Mereka yang Kini Harus Menjadi Yatim Piatu...
Anak-anak yang kehilangan orangtua akibat pandemi Covid-19 tidak hanya membutuhkan bantuan materi, tapi juga dukungan moral dan sosial, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, serta pemulihan dari trauma.
Hingga akhir Juni 2021, sama sekali tidak tebersit di pikiran Fiona Husen (13), James (11), dan Charles (4) bahwa mereka akan kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Tanggal 29 Juni 2021, ibu mereka meninggal di rumah kontrakan setelah terpapar Covid-19. Saat air mata belum mengering, kurang dua pekan berikutnya, ayah mereka menyusul berpulang akibat Covid-19.
”Saya hanya berharap bisa menjaga adik-adik. Semoga kami bisa menjadi anak yang dibanggakan orangtua, menjadi berkat bagi sesama, dan berguna bagi bangsa dan negara,” ujar Fiona, Sabtu (21/8/2021).
Meski kehilangan kedua orangtua, Fiona tetap menggantungkan cita-citanya untuk menjadi perawat. Sedangkan James bercita-cita menjadi polisi. Sementara Charles yang masih balita hingga kini belum mengerti ayah dan ibunya telah meninggal.
Masih lekat dalam ingatan Fiona bagaimana sang ibu, Siti Fatimah (45), berjuang melawan virus korona di rumah petak, hanya dirawat sang ayah, Vincentius (46), tanpa pengobatan sama sekali. Sebelumnya, satu keluarga ini terpapar Covid-19.
Selama menjalani isolasi mandiri (isoman), keluarga perantau asal Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang mengontrak rumah di Jalan Bambu Kuning Selatan, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, ini sama sekali tidak mendapat perhatian dari warga setempat.
Bahkan, saat ibu mereka semakin parah dan harus mencari ambulans, tak ada satu pun bantuan datang. Siti Fatimah akhirnya mengembuskan napas terakhir dan ambulans tak juga kunjung datang.
Setelah meninggal, baru jenazah Siti Fatimah dikirim ke rumah sakit terdekat, lalu dimakamkan dengan prosedur Covid-19 tanpa disaksikan anak-anaknya. Hanya sang ayah yang mengantar jenazah ibu mereka.
Malam sepulang dari pemakaman istrinya, Vincentius langsung demam. Saat itu, teman Vincentius yang satu kampung dari NTT, Sersan Satu Eduardus Marung, anggota TNI yang dinas di Batalyon Pembekalan Angkutan 5 Perbekalan Udara, Angkatan Darat, datang membantu. Ia membawa Vincentius ke salah satu RS swasta terdekat.
Namun, empat hari kemudian, kondisi Vincentius memburuk sehingga dirujuk ke RS Tebet. Setelah sepekan lebih dirawat, pada 12 Juli 2021, dia meninggal.
Saat ayahnya dirawat di RS, Fiona bersama adik-adiknya tinggal sendiri tanpa ada bantuan dari tetangga. Eduardus dan istrinya yang tinggal sekitar 3 kilometer dari rumah kontrakan mereka, setiap hari mengirim makanan dan kebutuhan untuk ketiga anak itu.
Setelah ayahnya dimakamkan, hari itu juga Fiona dan kedua adiknya dibawa Eduardus ke rumahnya, tinggal bersama mereka. ”Kalau saya tinggalkan mereka di kontrakan, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka. Maka, setelah ayah mereka dikuburkan, saya langsung mengajak mereka pindah ke rumah saya. Saya melakukan atas dasar kemanusiaan karena saya melihat anak-anak ini masih memiliki masa depan,” ujar Eduardus yang juga memiliki seorang anak berusia enam tahun.
Baca juga: Menjaga Asa Anak yang Kehilangan Orangtua karena Pandemi
Merawat ibunya
Menjadi yatim piatu juga dialami Godelva Satya (17), remaja yang tinggal di Kota Jayapura, Papua. Sekitar dua pekan lalu, Jumat (6/8/2021), ibunya, Elizabeth M Tobing (45), meninggal setelah terpapar Covid-19. Kehilangan sang ibu merupakan pukulan yang berat bagi Godelva bersama adiknya, Ciko (15) dan Valen (11), serta kakaknya, Putri (21) .
Godelva benar-benar tidak percaya ibunya meninggalkan mereka selamanya, menyusul sang ayah yang lebih dulu meninggal sekitar delapan tahun sebelumnya. Hanya dalam waktu satu jam setelah dilarikan ke RS, sang ibu mengembuskan napas terakhirnya. Saat dibawa ke rumah sakit, ibunya sudah dalam kondisi parah, bahkan sulit untuk bernapas.
