Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Siswa di Sekolah Belum Optimal
Hingga sekarang, baru sekitar 2 persen siswa usia 12-17 tahun yang divaksin dosis pertama atau berjumlah 767.350 orang. Adapun siswa yang sudah vaksin kedua baru 81 orang (0,0001 persen) dari target 26,7 juta orang.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseriusan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah yang mengutamakan kesehatan dan keselamatan warga sekolah masih dipertanyakan. Hingga Juli 2021, ketika tahun ajaran baru dimulai, vaksinasi kedua bagi pendidik dan tenaga kependidikan baru mencapai 30 persen. Selain itu, masih ada sejumlah indikator pemenuhan sekolah aman dari bencana Covid-19 yang belum terpenuhi.
Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang menjadi cara perlahan-lahan membuka kembali sekolah jika situasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membaik bisa terkendala. Saat ini, PTM terbatas dilarang untuk level situasi pandemi 3 dan 4, demikian juga di zona merah dan zona oranye. Sekolah di level dan zona tersebut wajib menggelar pembelajaran daring atau pendidikan jarak jauh.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Samto Prawiro mengatakan, kesehatan serta keselamatan siswa dan warga sekolah adalah faktor utama dalam proses pembelajaran selama masa pandemi. Namun, pemerintah tetap memberikan pelayanan pendidikan agar tidak terjadi learning loss.
Menurut Samto, sekolah aman dari bencana dalam konteks pandemi Covid-19 harus menjamin sanitasi, termasuk mengatur kapasitas kehadiran di sekolah maksimal 50 persen. Ada pula manajemen atau prosedur standar operasi aman bencana Covid, seperti mengatur bagaimana proses di sekolah serta siapa petugas dan pengawas cuci tangan dan jaga jarak, supaya tidak terjadi kerumunan.
”Tak kalah penting edukasi. Kalau edukasi terjadi untuk warga sekolah dan orangtua, kita sudah mengedukasi sebagian masyarakat. Ini bencana nonfisik yang diantisipasi dengan lebih intens edukasinya,” kata Samto dalam webinar ”Kesiapan Belajar lewat PTM di Tengah Pandemi Covid-19” yang digelar Plan International, Selasa (27/7/2021).
Hingga 26 Juli, hanya 33 kabupaten yang boleh PTM dengan jumlah satuan pendidikaan berkisar 12.660 sekolah. Namun, tidak semua sekolah menggelar PTM karena aturan daerah yang ketat.
Meskipun wacana PTM masih belum bisa dilaksanakan untuk Jawa dan Bali serta daerah yang masuk PPKM level 3 dan 4, persiapan sekolah diharapkan tetap dimatangkan. Apabila terjadi penurunan kasus Covid-19 signifikan, PTM terbatas sesuai dengan SKB empat menteri bisa dilaksanakan.
Namun, hingga 26 Juli pukul 18.00, papar Samto, baru sekitar 2,2 juta pendidik dan tenaga pendidik yang sudah menerima vaksin. Vaksin dosis pertama sekitar 39 persen dari 5,6 juta orang serta 1,69 juta pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) menerima dosis kedua atau 30 persen dari total PTK.
”Seharusnya Juli ini targetnya 100 persen. Sekarang sudah menyasar juga anak usia 12-18 tahun. Tetapi, memang belum merata di semua daerah,” kata Samto.
Baru berkisar 2 persen siswa usia 12-17 tahun yang divaksin dosis pertama atau berjumlah 767.350 orang. Adapun siswa yang sudah vaksin kedua baru 81 orang (0,0001 persen) dari target total 26,7 juta orang.
