Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan kehidupan mahasiswa yang dihantui kecemasan akibat situasi tak normal. Berbagai cara dilakukan mengisi lubang-lubang aktivitas di masa muda penuh energi.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·6 menit baca
Jungkir balik peradaban terjadi selama pandemi Covid-19 mengempas sekitar 1,5 tahun terakhir. Semua terdampak, pun mahasiswa. Khawatir, takut, dan cemas menghantui di sela-sela kuliah daring. Di rentang usia yang penuh daya ledak, sebagian tetap mencoba menjaga kewarasan dengan berbagai hal baik.
Seperti halnya di sejumlah kota lain, ada dua pilihan bagi mahasiswa di Kota Semarang, Jawa Tengah, sejak aktivitas kuliah tatap muka dihentikan akibat pandemi Covid-19. Tetap berada di perantauan atau pulang ke kampung halaman. Semua ada risikonya. Yang pasti, mereka tak pernah menyangka mengalami situasi berat di saat jiwa penuh gairah menjemput masa depan.
Yongky (21), mahasiswa Semester 6 Jurusan Teknologi Perancangan dan Kontruksi Kapal Universitas Diponegoro, Semarang, salah satu yang memilih pulang kampung ke Kepoh, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Menghabiskan waktu di rumah, ia menyaksikan satu per satu orang di sekitarnya tumbang terpapar Covid-19. Ia terpanggil lalu bergabung menjadi sukarelawan pengubur jenazah Covid-19.
”Senang rasanya bisa kenal banyak orang baik. Senang bisa bantu orang lain dan saling berbagi pengalaman sesama sukarelawan. Walaupun di sini banyak yang umurnya jauh di atas saya alias sudah bapak-bapak,” kata Yongky yang dihubungi akhir Juli 2021.
Yongky berkisah, awalnya dirinya tidak mendapat restu keluarga saat ingin mendaftar menjadi sukarelawan pengubur jenazah Covid-19. Keluarga mengkhawatirkan keamanan dan keselamatannya. Namun, akhirnya ia mendapat izin asalkan tak mengganggu jadwal kuliah daring.
Ia bercerita, akhir-akhir ini banyaknya kasus kematian pada pasien Covid-19 di Klaten membuatnya kurang tidur dan telat makan. Ia harus selalu bersiap mengubur jenazah kapan saja. Ia juga mesti berlapang dada saat mendapat tekanan dari keluarga jenazah yang ingin jenazah dikubur secepatnya atau ngotot mendekati jenazah. Namun, semuanya coba dijalani Yongky dengan ikhlas. ”Bagi saya, ini bakal jadi kesan yang bakal susah dilupakan. Ini pengalaman sekali seumur hidup,” tuturnya.
Pendalaman ilmu agama sekaligus menjadi penenang di tengah masa sulit seperti pandemi.
Mencari kegiatan positif juga dilakukan Inayah Bulan (20), mahasiswa Semester 2 Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Semarang. Di sela-sela kuliah daring, ia mendalami agama Islam di pondok pesantren di dekat kampusnya di Tembalang. Selama pandemi, ia memilih tidak pulang ke kampung halamannya di Bojonegoro, Jawa Timur.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di pondok pesantren bersama sejumlah temannya. Baginya, ilmu agama sekaligus menjadi penenang di tengah masa sulit seperti pandemi.
Bagi mahasiswa yang ada di puncak usia aktifnya, pandemi Covid-19 dengan berbagai kebijakan pembatasan mobilitas dan aktivitas terasa mengekang. Melepas kecemasan dan mengambil hal positif adalah hal yang mau tidak mau mesti dilakukan.
Salah satunya dirasakan Emir Eranoto (20), mahasiswa Semester Dua Jurusan Sastra Inggris Undip yang juga mantan pesepak bola profesional. Ia adalah mantan kapten San Marco Juventina, klub Divisi Enam Liga Italia. Setelah hengkang dari ”negeri piza” setahun lalu, ia fokus kuliah di Undip.
Baru saja menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa, Emir tergagap mesti beradaptasi dengan pandemi. Terbiasa berlatih sepak bola saban hari, dia awalnya kesulitan menjaga rutinitas olahraga. Akhirnya, pilihan menghabiskan waktu senggang jatuh pada olahraga tinju. ”Saya terinspirasi tim nasional sepak bola Perancis yang juga menggunakan metode latihan tinju. Tinju dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan fokus diri,” ujarnya.
Emir merasa mesti mengambil sisi positif dari pandemi Covid-19. Ia pun memutuskan untuk belajar dan menguasai satu cabang olahraga selain sepak bola. Dengan terus melatih fisik, ia bisa menjaga stamina tubuhnya, apalagi di masa pandemi.
Tetap mencoba berpikir positif juga dilakukan Mellyana Dhian (21), mahasiswa Sastra Indonesia Undip yang juga seorang novelis. Penulis novel best seller berjudul Dear Imamku yang sudah diangkat ke layar lebar itu mengaku, penjualan buku di masa pandemi sangat sulit. Salah satunya karena banyak toko buku terpaksa tutup akibat kebijakan pembatasan.