Tim dokter berupaya memberikan pertolongan, tapi sudah terlambat. Godelva yang terus berada di samping ibunya hanya bisa terduduk lemas di lantai ketika dokter berhenti memompa jantung ibunya, lalu dia mendengar ucapan dokter bahwa ibunya telah meninggal.
”Setelah dokter bilang mami meninggal, langsung saya pegang ibu dokter punya tangan. Saya bilang, dokter bisa coba satu kali lagikah? Tapi dokter tidak merespons apa-apa. Saya langsung berdoa Bapa Kami ke telinga mami. Saking paniknya saya berulang kali doa Bapa Kami, tapi saya lupa beberapa kata. Akhirnya saya berdoa Bapa Kami pakai bahasa Waropen,” ujar Godelva, Senin (9/8/2021).
Hingga kini, Godelva sempat menyesali dirinya. Sebab, ibunya terkena Covid-19 setelah merawat Godelva yang lebih dulu terkena Covid-19. Pertengahan Juli 2021, Godelva yang menjadi Duta GenRe (Generasi Berencana) Favorit Provinsi Papua Tahun 2020, sempat keluar rumah dan mengikuti beberapa kegiatan. Sehari setelah keluar rumah, Godelva demam berhari-hari hingga akhirnya dites antigen dan hasilnya positif.
Godelva kemudian menjalani isolasi mandiri di salah satu kamar. Ia dirawat ibunya yang setiap hari membawakan makanan ke kamar. Sepekan kemudian, Valen, adiknya, juga positif terkena Covid-19, disusul ibunya dan Ciko.
Adik laki-laki ibunya yang datang menginap di rumah mereka juga ikut terpapar Covid-19. Seisi rumah positif dan menjalani isoman di rumah. Karena dianggap tidak parah, mereka hanya minum vitamin dan parasetamol.
Namun, belakangan kondisi ibunya memburuk sehingga Godelva yang belum bebas dari Covid-19 keluar dari kamar dan merawat ibunya. Di tengah sakitnya, dia memasak, membantu ibunya keluar masuk WC dan kamar mandi.
Ibunya sempat dibawa ke RS dekat rumah. Tapi, setiap datang ke RS, antrean selalu penuh dan kuota pasien dibatasi sehingga ibunya memutuskan bertahan di rumah saja.
Selama dua pekan, Godelva dan Ciko dibantu sang paman merawat ibunya karena kakaknya kuliah di Jakarta. Tapi, kesehatan ibunya turun drastis. Ibunya tidak bisa menelan makanan hingga sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur, sesak napas, lalu dilarikan ke RS hingga meninggal.
Kini, Godelva dan saudaranya masih dalam duka. Mereka belum tahu kehidupan keluarga mereka ke depan akan seperti apa. ”Kami ingin tetap bersama,” ungkap Godelva.
Meninggal bersamaan
Duka mendalam karena kehilangan ayah dan ibu juga dirasakan Laira Wara (18), sekitar sebulan lalu. Hari itu, Rabu (21/7/2021), ayah dan ibunya meninggal hampir bersamaan, hanya berbeda sekitar tiga jam. Budi Endra (51), ayahnya, meninggal pukul 14.28 WIB. Saat keluarga masih mengurus pemulasaraan sang ayah, ibunya, Dwi Suwarni (48), menyusul meninggal hari itu juga, pukul 19.50 WIB.
Laira sebelumnya juga terpapar Covid-19, berbarengan dengan ayah dan ibunya. Mereka sempat menjalani isoman di rumah selama sepekan. Adapun kakak dan adiknya negatif.
Laira bisa pulih lebih cepat. Namun, ayah dan ibunya semakin berat gejalanya walau sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama.
Pada 18 Juli 2021, Budi dan Dwi akhirnya dibawa ke RSUP Dr Sardjito. ”Namun, saat itu rumah sakit penuh. Keduanya harus antre di barak darurat di depan RS,” ujar Warakustarti Listyari, adik Budi yang mengantar keduanya ke RS.
Budi baru mendapatkan tempat perawatan di bangsal RS setelah sehari berada di barak darurat. Sedangkan Dwi baru mendapat bangsal perawatan setelah tiga hari dua malam menginap di barak. ”Kondisinya serba darurat. Di barak itu toilet juga darurat dan harus dipakai oleh pasien ataupun pengantar,” kata Warakustarti.