Baru berkisar 2 persen siswa usia 12-17 tahun yang divaksin dosis pertama atau 767.350 orang. Adapun siswa yang sudah vaksin kedua baru 81 orang (0,0001 persen) dari target total 26,7 juta orang. (Samto Prawiro)
Menurut Samto, secara umum untuk kesiapan sarana sanitasi dan kebersihan serta ketersediaan fasilitas kesehatan pada mayoritas satuan pendidikan sudah baik. Namun, untuk komponen pemetaan warga sekolah yang tidak boleh ke sekolah masih belum tersedia, di bawah 50 persen.
”Yang lebih sulit pemetaan warga pendidikan yang tidak boleh ke sekolah. Pemetaan riwayat kontak erat, sekolah enggak punya data. Riwayat perjalanan ke daerah risiko tinggi, semua di bawah 50 persen. Sementara 45 persen enggak punya transportasi yang aman karena memakai transportasi umum. Terkait riwayat kesehatan atau komorbid juga masih sedikit data tersedia,” papar Samto.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Elvi Hendrani mengatakan, jika nanti PTM dilakukan harus dipastikan tanpa membuat peluang jadi kluster sekolah. Kebijakan PTM harus dilakukan dalam situasi darurat sehingga perlu memperhatikan kondisi psikososial anak.
”Banyak anak merasa frustrasi. Perlu melakukan deteksi dini gangguan psikososial di satuan pendidikan. Pendidikan yang ramah anak dengan kolaborasi dan komunikasi yang baik antara guru dan orangtua akan membantu anak melewati pembelajaran dalam situasi ini agar tetap dapat bertumbuh serta berkembang baik,” kata Elvi.
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Nasional Dewi Nur Aisyah mengatakan, sebaran kasus Covid-19 pada anak usia sekolah berdasarkan data pada 25 Juli mencapai 12,82 persen pada usia 0-18 tahun. Terbanyak di usia SD 7-12 tahun, lalu usia 16-18 tahun, bahkan usia 0-2 tahun. Angka kematian tertinggi berada pada kelompok 0-2 tahun (0,17 persen) dan usia 16-18 tahun (0,15 persen).
”Meskipun kelompok usia di bawah 18 tahun memiliki kemungkinan lebih rendah untuk dirawat karena Covid-19 ataupun meninggal karena Covid-19, anak-anak dan remaja tetap dapat tertutar ataupun menularkan Covid-19,” jelas Dewi.
Untuk itu, percepatan vaksinasi anak bertahap dan imunisasi anak secara lengkap perlu dipenuhi. ”Tunda PTM untuk daerah dengan penyebaran tinggi dan infrastuktur rendah, tingkatkan ketahanan keluarga. Untuk optimal mengendalikan kondisi Covid-19 di lapangan, butuh kedisiplinan individu dan kolektif, protokol kesehatan, dan vaksinasi,” kata Dewi.
Hindara, perwakilan anak dari Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mengatakan, sebenarnya siswa siap untuk PTM. Namun, masih banyak sekolah terkendala dengan protokol kesehatan. Sementara PJJ tidak berlangsung mulus.
”Jujur, kami lelah belajar dengan kondisi begini. Sudah waktunya masuk sekolah, tapi PPKM terus ketat,” ujar Hinbara.
Martina Yoh Zeferina, perwakilan orangtua, mengatakan, pembelajaran dari rumah belum efektif. Bukan hanya soal kesiapan siswa, melainkan juga kesiapan guru dalam pembelajaran daring minim.
”Jika memang nanti PTM, ya, kesiapan sekolah harus dipastikan pemerintah. Namun, soal vaksin guru yang belum tuntas, bisa membuat kami khawatir untuk PTM. Untuk vaksin anak pun masih sulit,” kata Martina.
Sementara itu, Ahmad Arif, inisiator LaporCovid-19, mengatakan, pilihan PTM di masa pandemi tidak mudah. Keselamatan dan kesehatan anak tetap nomor satu. Pengawasan untuk memastikan keselamatan harus dilaksanakan dengan jujur.
”Namun, LaporCovid ada laporan sekolah tetap buka di zona merah. Pengawasan masih minim,” ujar Arif.