Kemerdekaan Pers Meningkat, Kesejahteraan dan Independensi Masih Jadi Persoalan
Ketergantungan media pada iklan-iklan komersial dari pemerintah memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers.

Dewan Pers meluncurkan indeks kemerdekaan pers (IKP) 2021 di acara Peluncuran Hasil Survei IKP Tahun 2021, Rabu (1/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Kemerdekaan pers Indonesia masih di kategori cukup bebas. Meskipun ada tren peningkatan tiap tahunnya, tapi kemerdekaan pers masih menghadapi sejumlah masalah terutama kesejahteraan wartawan, kekerasan terhadap wartawan, serta makin tergerusnya audiens media massa karena peran media sosial sehingga ketergantungan kepada media massa berkurang.
Berdasarkan indeks kemerdekaan pers (IKP) 2021 yang dirilis Dewan Pers, Rabu (1/9/2021), ada peningkatan IKP yang dinilai dari tiga hal, yakni lingkungan fisik dan politik, ekonomi, dan hukum dengan kenaikan 0,75 poin dari tahun sebelumnya menjadi 76,02. Trennya meningkat tiap tahun untuk bergerak menjadi kemerdekaan pers di kategori sedang.
Wakil Ketua Dewan Pers Henry Ch Bangun mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan pers mengalami penurunan pendapatan karena merosotnya kegiatan perekonomian. Kondisi ini mendorong perusahaan pers mencari sumber pemasukan antara lain dari anggaran iklan pemerintah daerah. Hal ini secara langsung atau tidak langsung memengaruhi independensi pers ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers, Ahmad Jauhar, menjelaskan, sejak tahun 2016, Dewan Pers melakukan survei untuk menyusun IKP. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan kondisi kemerdekaan pers di Indonesia.
Survei IKP pada tahun 2021 dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kemerdekaan pers di Indonesia selama tahun 2020. Survei ini untuk kedua kalinya dilakukan PT Sucofindo sebagai pelaksana teknis survei. Adapun responden di tiap provinsi mewakili dari unsur organisasi wartawan, perusahaan pers, pemerintah, dan masyarakat.
Dari hasil survei, ujar Ahmad Jauhar, selain ketergantungan yang cukup tinggi perusahaan pers pada pemasukan iklan dari pemda, juga ada masalah kekerasan terhadap wartawan yang masih terjadi di beberapa daerah. “Juga ada soal terkait penanganan beberapa perkara pers, menggunakan jalur hukum pidana, padahal mestinya melalui mekanisme di Dewan Pers sesuai Undang Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Ahmad.
Peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan, nilai IKP 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk “cukup bebas”. Rentang nilai yang masuk kategori “cukup bebas” adalah 70-89. Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori “bebas”.
“Secara umum kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2020 tidak mengalami perubahan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Namun,dilihat nilai per indikatornya terjadi pergerakan cukup dinamis.,” ujar Ratih.
Pada kondisi lingkungan fisik dan politik, kebebasan berserikat bagi wartawan selalu menempati peringkat pertama yang mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah. Kebebasan media alternatif yang menempati urutan kedua tertinggi menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional dan akses internet yang berkembang hampir merata telah membuka keran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan. Namun, terkait isi informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme masih perlu ditingkatkan kualitasnya.
Kesetaraan akses
Pada kondisi lingkungan fisik dan politik terdapat dua indikator, yaitu akurat dan berimbang (#16) serta kesetaraan akses bagi kelompok rentan (#17) yang masih memiliki permasalahan. Permasalahan pada indikator kesetaraan akses bagi kelompok rentan terutama terkait dengan belum terlaksananya media massa daerah dalam menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, misalnya, bagi penyandang tunarungu dan tunanetra.
Ratih mengatakan, pada lingkungan ekonomi, nilai rendah terlihat pada indikator independensi dari kelompok kepentingan yang kuat. Hal ini terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar.
“Kondisi semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi Covid-19 yang menyusutkan jumlah pendapatan dari iklan-iklan komersial. Sehingga, ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah semakin besar. Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers,” jelas Ratih.
Baca juga: Pers Belum Bebas dari Intervensi

Skor Indeks Kemerdekaan Pers oleh Dewan Pers menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Indikator terkait ekonomi yang memiliki persoalan, yaitu tata kelola perusahaan yang baik yang berdampak pada kesejahteraan wartawan. Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya setara upah minimum provinsi dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Kondisi ini menyebabkan ketergantungan media pada dana pemerintah daerah, maraknya praktik amplop, dan penerimaan bantuan dari pihak lain yang dapat mengganggu independensi wartawan.
Pada kondisi lingkungan hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu etika pers dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas. Persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan. Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional.
Ratih memaparkan hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah. Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.
“Pemda dari tahun ke tahun belum memprioritaskan pada persoalan ini. Di sisi lain, perusahaan pers umumnya juga belum memprioritaskan upaya untuk melayani kepentingan para penyangdang disabilitas ini,” papar Ratih.
