Pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan kegembiraan. Padahal, hati yang gembira adalah obat dan meningkatkan daya tahan tubuh di masa pandemi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Namun, setelah melewati masa-masa sulit selama berbulan-bulan, bahkan berlangsung lebih dari satu tahun, masyarakat akhirnya menemukan sejumlah cara beradaptasi dengan pandemi. Setidaknya, bagaimana mengelola emosi selama pandemi agar tetap bergembira meskipun dalam situasi terbatas.
Seperti yang dilakukan sejumlah perempuan setengah baya, bahkan lanjut usia, yang menemukan cara bergembira di masa pandemi ”ala daring”. Berawal dari komunitas berdoa bersama, sejumlah perempuan (belakangan menggandeng laki-laki) membentuk grup media sosial (medsos) melalui Whatsapp yang mereka namakan ”Voor Hepi Aja” yang belakangan mereka menyebutnya dengan ”Vorheja”.
Nama grup medsos tersebut bukan tanpa maksud. Voor, yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti ”untuk”, dan kata ”hepi aja” merupakan plesetan dari kata ”bahagia saja” atau ”senang-senang saja”. Jadi, kurang lebih artinya Vorheja adalah ”untuk senang-senang saja”.
Orang yang diajak bergabung dalam grup tersebut hanya orang yang mau senang-senang saja. Anggota grup dilarang posting informasi serius, tetapi wajib posting konten yang lucu-lucu, yang harus membuat semua anggota grup tertawa. Tujuannya supaya semua senang di masa pandemi dan imun terus bertambah.
Setiap kali ada anggota baru, admin grup medsos tersebut mengumumkan aturan main di grup medsos tersebut, yakni grup ini hanya untuk canda dan tawa. Semua anggota grup wajib setiap saat membagi cerita lucu.
”Cerita lucu temanya bebas, yang penting bisa menguatkan saraf bibir para anggota grup. Satu lagi, kalau gabung di grup kami ini dilarang baper (bawa perasaaan). Semuanya harus dilihat secara positif supaya imun kita makin kuat,” ujar Rita Clara (55), mantan penyiar radio yang tinggal di Ciracas, Jakarta Timur, yang menjadi salah satu admin grup Vorheja.
Grup Vorheja yang dimotori beberapa perempuan, sekitar tiga bulan lalu, awalnya hanya beranggota sekitar 10 orang, tetapi belakangan berkembang menjadi sekitar 30 orang serta isinya campur laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 40 tahun hingga 80-an tahun. Latar belakang profesinya pun beda-beda, mulai dari dokter, dosen, pemimpin lembaga keagamaan, pejabat pemerintah, jurnalis, aktivis, pengacara, karyawan, pensiunan, dan wiraswasta.
Uniknya lagi, anggota Vorheja, dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan daerah di pulau Sulawesi, Sumatera, dan daerah lainnya. Setiap hari, anggota grup Vorheja berlomba-lomba memposting hal-hal yang penuh dengan humor. Bahkan, ada yang sampai membuat video dirinya dengan aksi lucu, yang direkam lewat Tiktok. Lalu ada juga yang baca puisi, atau apa saja.
”Ternyata semua mengalir. Bahkan, dari semua grup Whatsapp yang aku ikuti, Vorheja paling aktif. Ditinggal sebentar aja, pas buka sudah ratusan chat masuk, sampai susah harus lihat chat yang awal-awal,” tutur Clara.
Tanpa sekat
Karena semua sudah sepakat tidak boleh ada yang baper, tiap hari obrolan dan postingan bertema humor pun mengalir dengan bebas. Meski demikian, tidak ada yang sampai kebablasan. Yang jelas semua senang. Bahkan, ada salah satu anggotanya, yang awalnya terkesan serius gayanya, belakangan memberi warna tersendiri karena humornya yang bercampur ideologi politik.
Karena di situ tanpa sekat, orang dengan banyak gelar, jabatan, bisa berbaur dengan anggotanya yang tidak punya gelar dan lainnya. Semuanya larut dalam canda sehingga kita bisa melupakan segala susah dan kepedihan,” ujar Woro Wahyuningtyas (41), aktivis kemanusiaan, yang juga perempuan kepala keluarga, yang tinggal di Jakarta Pusat.
