Aceh Didorong Merevitalisasi Jalur Rempah lewat Seni
Seni adalah media pelestarian sejarah rempah yang paling kuat. Seni bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga pembelajaran dan pelestarian kebudayaan.
Oleh
ZULKARANAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Para pelaku seni di Aceh didorong untuk melahirkan karya dengan ide dasar kekayaan rempah. Seni dianggap sebagai media tepat untuk merevitalisasi sejarah kegemilangan jalur rempah Nusantara.
Hal itu mengemuka dalam seminar daring ”Potensi Seni untuk Memperkuat Jalur Rempah Aceh” yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (26/8/2021).
Dosen Pendidikan Seni Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Ahmad Syai, menuturkan, dalam sejarah kebudayaan Nusantara, seni bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan media penyebaran pengaruh. Misalnya, penyebaran paham agama melalui syair dalam pertunjukan tari. Melalui seni, pesan itu masuk secara lembut dan mengakar di jiwa.
Ahmad mengatakan, kekuatan seni perlu dimaksimalkan untuk merevitalisasi jalur rempah di Aceh. Saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sedang mempersiapkan pengusulan jalur rempah sebagai warisan dunia atau world heritage pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
”Seni adalah media pelestarian sejarah rempah yang paling kuat. Seni bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga pembelajaran dan pelestarian kebudayaan,” ujar Ahmad.
Ahmad menambahkan, Aceh sebagai salah satu jalur rempah Nusantara memiliki kekayaan sejarah rempah yang melimpah. Pada masa abad ke-12 hingga abad ke-16, Kerajaan Aceh Darussalam (Banda Aceh) dan Kerajaan Samudera Pasai (Aceh Utara) menjadi poros perdagangan rempah dunia. Aceh menghasilkan rempah seperti lada, cengkeh, kapur barus, dan pala.
Seni bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga pembelajaran dan pelestarian kebudayaan.
Jalur perdagangan Selat Malaka sangat sibuk dengan lalu lalang kapal dagang dari kerajaan-kerajaan Eropa. Rempah menjadi komoditas utama perdagangan kala itu. Bahkan, hingga kini Aceh masih menghasilkan rempah-rempah tersebut meski tidak sehebat dulu.
Ahmad mengatakan, kebudayaan rempah Aceh dan sejarah jalur rempah perlu disiarkan kepada generasi muda. Caranya melalui pendekatan kesenian, baik pertunjukan, musik, maupun kerajinan tangan. ”Seni harus digunakan untuk melestarikan kebudayaan rempah,” ujar Ahmad.
Dia mencontohkan beberapa karya seni dengan ide rempah, pembuatan batik motif rempah, tari kreasi cerita rempah, seni lukis, film, dan kuliner. Ahmad mendorong pemerintah untuk menggalakkan kompetisi seni berlandas rempah agar generasi muda kian antusias.
Pegiat seni tari dan koreografer Aceh, Imam Juaini, menuturkan, banyak seni tari di Aceh yang mengangkat rempah. Salah satunya adalah tari Ranup Lam Puan (tari menyambut tamu) menggunakan sirih, pinang, gambir, dan cengkeh sebagai aksesori dalam tari. Selain untuk memuliakan tamu, tari itu juga untuk melestarikan kebudayaan rempah Aceh.
Akhir 2020, Imam menciptakan tari kreasi baru tari Seuneubok Lada (menanam lada). Tari ini menceritakan tradisi membuka lahan, menyemai benih lada, merawat, panen, hingga pesta seusai panen.
”Tujuan saya menciptakan Seuneubok Lada untuk memberi pemahaman baru bagi gerenasi muda pada tradisi menanam lada. Banyak sejarah yang bisa digunakan sebagai ide seni,” ujar Imam.
Budayawan Aceh, Nabhani, menyebutkan, Aceh merupakan jalur rempah penting pada abad ke-12. Saat itu, hubungan antarkerajaan mulanya dilandasi kontak dagang. Aceh sebagai penghasil rempah banyak dikunjungi kapal asing untuk bertukar dagangan.
Hal itu dibuktikan dengan lawatan Laksamana Cheng Ho, utusan dari Dinasti Ming, Kerajaan China, ke Kerajaan Samudera Pasai. Cheng Ho menghadiahkan sebuah lonceng ukuran besar kepada Kerajaan Samudera Pasai. Lonceng tersebut diberi nama Cakradonya dan kini disimpan di Museum Aceh, Banda Aceh.
Nabhani menambahkan, sejarah jalur rempah adalah modal besar bagi pelaku seni dalam melahirkan karya. Dia mencontohkan sebuah novel karya Azhari Aiyub, penulis dari Aceh, berjudul Kura-kura Berjanggut, yang mengambil latar Kerajaan Lamuri dan perdagangan di Selat Malaka sebagai ide cerita.
”Sejarah ini bisa dijadikan drama pendek disiarkan lewat Youtube atau panggung sekolah untuk ditebarkan ke generasi muda. Pelaku seni harus menjadikan ini sebagai bahan membuat karya seni,” katanya.