Indeks kemerdekaan pers terus meningkat. Ini indikator bahwa kemerdekaan pers di Indonesia semakin baik. Namun intervensi ekonomi dan politik yang mengganggu ruang redaksi masih menjadi hambatan kemerdekaan pers.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Kemerdekaan Pers di Indonesia terus meningkat selama lima tahun terakhir. Nilai Indeks Kemerdekaan Pers 2020 mencapai 75,27 atau berada dalam kondisi cukup bebas, meningkat 1,56 poin dibandingkan pada 2019 yang juga dalam kondisi cukup bebas.
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) pada 2016 mencapai 63,44, meningkat menjadi 67,92 (2017), 69,00 (2018), dan 73,71 (2019). Kenaikan peringkat terutama terjadi pada indikator pendidikan insan pers, kesetaraan akses bagi kelompok rentan, kebebasan pendirian dan operasionalisasi perusahaan pers, serta lembaga penyiaran publik. Selain itu juga pada independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan, serta kebebasan mempraktikkan jurnalisme.
Meskipun begitu, pers Indonesia belum bebas dari intervensi ekonomi dan politik. Tekanan pemilik perusahaan pers pada kebijakan redaksi termasuk penentuan arah politik media, serta adanya intervensi pemerintah daerah terhadap isi pemberitaan mengganggu independensi ruang redaksi. Sejumlah perusahaan pers masih bergantung pada pemerintah daerah untuk pendanaan dan pendapatannya.
“Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2020 ini merupakan gambaran kondisi kemerdekaan pers di 34 provinsi di Indonesia pada 2019,” kata Anggota Dewan Pers Asep Setiawan ketika menyampaikan hasil survei IKP 2020 dalam seminar yang diselenggarakan Dewan Pers secara daring pada Jumat (11/9/2020).
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2020 ini merupakan gambaran kondisi kemerdekaan pers di 34 provinsi di Indonesia pada 2019.(Asep Setiawan)
Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh yang menjadi pembicara kunci dalam seminar tersebut mengatakan, IKP memberikan panduan untuk perbaikan kemerdekaan pers, dan agar kemerdekaan pers semakin berkualitas. “Tujuannya bukan sekadar kemerdekaan pers, ini (kemerdekaan pers) sasaran antara, karena sasaran utamanya (untuk) melunasi janji kemerdekaan,” kata Nuh.
Dia mengatakan, kemerdekaan pers yang tumbuh baik akan meningkatkan sistem demokrasi, pendidikan, pencerahan, serta pemberdayaan dan nasionalisme. Ini menjadi modal untuk melunasi janji kemerdekaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Rektor Universitas Multimedia Nusantara Ninok Leksono mengatakan, keadaan pers semakin dinamis di masa pandemi Covid-19 ini. Pers harus tangguh, tetapi kapasitas dan industri pers saat ini tidak dalam kondisi kokoh karena hantaman krisis akibat kondisi eksternal, mulai dari disrupsi teknologi hingga kondisi politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Terkait dengan kondisi perusahaan pers, Ninok menyoroti profesionalisme wartawan. “Kesejahteraan (wartawan) berkorelasi dengan kompetensi. Pers harus mampu berikhtiar lebih jauh. Wartawan harus dapat mengusulkan sesuatu dengan kemerdekaan yang dimiliki,” kata dia.
Indeks demokrasi
Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas Wariki Sutikno mengatakan, keberadaan IKP sangat penting karena merupakan bagian dari indikator Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Dalam revisi IDI, Bappenas dan Badan Pusat Statistik (BPS) sepakat menggunakan IKP sebagai salah satu indikator IDI.
“Mulai tahun depan (IKP) digunakan untuk pengukuran IDI. Tidak semua variabel, tetapi yang relevan dengan formulasi demokrasi,” kata dia. Selama ini, kemerdekaan pers tidak secara signifikan digunakan sebagai indikator IDI, baru kemerdekaan wartawan yang digunakan sebagai salah satu indikator IDI.
Pada kesempatan itu dia mempertanyakan IKP di DKI Jakarta, Papua Barat, dan Papua yang merupakan tiga terendah dari 34 provinsi. Dari hasil survei IKP 2020, IKP di Papua 70,42, Papua Barat 71,06, DKI Jakarta 72,63. Sedangkan IKP tertinggi di Maluku, yaitu 84,50.
Rendahnya nilai IKP Papua dan Papua Barat antara lain karena pemblokiran internet oleh pemerintah pusat pada Agustus 2019, merespons aksi ricuh akibat isu rasialis terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya. Selain itu, masih terjadi pembatasan terhadap kerja jurnalistik dan intimidasi aparat terhadap wartawan.
Adapun situasi di DKI Jakarta ditandai adanya upaya aparat keamanan mengamankan rangkaian kegiatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang turut menyasar wartawan. Kondisi yang terjadi di Jakarta ini tidak terjadi di daerah lainnya.
“Perlu dibedakan antara provinsi dan pusat, untuk IDI kami juga memilah begitu. Karena tidak fair jika IKP Papua rendah karena apa yang dilakukan (pemerintah) pusat, ini perilaku pusat. Demikian juga di Jakarta. Dulu IDI juga begitu, yang diukur perilaku provinsi, perilaku pusat tidak diukur. Sekarang kami revisi, perilaku pusat diukur,” kata dia.