Produk jurnalisme
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto mengatakan, disrupsi dan pandemi Covid-19, serta hoaks menjadi tantangan bagi media massa, sehingga ada perusahaan media yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau pemotongan gaji dan akan berpengaruh pada kualitas hidup pekerja media. “Saya merasa mungkin (kita) belum sampai ke kemerdekaan pers secara umum. Tapi keleluasaan itu ada meskipun terkadang belum nyata,” kata Tri Agung.
Kuskridho Ambardi, Ahli Politik dan Survei Universitas Gadjah Mada mengkritisi IKP yang ditemukan naik terus tiap tahun atau membaik, tapi bertolak belakang dengan penelitian lima tahun terakhir pada demokrasi di Indonesia yang justru terjadi kemunduran. Padahal, kemajuan atau kemunduran demokrasi juga bergantung dari kebebasan pers.
“Dari analisa berbagi ilmuwan, demokrasi Indonesia mengalami stagnasi, kontras dengan hasil IKP yang terus meningkat. Kita perlu mengekplorasi lebih dalam temuan ini. Bisa jadi akibat perbedaan indikator yang dipakai,” kata Kuskridho.
Dodi juga mempertanyakan skor IKP yang terus meningkat dengan kecenderungan kualitas produk jurnalisme. “Yang ideal IKP membaik, produk juga makin berkualitas. Kita berharap IKP ini seandainya mau ada penajaman, perlu masuk ke informasi atau produknya dengan masuk ke kategori informasi dan kategori media,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F20171114-DWA-Seoul1.jpeg)
Editor suratkabar The New York Times Tim Herrera, Selasa (14/11), tengah memaparkan format pemberitaan inovatif, Jurnalisme Pelayanan, yang menurutnya juga menjadi salah satu andalan untuk menarik pembaca muda terutama yang bersedia berlangganan dan membayar konten-konten berita berkualitas dari platform digital suratkabar tersebut.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong,mengatakan, tren kebebasan pers diharapkan tidak hanya berhenti di cukup bebas tapi meningkat ke arah bebas. Tantangan untuk kemerdekaan pers, utamanya dialami di daerah yang masih terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.
Para ahli mengatakan, kemerdekaan pers di Indonesia kini berbeda dengan masa orde baru. Di masa orde baru, hambatan datang dari negara/pemerintah. Di era reformasi, meskipun hambatan dari pemerintah belum sepenuhnya membaik, tapi kini secara umum datang dari pihak luar pemerintah.
Usman mengatakan, di era digital dan media sosial, banyak komunitas pers yang mengejar clickbait dalam judul pemberitaan di media daring. “Kami berharap ini jadi perhatian semua untuk mengurangi hal-hal seperti itu. Pemerintah berkomitmen menjawab dan merawat kebebasan pers dan kelangsungan hidup media,” ujar Usman.
Dewi Sri S dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, di jangka panjang kebebasan pers diperhatikan. IKP ini juga jadi indikator prioritas nasional, target hingga 2024 sampai ke skor 78.
Tunjangan Profesi
Terkait upaya meningkatkan kesejahteraan wartawan, menurut Dewi, Bappenas dan Dewan pers terbuka untuk membahasnya. Ada rencana untuk membahas tunjangan profesi bagi wartawan yang sudah disertifikasi dalam rencana jangka panjang setelah tahun 2024.
“Kesejahteraan untuk jangka panjang dan berproses. Setelah 2024 akan bahas. Ada rencana semacam tunjangan profesional, tapi perlu pemikiran lebih jauh lagu. Seperti halnya guru, ada sertifikasi. Itu jadi salah satu cara peningkatan kesejahteraan,” kata Dewi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F8bfb3b83-9b8b-4389-838a-44f782b0aba1_jpg.jpg)
Wartawan foto mengabadikan pasien Covid-19 yang mengikuti upacara perayaan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Menurut Dewi, profesionalisme bisa juga dipengaruhi kondisi kesejahteraan. “Nanti kalau melakukan kajian atau diskusi akan melibatkan para pihak. Ini pekerjaan Dewan Pers jangka panjang dan enggak bisa memutuskan tiba-tiba atau mendadak. Perlu proses panjang,” kata Dewi.
Dodi mengatakan, soal pemberian tunjangan profesi bagi wartawan yang sudah disertifikasi tidak bisa gegabah dan perlu dipertimbangkan tentang beban anggaran negara. Menurut Dodi, yang bisa dilakukan yaitu dengan memajaki platform-platform digital seperti google atau facebook, dan memakainya sebagai dana abadi untuk membantu kesejahteraan wartawan.
Baca juga: Indeks Kebebasan Pers Naik, Perlindungan Disabilitas Masih Buruk
Hendry mengatakan, tunjangan profesi untuk wartawan masih kontroversi.”Masih perlu didiskusikan lebih dalam apakah layak wartawan bersertifikat mendapat tunjangan,” kata Hendry.