Asesmen Nasional 2021 untuk Pemetaan Awal Dampak ”Learning Loss”
Asesmen Nasional untuk menilai potensi penurunan belajar akibat pandemi Covid-19 dimulai sejak September ini. Diharapkan, hasil asesmen memberikan gambaran kondisi pembelajaran selama pandemi berlangsung.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asesmen Nasional yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 bertujuan memetakan potensi kehilangan hasil belajar atau learning loss. Asesmen Nasional untuk siswa SMA/SMK/MA, dan Paket C yang dimulai September ini dan berlanjut hingga November bagi siswa SD/MI sederajat dilakukan menyesuaikan dengan kebijakan pembelajaran tatap muka terbatas di daerah.
Dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar Episode 5: Asesmen Nasional, Paradigma Baru Evaluasi Pendidikan Nasional, Kamis (2/9/2021), Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo mengatakan, pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) mengikuti kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di daerah dengan protokol kesehatan yang ketat. Jika ada sekolah yang tidak bisa ikut di tahun ini, akan dilanjutkan di tahun 2022.
”Jadwal AN tahun depan untuk sekolah yang ada hambatan, rencana pada Februari-Maret, atau maksimal April 2022,” kata Anindito.
Menurut Anindito, program AN yang merupakan program prioritas kebijakan Merdeka Belajar tetap dilakukan di tengah pandemi sebagai pemetaan awal (baseline). Pemetaan ini dibutuhkan utuk mengetahui penurunan hasil belajar atau learning loss akibat pandemi Covid-19 yang lengkap dari tingkat sekolah dan daerah. Ada riset yang menunjukkan learning loss bervariasi antaradaerah.
”Kalau kita tidak punya data tiap sekolah dan daerah tentang potensi learning loss, sulit untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas kepada sekolah dan daerah yang membutuhkan untuk mengatasi dampak penurunan hasil belajar akibat pandemi,” kata Anindito.
Menurut Anindito, AN ini menjadi rapor pendidikan tiap sekolah dan daerah. Namun, hasilnya hanya bisa diakses tiap sekolah dan daerah. Data awal tahun ini nantinya menjadi acuan untuk pengembangan dari tahun ke tahun. Sekolah dan daerah pun memiliki umpan balik untuk melakukan transformasi pembelajaran.
”AN ini jadi ajakan dari Kemdikbudristek untuk transformasi pembelajaran. Akan tetapi, semua ini tidak bisa terwujdu jika tidak ada aksi dan kolaborasi untuk melakukan perubahan dan perbaikan,” kata Anindito.
Pelaksanaan AN diikuti siswa kelas V SD, kelas VIII SMP, dan kelas XI SMA/SMK sederajat. Tidak semua siswa sekolah di jenjang ini ikut. Kemdikbudristek menerapkan sistem sampling. Siswa menjalani dua hari AN, yaitu untuk asesmen kompetensi minimum literasi dan numerasi serta survei karakter. Tidak hanya siswa, lingkungan belajar sekolah yang meliputi guru dan kepala sekolah pun diasemen.
Anindito menambahkan, sekolah tidak perlu menggenjot siswa untuk persiapan. Sebab, tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki skor. Perlu ada upaya transformasi pembelajaran, upaya yang lebih terstruktur dan sistematis dengan refleksi dan evaluasi diri, apa yang bisa dilakukan sekolah/daerah untuk meningkatkan pembelajaran.
Kalau kita tidak punya data tiap sekolah dan daerah tentang potensi learning loss, sulit untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas kepada sekolah dan daerah yang membutuhkan untuk mengatasi dampak penurunan hasil belajar akibat pandemi.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupten Bantaeng Muhammad Haris mengatakan, persiapan AN lebih kepada teknis, terutama untuk siswa SD yang belum pernah melakukan ujian berbasis komputer. Sudah dua minggu terakhir PTM terbatas dijalankan 149 SD dn 42 SMP.
”Kami menyambut baik kebijakan AN untuk pemetaan pendidikan. Selama ini ada ujian nasional atau UN, namun hasilnya untuk perbaikan mutu pendidikan tidak terjadi,” kata Haris.
Memberi harapan
Sementara itu, Konsultan Pendidikan Evi Ghozaly menuturkan, sampai saat ini masih ada anggapan AN sama seperti UN yang menentukan kelulusan sehingga masih harus terus disosialisasikan. Kebijakan UN selama ini menimbulkan banyak masalah hingga ada siswa yang stres dan bunuh diri. Program AN untuk mengevaluasi baik tidaknya sistem sekolah dalam menciptakan pembelajaran yang lebih menyenangakan dan bermakna ke depannya.
”Adanya AN jadi harapan luar biasa untuk transformasi pembelajaran. Namun, masih perlu diyakinkan bahwa AN ini memang beda dengan UN,” kata Evy.
Kalau dulu UN lebih banyak dengan model hafalan. Siswa pun tak cukup mendapat pelajaran tambahan khusus UN di sekolah, tapi harus ditambah dengan les di tempat bimbingan belajar. Sekolah juga merasa tertekan dengan pengumuman nilai UN karena sekolah menjadi tidak diminati jika nilai UN siswanya rendah.
”Dengan AN semoga siswa enggak tertekan. Mereka bisa belajar dengan riang dan bahagia. Soal-soal AN memang awalnya terlihat asing karena menuntut penalaran dan analisis. Ini memang perlu perbaikan dalam pembelajaran,” kata Evi.