Menjaga Harapan Anak Korban Pandemi
Banyak anak Indonesia kehilangan orangtua karena Covid-19. Jangan pula mereka kehilangan masa depan.
Laira Wara (18) sejak kecil bercita-cita menjadi dokter. Cita-cita itu menebal setelah dia merasakan sendiri sakit Covid-19 dan harus kehilangan kedua orangtuanya akibat penyakit menular ini.
”Saat menunggu ayah dan ibu di Rumah Sakit Sardjito, saya melihat sendiri peran dokter. Mereka sangat dibutuhkan,” ujar Laira, yang saat ini kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kota Yogyakarta ini.
Sekalipun banyak mendengar dokter dan para tenaga kesehatan lain yang meninggal selama pandemi, Laura tidak merasa gentar. ”Almarhum Ibu juga berharap ada anaknya yang bisa jadi dokter. Saya akan berusaha,” kata dia.
Laira sebelumnya juga terpapar Covid-19, berbarengan dengan ayahnya, Budi Endra (51) dan ibunya, Dwi Suwarni (48). Mereka sempat menjalani isolasi mandiri di rumah selama sepekan. ”Di rumah yang positif kami bertiga, jadi kami isolasi di kamar bersama. Kakak dan adik negatif,” kata dia.
Baca juga: Puluhan Ribu Anak Kehilangan Orangtua
Laira bisa pulih lebih cepat. Sementara ayah dan ibunya semakin berat gejalanya walaupun sebenarnya mereka sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis pertama. Pada 18 Juli 2021, Budi dan Dwi dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito, Yogyakarta.
”Namun, saat itu rumah sakit penuh. Keduanya harus antre di barak darurat di depan rumah sakit,” kisah Warakustarti Listyari, adik Budi, yang mengantar ke rumah sakit.
Budi baru mendapatkan tempat perawatan di bangsal rumah sakit setelah sehari berada di barak darurat. Adapun Dwi baru mendapat bangsal perawatan setelah tiga hari dan dua malam menginap di barak. ”Kondisinya serba darurat. Di barak itu toilet juga darurat dan harus dipakai pasien maupun pengantar,” kata Warakustarti.
Setelah menjalani perawatan, kondisi Budi dan Dwi terus memburuk. Kedunya didaftarkan untuk bisa mendapatkan perawatan lebih baik di ruang perawatan intensif (ICU). ”Tapi, antreannya puluhan orang,” tuturnya.
Akhirnya, pada 21 Juli 2021 pukul 14.28 WIB, Budi mengembuskan napas terakhir. Saat Warakustarti dan keluarga masih mengurus pemulasaraan Budi, Dwi menyusul meninggal hari itu juga, pukul 19.50 WIB. ”Keduanya masih status antre masuk ke ICU,” kata dia.
Selain Laira, Budi dan Dwi meninggalkan dua putri lain, yaitu Divani Amelia (19) yang masih kuliah semester tiga dan Kharrisa Putri (15) yang masih kelas tiga sekolah menengah pertama.
Baca juga: Mereka yang Kini Harus Menjadi Yatim Piatu...
”Saya ingin cepat lulus kuliah, tapi juga ingin memulai bisnis online. Saya ingin membantu adik-adik. Saya sekarang kepala keluarga,” kata Divani, mahasiswi semester tiga jurusan hubungan internasional, yang bercita-cita menjadi diplomat ini.
Mewakili adik-adiknya, Divani juga menyampaikan terima kasih pada keluarga besar dan rekan-rekan kedua orangtuanya yang terus memberi dukungan kepada mereka. ”Semuanya baik kepada kami,” kata dia.
Saya ingin cepat lulus kuliah, tapi juga ingin memulai bisnis online. Saya ingin membantu adik-adik. Saya sekarang kepala keluarga.
Warakustarti mengatakan, seluruh keluarga besarnya akan selalu mendukung keponakan mereka. ”Sejauh ini perhatian dari teman almarhum sangat banyak, juga Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan bantuan logistik untuk anak-anak. Ikatan Alumni Geodesi Universitas Gadjah Mada juga mengumpulkan dana sumbangan dengan jumlah cukup besar,” ujarnya.
Masalah pendataan
Laira dan dua saudarinya ini hanya sebagian dari belasan ribu anak di Indonesia yang ditinggalkan orangtua karena pandemi. Hingga saat ini belum ada angka pasti jumlah anak-anak yang menjadi yatim, piatu, atau bahkan yatim dan piatu karena orangtua mereka meningkat akibat terpapar Covid-19.
