Fiksi Menjadi Alternatif Menyampaikan Isu Perubahan Iklim
Fiksi dinilai sebagai media alternatif untuk menyampaikan isu yang kompleks dan sulit diterima masyarakat awam. Hal itu termasuk isu tentang perubahan iklim.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua orang paham dan percaya pada isu perubahan iklim, termasuk di Indonesia. Fiksi dapat dijadikan alternatif untuk menyampaikan dan menumbuhkan kesadaran publik terhadap isu ini.
Menurut ekonom lingkungan Andhyta F Utami, Sabtu (26/6/2021), isu perubahan iklim masih dianggap sebagai hal elite oleh sebagian orang. Salah satu alasannya karena istilah-istilah teknis membuat isu ini berjarak dengan masyarakat awam.
Menurut survei YouGov yang rilis pada 2019, dari 23 negara, Indonesia ada di urutan pertama negara yang tidak percaya bahwa pemanasan global dipicu manusia. Dari 1.001 responden di Indonesia, 18 persen di antaranya tidak percaya.
Urutan kedua adalah Arab Saudi dengan persentase ketidakpercayaan 16 persen. Selanjutnya, Amerika Serikat dengan persentase 13 persen.
”Kebenaran yang kompleks dan sulit diterima malah lebih bisa dikonsumsi masyarakat umum lewat fiksi. Jika melihat ke belakang, fiksi sudah menjadi alternatif menyampaikan sejarah di Indonesia, misalnya di zaman Orde Baru,” kata Andhyta pada diskusi daring dalam rangkaian acara Makassar International Writers Festival (MIWF).
Menurut dia, fiksi dapat menyentuh emosi dan nalar pembaca dengan cara yang tidak bisa dilakukan produk nonfiksi, misalnya data tentang perubahan iklim. Di sisi lain, pembaca bisa menyelami dan memahami isu yang dianggap sulit lewat dialog karakter pada fiksi.
Fiksi pun dianggap bisa menjadi media menanamkan kesadaran akan perubahan iklim, kemudian jadi titik awal untuk mendalami isu. Beberapa contoh buku fiksi yang bercerita tentang perubahan iklim, antara lain, The Drowned World oleh JG Ballard dan New York 2140 oleh Kim Stanley Robinson.
Fiksi jadi media untuk memulai percakapan. Sebagian orang yang membaca fiksi soal iklim akan membahas buku itu ke teman dan keluarganya. Fiksi bisa berdampak positif jika bisa meningkatkan kesadaran orang. (Andhyta F Utami)
”Fiksi jadi media untuk memulai percakapan. Sebagian orang yang membaca fiksi soal iklim akan membahas buku itu ke teman dan keluarganya. Fiksi bisa berdampak positif jika bisa meningkatkan kesadaran orang,” ujar Andhyta.
Seniman dan penulis Khairani Barokka mengatakan, fiksi tentang iklim dapat ditemukan di sastra komunitas akar rumput. Ia menilai belum semua fiksi diketahui karena ada lebih dari 700 bahasa daerah di Indonesia. Namun, cerita tentang masa depan alam, menurut dia, diceritakan di kalangan komunitas.
”Jika pelestarian bahasa lokal berkurang, akan kurang juga pengetahuan kita tentang lingkungan hidup,” kata Khairani.
Salah satu contoh fiksi dari perspektif penduduk asli (indigenous people) ialah Noopiming: The Cure for White Lady oleh Leanne Betasamosake Simpson, seorang penulis di Kanada. Novel itu menceritakan interaksi masyarakat dengan alam. Fiksi ini memadukan unsur spiritual dan religius masyarakat tersebut.
Masih terbatas
Menurut produser film Semesta, Mandy Marahimin, belum banyak film bergenre fiksi perubahan iklim di Indonesia. Beberapa film yang mengangkat isu perubahan iklim dibuat dalam genre dokumenter, seperti Negeri di Bawah Kabut karya sutradara Shalahuddin Siregar. Film Semesta pun merupakan dokumenter.
”Berdasarkan perkiraan saya, mungkin ini terkait dengan biaya yang mahal karena umumnya film climate fiction menggunakan setting waktu di masa depan. Genre film yang mau ditonton penonton Indonesia pun terbatas. Kebanyakan menyukai komedi, drama, horor, dan drama muslim,” kata Mandy.
Kendati demikian, film dinilai bisa merangsang emosi penonton dan berpotensi berdampak besar, termasuk mendorong munculnya kesadaran tentang perubahan iklim. Beberapa film fiksi luar negeri yang menceritakan dampak perubahan iklim, antara lain, adalah Soylent Green (1973) dan The Day After Tomorrow (2004).