yang rutin diterima sekolah negeri, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, tak pernah diterima sekolah ini.
“Bagaimana kami dapat meningkatkan fasilitas sekolah, jika hanya mengandalkan dana BOS sesuai jumlah siswa. Guru-guru hanya dibayar Rp 5.000 per jam pelajaran. Ada tantangan manajemen, ada tantangan pembiayaan, ada tantangan memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa miskin. Tapi semua hanya mengandalkan dana BOS,” kata Kasi.
Di sekolah swasta lainnya, Kepala SMP Santo Aloysius Sleman di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Franxischa Sutriyantini merasa cemas dengan nasib sekolahnya. Di tahun 2021 ini, siswa SMP Santo Aloysius hanya berjumlah 55 siswa. Sementara di sekelilingnya, sekolah negeri yang banjir fasilitas dari pemerintah menerima banyak siswa.
“Banyak yang memang memilih sekolah negeri yang daya tampungnya banyak. Bagi siswa yang tidak tertampung, terutama yang ekonomi ke bawah, akhirnya ke sekolah kami. Kami memang menerima siswa miskin dengan terbuka. Ada anak dari panti asuhan atau anak dari keluarga tidak mampu dari daerah lain, yang penting mereka jangan sampai putus sekolah karena biaya,” kata Franxischa.
Baca juga : Sekolah Swasata Kecil Makin Terpuruk
Sekolah yang berdiri sejak 1967 ini di masa jayanya memiliki dua rombongan belajar (rombel) dengan jumlah siswa 40 orang per rombel dan memiliki asrama putera dan puteri. Sekolah pun mampu menyediakan guru yang mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan sepenuh hati membantu siswa untuk berhasil dalam belajar.
Secara kualitas guru, sekolah ini potensial. Nyatanya Franxischa terpilih jadi guru penggerak angkatan ke-3 program Kemendikbudristek. Para guru muda dengan status honorer mampu menguasai teknologi digital untuk mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun, para guru juga siap ke rumah-rumah siswa yang tidak bisa belajar secara daring.
“Dana BOS ini sangat membantu. Ada siswa yang gratis. Banyak siswa yang cuma membayar sesuai kemampuan orangtua. Mengapa sekolah seperti ini tidak banyak mendapat bantuan dari pemerintah? Kami berjuang sendiri untuk memastikan siswa dari keluarga miskin jangan sampai putus sekolah,” kata Franxischa.
Kisah tiga sekolah swasta yang di ujung tanduk dari berbagai daerah ini, hanyalah sebagian kecil dari banyak sekolah kecil yang melayani siswa miskin. Sekolah swasta ini dijalankan oleh penyelenggara pendidikan swasta yang berkomitmen membantu pemerintah saat belum mampu menyelenggarakan pendidikan sekolah negeri. Ada sekolah di bawah yayasan yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia, Taman Siswa, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Majelis Nasional Pendidikan Katolik), dan Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia, maupun Aliansi Yayasan Pendidikan Islam.
Negara gagal hadir
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema mengatakan kondisi sekolah swasta kecil dan makin terpuruk bukan karena kesalahan pihak sekolah atau manajemen. Pemerintah lebih banyak membuka sekolah negeri di daerah yang sebenarnya sudah ada sekolah swasta .
“Kalau kebijakan dana BOS seperti sekarang, berarti negara gagal hadir untuk anak Indonesia. Apalagi di masa pandemi, justru butuh dukungan supaya tidak putus sekolah,” kata Doni.
Doni mengatakan sekolah swasta gurem dibuat harus “mengemis” karena harus mendapat rekomendasi dari dinas pendidikan dan disetujui Mendikbudristek untuk mendapat dana BOS sebagai sekolah yang dikecualikan. Padahal, perspektif pemerintah harus adil, apalagi dalam pemenuhan wajib belajar 9 tahun.
“Kehadiran sekolah swasta untuk membantu negara. Harus ada perspektif positif pada sekolah swasta yang terbukti kontribusinya membantu pendidikan di negeri ini. Jangan sampai sekolah swasta dianaktirikan,” kata Doni.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek, Jumeri, mengatakan aturan tentang dana BOS untuk sekolah dengan minimal 60 siswa tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit. Jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orangtua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan.
Kondisi ini juga menyebabkan inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan. Dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu akan dapat lebih ditingkatkan.
Baca juga : Digitalisasi Penggunaan Dana BOS Masih Membingungkan Sekolah
“Jika dana BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, maka akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas,” kata Jumeri.
Bila memang argumen dan tujuan kebijakan itu penting untuk dicapai, pemerintah perlu turun tangan mencarikan solusinya. Karena terlebih utama jangan sampai kebijakan tersebut malah mengorbankan hak pendidikan anak-anak, terutama mereka dari keluarga tidak mampu, panti asuhan, maupun anak-anak yang tidak memiliki alternatif.