Uniknya lagi, sebagian besar anggota Vorheja belum pernah bertemu langsung karena selama ini baru sebatas berkenalan melalui media sosial (video call) atau lewat webinar. Namun, semuanya seperti sudah bersaudara lama.
Karena di situ tanpa sekat, orang dengan banyak gelar, jabatan, bisa berbaur dengan anggotanya yang tidak punya gelar dan lainnya. Semua larut dalam canda sehingga bisa melupakan segala kepedihan.
”Sudah kayak kakak adik, deh. Grup ini meyakinkan kami bahwa bersaudara itu tidak hanya lahir dari ibu yang sama. Sungguh suatu anugerah bisa bersama Vorheja,” tutur Indah Kanna (50), perempuan kepala keluarga, asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Mutiara Gultom (47), wiraswasta dan aktivis, yang tinggal di Jakarta, mengungkapkan, semenjak bergabung dengan Vorheja, sehari saja tidak buka grup Vorheja, dia merasa ada yang kurang. “Pokoknya selalu rindu untuk buka grup Vorheja walaupun masih subuh, kangen rasanya. Ha-ha-ha,” kata Mutiara.
Tak hanya bersama dalam canda dan tawa, grup ini kemudian menjadi grup bangkit bersama, bahkan saling menguatkan satu sama lain. Ketika ada anggota grup kehilangan anggota keluarga yang meninggal karena Covid-19, semua merasa senasib dan saling menghibur.
Bahkan, belakangan Vorheja, menggelar pertemuan malam minggu secara daring, khusus untuk berbagi cerita dan pengalaman hidup. Tujuannya untuk saling memotivasi. Ruang bertemu daring ini bahkan menjadi ruang pemulihan trauma bagi anggotanya.
Tak cuma itu, selama bergabung di Vorheja, semua anggota grup, baik perempuan maupun laki-laki, juga aktif membahas isu-isu yang terkait dengan perlindungan perempuan dan anak, membangun resiliensi keluarga di masa pandemi.
Sahala Lumban Gaol (69), yang pernah menjabat Komisaris Utama PT Garuda Indonesia pun mau bergabung dalam grup Vorheja. ”Ini grup yang menghilangkan batas, membangun persaudaraan, terbuka, hubungan yang tulus dan kasih, serta menciptakan kehidupan yang ceria tanpa beban. Grup ini juga membangun kepedulian serta selalu berbagi sukacita, a trully big family,” ungkap Sahala.
Dari canda dan tawa di grup Vorheja pun lahir ide-ide untuk bersolidaritas bagi sesama yang membutuhkan pertolongan di masa pandemi. Ketika mendengar ada yang membutuhkan pertolongan dalam kondisi darurat, Vorheja pun langsung bergerak. Tanpa perlu ribet, tangan-tangan para anggota terbuka untuk berdonasi.
Vorheja menjadi salah satu contoh bagaimana komunitas bisa menghadirkan kegembiraan di saat pandemi saat ini. Paling tidak seperti yang diungkapkan Jacobus K Mayong Padang (66), pria kelahiran Sillanan-Tana Toraja, yang pernah menjadi anggota DPR. Dia mengaku sangat senang bisa ikut dalam grup Vorheja.
Baginya, ikut Vorheja menyenangkan karena dia mendapat 3 M (menyenangkan, mengherankan, dan membingungkan). Menyenangkan karena banyak tertawa. Mengherankan karena yang muda, yang cerewet, kalem, humor, serius, semua larut dalam suasana rasa senang dan tidak tersinggung, apalagi marah.
“Membingungkan karena sekejap mata saja berpindah, pasti tidak bisa lagi mengikuti chat yang mengalir tiada henti, ha-ha-ha,” ujar Jacobus yang akrab disapa Kaka Kobu.
Yang pasti, menurut Jacobus, kegembiraan yang tercipta dalam grup Vorheja ibarat oase di celah pandemi.