Pendataan Anak Yatim Piatu Korban Covid-19 Krusial
Data menjadi kunci penanganan anak-anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19. Hal itu jadi basis memenuhi hak anak atas pengasuhan, perawatan, serta pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan anak yang kehilangan orangtua akibat pandemi Covid-19 menjadi pekerjaan jangka panjang pemerintah. Hak pengasuhan, perawatan, dan pemenuhan kebutuhan anak perlu dijamin. Data yang akurat menjadi penting dan mendasar untuk menjalankannya.
Berdasarkan data RapidPro, sistem pelaporan masyarakat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada 17.368 anak usia 0-17 tahun yang orangtuanya meninggal setelah terinfeksi Covid-19. Data itu dihimpun selama pandemi hingga Rabu (8/9/2021) pagi.
Dari angka tersebut, sebanyak 6.366 anak menjadi piatu (36,7 persen), yatim 9.763 anak (56,2 persen), dan yatim piatu 862 anak (5 persen). Mereka kini diasuh oleh ibu atau ayah saja, keluarga besar, ibu atau ayah sambung, kakek atau nenek, kakak, kerabat, hingga pihak lain selain keluarga. Sebanyak 79 anak di antaranya tanpa pendamping.
Pengasuhan juga akan dikawal untuk mencegah anak menjadi korban tindak pidana, seperti kekerasan, eksploitasi, hingga penelantaran.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah yatim, piatu, atau yatim piatu akibat Covid-19 tertinggi dengan 6.501 anak. Setelahnya ada Jawa Barat (4.215 anak), Jawa Tengah (3.760 anak), Sumatera Utara (753 anak), dan DI Yogyakarta (622 anak). Data ini hanya berdasarkan laporan masyarakat.
Sementara itu, data Kementerian Sosial mencatat 25.202 anak yatim, piatu, dan yatim piatu per 7 September 2021. Angka terbanyak ada di Jawa Barat (9.639 anak), Jawa Tengah (9.293), Jawa Timur (1.619), Banten (657), dan Sumatera Utara (519 anak).
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Anhar mengatakan, melengkapi data anak kehilangan orangtua penting. Hal ini terus diupayakan. Koordinasi dengan sejumlah kementerian/lembaga dilakukan.
”Kami juga membuka beberapa ruang sehingga masyarakat bisa melaporkan kejadian, salah satunya lewat RapidPro yang berbasis Whatsapp,” ujarnya.
Puluhan ribu anak yang kehilangan orangtua merupakan isu kompleks. Isunya bukan hanya memastikan kebutuhan material anak terpenuhi. Ini bisa berdampak panjang untuk negara jika tidak ditangani dengan baik. Kehilangan orangtua dapat berdampak ke akses pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, hingga kasih sayang.
Beban psikososial
Menurut inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif, sebagian anak butuh pendampingan segera karena menanggung beban psikososial.
”Ada yang distigma karena dianggap membawa virus ke keluarga. Ada juga yang ayahnya bunuh diri dua bulan setelah ibunya meninggal karena Covid-19,” ucapnya.
Pendampingan psikososial dari pemerintah untuk keluarga yang ditinggalkan, utamanya anak-anak, dinilai masih kurang memadai. Ini karena penanganan pandemi masih fokus ke perawatan pasien.
Arif turut juga menyorot pentingnya menghimpun data Covid-19 yang detail. Masih ada data yang luput karena sempitnya definisi kematian akibat Covid-19. Sejumlah kematian di daerah tidak tercatat karena pasien belum dites Covid-19. Adapun layanan tes di sejumlah daerah masih terbatas.
Ia mendorong agar definisi kematian diperluas sesuai acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO mencatat kematian dengan gejala Covid-19 sebagai kematian akibat Covid-19.
”Data detail penting agar tidak ada anak-anak yang haknya terlewatkan, seperti hak mendapat pendampingan, baik dari komunitas maupun pemerintah,” kata Arif. ”Melacak kondisi anak-anak juga penting, seperti support system mereka dan lokasi mereka saat ini,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti mendorong agar identifikasi anak dilakukan sesegera mungkin. Selain itu, penting untuk membuat standar jenis bantuan yang akan diberi ke anak. bantuan mesti disesuaikan dengan kebutuhan anak, usia, serta jender.
Pengasuhan
Menurut Anhar, ada empat upaya utama penanganan anak-anak korban pandemi, yaitu pengasuhan, perawatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemenuhan kebutuhan khusus. Ia menekankan agar pengalihan pengasuhan anak dilakukan dengan cermat.
Pengasuh pengganti mesti kompeten. Pengasuhan juga akan dikawal untuk mencegah anak menjadi korban tindak pidana, seperti kekerasan, eksploitasi, ataupun penelantaran.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, anak-anak yang kehilangan orangtua akan berduka dan mengalami sejumlah emosi lain. Pengasuh dan orang dewasa di sekitar perlu memerhatikan kondisi ini, kemudian menguatkan anak dan membantu menyiapkan masa depan mereka.
Adapun Kemensos menjalankan program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) untuk anak yatim, piatu, dan yatim piatu. Atensi menjadi tempat anak bercerita, mengasah keterampilan, dan dipersiapkan untuk berwirausaha. ”Anak-anak diajarkan berdaya agar tidak ketergantungan,” kata Harry.