Kementerian Sosial memperkirakan setidaknya 15.000-16.000 anak yatim atau piatu atau yatim-piatu akibat Covid-19. Data sementara dari Kemensos per Rabu (18/9/2021) dilaporkan 927 anak yatim/piatu akibat Covid-19 di Jawa Timur. Sementara di Yogyakarta terdapat 526 anak, Jawa Tengah sekitar 200 anak, Jawa Barat sekitar 500 anak.
Angka ini bisa lebih besar lagi karena Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya, pada 16 Agustus 2021 melaporkan ada 6.198 anak di wilayah mereka yang kehilangan orangtua karena Covid-19. Sementara Jawa Tengah melaporkan setidaknya 7.000 anak kehilangan orangtua selama pandemi.
Warakustarti mengungkapkan, anak-anak yang menjadi yatim-piatu karena pandemi ini tidak hanya membutuhkan dukungan materi. ”Untuk materi, kami akan selalu mengusahakan yang terbaik,” kata dia.
Namun, yang juga sangat penting adalah dukungan moral dan sosial, selain juga pendidikan. ”Harapan kami, anak-anak korban Covid-19 ini bisa diberi kemudahan untuk mencapai cita-cita, terutama Laira yang tahun depan sangat ingin kuliah di fakultas kedokteran,” tuturnya.
Dukungan sosial
Pentingnya dukungan sosial kepada keluarga korban Covid-19 ini pula yang disampaikan Margaretha Ega Woda (45), warga Kelurahan Kambajwa, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur, yang kehilangan kakak kandung karena Covid-19. Dia sekarang menjadi wali dari dua ponakannya, Varel (19) dan Vanya (12) tahun.
Baca juga: Anak-anak Yatim Piatu Itu Akhirnya Dirawat Saudara Mereka
Pada 20 Mei 2021, kakak Ega, Maria Luna Woda, meninggal karena Covid-19. Tepat dua bulan kemudian, 20 Juli 2021, suami Maria meninggal karena bunuh diri.
”Kakak ipar sangat terpukul dan stres karena tiba-tiba kehilangan istri akibat Covid-19. Tetapi, di sini tidak ada psikolog dan ahli kejiwaan yang mendampingi. Kami juga tidak punya kemampuan mendampingi. Itu penyesalan terbesar kami,” kata Ega.
Selama ini, aspek psikologis keluarga korban Covid-18 kerap terabaikan. Bahkan, di daerah banyak stigma sosial terhadap mereka yang sakit dan meninggal karena Covid-19. Pemerintah sejauh ini dinilai masih fokus pada yang sakit atau meninggal, tetapi belum memperhatikan keluarga yang ditinggalkan.
Padahal, menurut Ega, almarhum kakak iparnya adalah seorang camat. Namun, dukungan dari tempat kerja, lingkungan sosial, dan keagamaan sangat terbatas. Pandemi ini membawa banyak persoalan baru, banyak keluarga yang ditinggalkan tidak siap menghadapinya.
Ega merasakan beratnya beban psikis keluarga terdampak pandemi. ”Anak kakak nomor dua baru dua minggu kami kasih tahu setelah ibunya meninggal. Dia semakin terpukul ketika bapaknya meninggal, bahkan sempat marah dia mengatakan, ’Kenapa Bapak egois’,” ungkapnya.
Butuh pendampingan khusus kepada keponakannya. Ega tidak hanya menjadi tumpuan ekonomi bagi dua keponakannya yang tengah memasuki masa perkembangan, tetapi juga dituntut mendampingi kejiwaan mereka. ”Kami percaya, kalau ada ujian, pasti ada jalan. Tuhan tidak tidur. Saya hanya pikir, pendidikan anak-anak tidak boleh terbengkalai,” kata dia.
Tahun depan Vanya sudah harus masuk kuliah, sedangkan Varel baru saja masuk sekolah menengah pertama. Menurut Ega, kakak iparnya sebenarnya sudah menulis wasiat menitipkan anak-anak ke keluarga besar. ”Dia menulis, kalaupun anak-anak bisa tamat SMA, sudah sangat bersyukur,” kata dia.
Sekalipun demikian, Ega mengatakan akan berjuang sekuat tenaga agar agar dua keponakan ini bisa kuliah. ”Tapi, kami memang punya keterbatasan juga. Anak-anak saya juga masih sekolah. Kami sangat berharap ada dukungan untuk masa depan anak-anak yang jadi korban Covid-19. Mereka masa depan negeri ini,” tuturnya.