Kondisi Budi dan Dwi terus memburuk. Keduanya didaftarkan untuk mendapatkan perawatan lanjutan di ICU. Namun, antreannya puluhan orang. Hingga keduanya meninggal, mereka masih dalam daftar antrean.
Selain Laira, Budi dan Dwi meninggalkan dua putri lain, yaitu Divani Amelia (19) yang masih kuliah semester tiga dan Kharrisa Putri (15), kelas III SMP. ”Saya ingin cepat lulus kuliah, tapi juga ingin memulai bisnis daring. Saya ingin membantu adik-adik. Saya sekarang kepala keluarga,” kata Divani yang bercita-cita menjadi diplomat ini.
Kematian orangtuanya akibat Covid-19 semakin memotivasi Laira yang kini duduk di kelas III SMAN 1 Kota Yogyakarta untuk meraih cita-citanya menjadi dokter. ”Saat menunggu ayah dan ibu di RSUP Dr Sardjito, saya melihat sendiri peran dokter. Mereka sangat dibutuhkan,” ujar Laira.
Fiona, Godelva, Laira, dan saudara-saudara mereka hanyalah sebagian dari belasan ribu anak-anak di Indonesia yang ditinggalkan orangtua karena pandemi. Hingga saat ini belum ada angka pasti jumlah anak-anak yang menjadi yatim, piatu, atau bahkan yatim dan piatu ini.
Kementerian Sosial memperkirakan, setidaknya ada 15.000 hingga 16.000 anak yatim, piatu, atau yatim piatu baru akibat Covid-19. Data sementara dari Kemensos per Rabu (18/8/2021), dilaporkan, ada 927 anak yatim/piatu akibat Covid-19 di Jawa Timur. Sedangkan di Yogyakarta terdapat 526 anak, Jawa Tengah sekitar 200 anak, dan Jawa Barat sekitar 500 anak.
Menurut anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, dalam kondisi seperti sekarang negara harus hadir dengan mulai membuat sistem pendataan anak agar responsnya dapat terekam baik. Anak-anak yang menjadi yatim piatu karena pandemi tidak hanya membutuhkan bantuan materi, tapi juga dukungan moral dan sosial, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, dan pemulihan trauma.
Menurut psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, anak-anak yang kehilangan satu atau kedua orangtua akibat Covid-19 tidak hanya berduka. Sebagian anak juga kaget karena kehilangan orangtua dengan cepat. Kekagetan itu kerap membuat anak bingung menentukan langkah hidup selanjutnya.
Di sisi lain, tidak semua anak mampu memahami kedukaan. Untuk itu, orang dewasa yang mendampingi anak perlu membantu mereka mengekspresikan kedukaan. ”Ada anak-anak yang menjadi rewel atau sering marah. Ini bentuk kedukaan mereka. Anak-anak perlu dibantu mengekspresikan rasa kehilangan, misalnya dengan mengembalikan mereka ke rutinitas. Rutinitas membuat mereka punya pegangan kembali,” kata Anna, Minggu.
Rutinitas yang dimaksud antara lain bangun pagi, mandi, sarapan, bersekolah, tidur siang, hingga bermain. Selain mengembalikan anak ke rutinitas, pendamping sebisa mungkin membantu anak memahami perubahan di rutinitas tersebut. ”Misalnya, dulu ibu yang memandikan anak, sekarang pengasuh,” ucap Anna.
Anak juga dapat diajak mengekspresikan kedukaan dengan cara lain, seperti menggambar atau menulis. Anna menambahkan, anak yang mampu menyalurkan kedukaan akan lebih mudah pulih secara psikologis. Hal ini membantu mereka untuk melanjutkan hidup.
Lihat juga: Pemerintah Pastikan Penuhi Hak Anak Yatim Piatu karena Covid-19
Terkait pengasuhan, Anna menganjurkan agar anak diasuh oleh pihak yang memiliki ikatan darah. Ini untuk mendekatkan anak dengan ”akarnya”. Selain itu, pihak yang mengasuh mesti punya kepedulian dan kasih sayang kepada anak tersebut serta memiliki sumber daya untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
”Idealnya seperti itu. Namun, tidak semua anak bersedia dengan ini. Jika kondisi ideal tidak ada, ya, sebaik-baiknya yang ada yang mesti diberikan kepada anak,” kata Anna. ”Di sisi lain, belum tentu anak bisa hidup bersama akarnya,” tambahnya. (SKA)