Masyarakat Somasi Pemerintah Terkait Pembelajaran Tatap Muka
Keberatan penyelenggaraan PTM terbatas dilayangkan Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak dalam bentuk somasi kepada pemerintah yang dikirimkan pada Jumat (3/9/2021).
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran tatap muka yang mulai dibuka di sejumlah daerah dengan mengacu pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 1-3 dinilai membahayakan kesehatan dan keselamatan anak serta ekosistem di sekolah. Pemerintah diminta serius mendukung pembelajaran yang lebih aman berbasis keluarga dan komunitas atau inovasi pendidikan lainnya daripada memaksakan PTM terbatas di sekolah di tengah pandemi Covid-19.
Keberatan penyelenggaraan PTM terbatas dilayangkan Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak dalam bentuk somasi kepada pemerintah yang dikirimkan, Jumat (3/9/2021). Somasi terbuka ditujukan kepada Presiden; Menteri Kesehatan; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Menteri Dalam Negeri; dan Menteri Agama.
Aliansi ini terdiri dari organisasi masyarakat, seperti Arek Lintang (ALIT) Indonesia, AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Forum Orang Tua Siswa (Fortusis), Hakasasi, Laporcovid19, Lokataru, dan Surabaya Children Crisis Center (SCCC). Pemerintah dinilai melanggar ketentuan perundang-undangan dalam kebijakan PTM terbatas yang didorong masif di sejumlah wilayah.
Oleh karena itu, dalam 14 hari ke depan, pihak yang disomasi diminta untuk membuka data positivity rate di setiap daerah secara transparan, melakukan percepatan vaksinasi dan memastikan segera tercukupinya kuota vaksin bagi seluruh anak usia 12-17 tahun di Indonesia, serta mewajibkan kepada seluruh satuan tingkat pendidikan agar peserta didik yang belum menerima vaksin untuk tetap melakukan pembelajaran secara daring.
Selain itu, pemerintah juga diminta untuk melakukan tinjauan lapangan terhadap seluruh satuan tingkat pendidikan terkait kepatuhan syarat-syarat penyelenggaraan PTM berdasarkan rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Menghentikan PTM pada satuan tingkat pendidikan yang tidak mematuhi rekomendasi tersebut secara akumulatif serta menghentikan seluruh rangkaian PTM pada seluruh satuan tingkat pendidikan di Indonesia apabila terdapat satu sekolah yang terkonfirmasi menjadi kluster Covid-19.
Model sekolah terbuka
Menurut Yuliati Umrah dari ALIT Indonesia, pihaknya merasa prihatin dengan kebijakan PTM yang dilakukan daerah hanya dengan mengacu pada level PPKM. Banyak anak-anak usia 7-15 tahun yang belum divaksin, tetapi dibiarkan mengikuti PTM.
Kebijakan PTM di tengah situasi guru dan tenaga kependidikan yang belum semua vaksin dan anak yang juga tidak divaksin justru jadi beban ganda buat anak. Anak-anak ini punya beban bertahan hidup dan tumbuh kembang yang terancam karena kebijakan PTM. (Yuliati Umrah)
”Kebijakan PTM di tengah situasi guru dan tenaga kependidikan yang belum semua vaksin dan anak yang juga tidak divaksin justru jadi beban ganda buat anak. Anak-anak ini punya beban bertahan hidup dan tumbuh kembang yang terancam karena kebijakan PTM,” kata Yuliati.
Menurut Yuliati, seharusnya dari dinas pendidikan hingga kementerian berpikir keras untuk menemukan cara lain yang yang tidak berisiko. ALIT Indonesia mempraktikkan upaya pembelajaran dengan mengoptimalkan balai warga di tingkat RW/dusun dengan memberdayakan tutor lokal yang sebelumnya berkolaborasi dengan guru sekolah.
Sementara itu, Iwan Hermawan dari FAGI menyampaikan, para guru dan tenaga kependidikan juga di hadapkan pada situasi berat harus melaksanakan PTM dan PJJ. Beban terasa semakin berat karena harus memastikan tidak ada disparitas kualitas pembelajaran bagi siswa yang belajar di sekolah dan di rumah.
Menurut Iwan, sekolah merasa tidak penting untuk menerapkan kurikulum darurat di masa pandemi. Sekolah tetap melakukan pembelajaran sesuai kurikulum yang normal karena merasa takut tertinggal atau hasil belajar lebih rendah.
Padahal, ujar Iwan, PTM terbatas di sekolah bukanlah satu-satunya solusi. Kemendikbudristek sudah lama memiliki model SMP atau SMA terbuka, di mana pendidikan dilangsungkan dengan sistem komunitas dengan guru kunjung/tutor. Siswa pun dibekali modul untuk dapat belajar mandiri. Selain itu, sudah lama Indonesia memiliki Universitas Terbuka.
“Kenapa model sekolah terbuka yang sudah dijalankan lama dan kualitasnya sama dengan sekolah formal tidak dikembangkan di masa pandemi yang masih mengandalkan PJJ?,” kata Iwan.
Edward Dewaruci dari Surabaya Children Crisis Center Edward mengatakan, pandemi ini menuntut perubahan praktik pendidikan yang tidak lagi mengandalkan sekolah. Pembelajaran model PJJ harus semakin dikembangkan secara inovatif , salah satunya dengan menguatkan model belajar sekolah rumah atau homeschooling. Untuk itu, pemberdayaan keluarga untuk melakukan pendidikan dengan baik dan ramah anak semakin penting.
Irma dari LaporCovid19 mengatakan, pemerintah layak disomasi. Dengan membiarkan anak-anak kembali ke sekolah dalam kondisi saat ini dapat meningkatkan potensi penularan pada anak-anak dan ekosistem sekolah, termasuk keluarga.
Kebijakan PTM terbatas dengan mengacu PPKM level 1-3 pun tidak menjamin keamanan penularan pada warga sekolah dan masyarakat. Padahal, mengacu pada kebijakan WHO, sekolah harus dibuka jika positivity rate di bawah 5 persen.
”Sayangnya, tidak banyak daerah yang jujur soal positivity rate dan ada datanya. Kenyataannya, tes juga dikurangi sehingga positivity rate rendah,” kata Irma.
Dwi Soebawanto dari Fortusis mendesak percepatan vaksin untuk guru dan tenaga kependidikan, serta siswa sebelum mewajibkan semua sekolah PTM. ”PTM harus jadi kebijakan yang terpadu di antara satuan pendidikan dan institusi di luar sekolah. Selama ini kami menilai, dinas pendidikan dan Kemendikbudristek tidak optimal melakukan uji coba inovasi model pendidikan PJJ yang berkualitas di masa pandemi. Akibatnya, PTM dipaksakan. Kami sebagai orangtua akan ikut memantau PTM,” kata Dwi.