”Kadang pemasukan pas sama modal, tidak untung istilahnya. Tetapi itu enggak bikin aku terpuruk. Malah menantang aku dan tim (penerbit) semakin berinovasi,” kata Mellyana yang tak henti menulis di masa pandemi.
Mencintai diri sendiri dan menata hati menjadi pilihan Mellyana mengatasi pikiran berlebihan.
Walakin, Mellyana sempat dilanda kecemasan berlebihan dalam waktu cukup lama akibat dampak pandemi. Selain penjualan buku tidak banyak laku, kerja-kerja kreatif juga kerap terhambat.
Seiring waktu, novelis muda asal Ungaran, Kabupaten Semarang, itu mencoba ikhlas. Ia berusaha menikmati setiap episode kehidupan, termasuk dalam duka. Mencintai diri sendiri dan menata hati menjadi pilihan Mellyana mengatasi pikiran berlebihan. Ia juga selalu berinovasi dan menyibukkan diri agar tidak ada waktu berpikir hal-hal yang tak bermanfaat.
Farijihan (22), mahasiswi Sastra Indonesia Undip lainnya, mengungkapkan, selama pandemi ini, ia justru punya banyak waktu mengembangkan minat dan bakatnya di dunia sastra, terutama penulisan puisi. Bahkan, ia telah mengikuti sejumlah lomba penulisan puisi secara daring. Beberapa karya puisinya juga dimuat di media daring dan cetak.
Sama seperti Mellyana, Farijihan juga merasa stres di awal pandemi. Terlebih, interaksi dengan sesama manusia jauh berkurang. ”Di rumah, mereka juga punya kesibukan sendiri-sendiri. Saya coba mengatasi dengan banyak mengobrol dengan adik atau joging bareng. Malam hari, biasanya aku bikin tugas kuliah dan menulis puisi,” ujarnya.
Annastasia Ediati, dosen Psikologi Undip, menjelaskan, ada beberapa hal yang memicu stres di kalangan mahasiswa di kala pandemi. Salah satunya kesulitan mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan mengerjakan tugas kelompok secara daring. Pemicu lain, situasi rumah yang kurang kondusif untuk belajar dan metode pembelajaran yang kurang menarik.
Menurut Ediati, diimbuhi berbagai kegamangan dan kedukaan, para mahasiswa akan mulai memiliki persepsi kegagalan atau ketidakpastian masa depan. Apalagi rentang usia mereka adalah waktu-waktu krusial menyiapkan masa depan. Persepsi kegagalan ini biasanya berkelindan dengan trauma masa lalu dan cemas berlebihan
”Rasa khawatir, takut, cemas yang berlebihan, mudah uring-uringan, atau juga kurang berminat terhadap aktivitas apa pun, bisa dialami mahasiswa,” ujar Ediati.
Selain itu, mereka juga bisa mudah menangis tanpa sebab, mengalami gangguan tidur, dan tidak ada keinginan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jika tidak mampu mengelola emosinya dengan baik, dampak stres itu bisa berujung buruknya nilai mahasiswa.
Dampak pandemi pada kesehatan mental mahasiswa terjadi di seluruh dunia. Dalam jurnal PLOS One berjudul ”Psychological Impacts from Covid-19 Among University Students: Risk Factors Across Seven States in the United States” yang terbit Januari 2021, para peneliti lintas kampus di Amerika Serikat mendapati, kualitas kesehatan mental sebagian besar mahasiswa AS memburuk selama pandemi.
Matthew Browning, psikolog dari Clemson University di South Carolina, yang juga salah satu peneliti riset tersebut, memaparkan, para mahasiswa harus berjibaku dengan lingkungan sosial baru, masalah keuangan, dan tuntutan tak biasa dalam meniti karier di masa depan.
Survei itu melibatkan sekitar 2.500 mahasiswa dari 7 universitas negeri di AS. Hasilnya, 85 persen mahasiswa mengalami tekanan emosional sedang hingga tinggi. Bahkan, 45 persen di antaranya mengalami tekanan level tinggi. Survei juga mendapati mahasiswa perempuan dua kali lebih berpotensi dilanda stres berlebih.
Untuk itu, Ediati berpesan kepada mahasiswa untuk selalu menjaga kesehatan, serta mengelola perasaan dan emosi dengan baik agar tidak larut dalam kegalauan. Sebisa mungkin, para mahasiswa mesti tetap terkoneksi dengan orang lain baik keluarga, sahabat, maupun teman meski secara virtual. ”Jangan lupa melakukan hal-hal yang dapat membantu atau meringankan beban hidup orang lain. Itu akan memberi makna dan semangat dalam diri,” katanya.
Akibat pandemi, kebanyakan mahasiswa galau menatap masa depan justru pada masa penuh daya dan energi. Namun, sebagian mampu berpikir positif dan tetap bermanfaat tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain. Warna-warni pandemi dijalani sebagai bagian proses pendewasaan kehidupan.