Kelompok Marjinal Makin Terimpit, Sulit Akses Pengobatan dan Vaksinasi
Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun semakin mengimpit masyarakat, terutama warga miskin dan kelompok rentan. Tak hanya sulit mengakses fasilitas kesehatan, mereka juga masih sulit mengakses vaksinasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta memberikan perhatian dan perlindungan kepada masyarakat miskin dan kelompok marjinal yang rentan terpapar Covid-19 dan sulit mengakses pengobatan dan perawatan. Pemerintah juga perlu menjamin agar vaknisasi bisa diakses secara gratis dan menyediakan fasilitas isolasi mandiri yang layak.
Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dalam pernyataan kepada media, Minggu (18/7/2021), menyatakan, pemerintah juga memastikan agar pekerja informal masuk dalam pendataan warga yang mendapatkan bantuan pemerintah. Bantuan mesti diberikan langsung tanpa harus sesuai dengan alamat di kartu tanpa penduduk, menyusul situasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.
Harapan tersebut disampaikan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang diwakili Eny Rohcahyati (Jaringan Rakyat Miskin Kota/JRMK), Muliawati (JALA Pekerja Rumah Tangga), Dewi Tjakrawinata (Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia/Yapesdi), Ruly Malay (Yayasan Kebaya), Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika), Indri Mahadiraka (Trade Union Rights Centre/TURC), Nelson Nikodemus (LBH Jakarta), serta perwakilan pekerja/buruh yakni Maria Ermeninta (KSBSI), Dian Septi (FSBPI/KPBI), dan Sumiyati (SPN).
Perhatian pemerintah sangat penting bagi kelompok marjinal, terutama warga miskin, perempuan pekerja pabrik, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, serta para transpuan dan kelompok rentan lainnya. Mereka semakin terimpit pada masa pandemi Covid-19.
Maria Ermeninta mengungkapkan situasi sulit yang dihadapi para perempuan pekerja pabrik. Kendati berisiko terpapar virus korona bahkan menjadi penyintas Covid-19, mereka harus terus berjuang keras bekerja untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga.
Para perempuan pekerja bidang manufaktur rentan terpapar karena mereka harus tetap masuk kerja. ”Sampai hari ini lebih dari 10 persen buruh pabrik yang terpapar Covid-19. Sementara mereka kesulitan akses untuk pengobatan dan isolasi mandiri, bahkan rata-rata buruh pabrik mengontrak di rumah petak yang tidak ada kamar sehingga sulit untuk isolasi di rumah,” ujar Maria.
Sampai hari ini lebih dari 10 persen buruh pabrik yang terpapar Covid-19. (Maria Ermeninta)
Meskipun sudah bebas dari Covid-19, mereka tidak mudah kembali bekerja karena diwajibkan tes antigen ataupun polymerase chain reaction (PCR) yang tidak semua ditanggung perusahaan. Apalagi sejumlah pekerja belum ikut program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Di sisi lain, saat PPKM mereka semakin sulit mengakses transportasi publik.
Situasi yang lebih sulit dihadapi perempuan pekerja karena risiko kehilangan pekerjaan, pemotongan upah, bahkan tidak dihitung upah lembur saat harus masuk kerja di hari lain karena pemberlakuan PPKM darurat. Belum lagi mereka berisiko terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Proses perubahan jam kerja menjadi sangat merugikankan, karena ketika PPKM diberlakukan banyak perusahaan yang melakukan upaya rekayasa jam kerja, dengan memberlakukan jam kerja sif bahkan sampai sif panjang. Pekerja yang dulunya bekerja hanya tujuh jam terpaksa bekerja 14 jam sehari.
”Jam kerja menjadi panjang karena kerja menjadi 14 jam dari sebelumnya kerja tujuh jam. Meskipun besoknya libur, ini memengaruhi stamina buruh yang rentan terpapar Covid, apalagi sekarang banyak perusahaan sudah tidak memberikan vitamin,” kata Sumiyati.
Sulit akses pengobatan
Eny Rohcahyati dari JRMK mengungkapkan kesulitan sejumlah warga miskin kota yang sakit dan terpapar Covid-19 mengakses pengobatan, bahkan ada yang sampai meninggal.
Umumnya saat ini warga miskin kota mengalami penyakit yang tidak biasa, terutama sakit lambung, sesak napas, panas dingin, dan sakit kepala. ”Tapi yang terutama adalah sesak napas, dan ini untuk mencari oksigen sulit sekali. Ada teman saya sudah sakit 10 hari tapi ke rumah sakit sangat sulit, rumah sakit menolak karena penuh, dia butuh oksigen tapi tidak tersedia dan akhirnya dipulangkan. Dalam perjalanan pulang tidak tertolong,” kata Eni.
Muliawati mengatakan, PRT adalah salah satu kelompok rentan yang terpapar Covid-19 dan jika terkena tidak mudah untuk isolasi mandiri karena mayoritas mereka hidup di rumah kontrakan yang tidak layak atau rumah petak. Padahal, 97 persen PRT mengontrak di rumah petak. Muliawati mencontohkan, ketika ibunya terpapar virus korona, mereka kesulitan saat isoman karena kamar mandinya hanya satu.
Kondisi buruk juga dialami para pekerja disabilitas di masa pandemi yang bekerja sebagai penjual kerupuk keliling, pemijat, dan lain-lain. Mereka otomatis kehilangan mata pencarian. Dengan kondisi seperti ini, para pekerja informal ini jadi makin sulit hidupnya.
Dewi mengungkapkan, imbauan untuk melakukan isoman tidak bisa dilakukan kelompok disabilitas karena mereka tidak bisa melakukan sendiri pelaksanaan isolasi mandiri, banyak dari mereka yang membutuhkan bantuan orang lain atau care giver. Sementara itu banyak obat-obatan yang tidak bisa dijangkau kelompok disabilitas karena terbatas, padahal untuk bertahan hidup mereka harus mengonsumsi obat-obatan.