Manusia Tak Berubah, Malapetaka Iklim Datang Lebih Cepat
Malapetaka perubahan iklim menghantam dunia lebih cepat dari perkiraan. Anak-anak yang lahir hari ini sudah akan mengalami dampak perubahan iklim sebelum mereka mencapai usia 30 tahun.
PARIS, KAMIS - Malapetaka perubahan iklim menghantam dunia lebih cepat dari perkiraan. Anak-anak yang lahir hari ini sudah akan mengalami dampak perubahan iklim sebelum mereka mencapai usia 30 tahun. Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan paling cepat terdampak, tak sampai dua dekade ke depan.
Demikian antara lain isi rancangan laporan Panel Perubahan Iklim Antarpemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), salah satu organ di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporan sepanjang 4.000 halaman tersebut rencananya baru akan diterbitkan Februari 2022. Namun kantor berita AFP memperoleh bocoran naskahnya pekan ini.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Pengasaman Laut
Menanggapi pemberitaan AFP, IPCC enggan memberikan elaborasi. IPCC hanya menyebutkan, bahwa lembaga itu tidak mengomentari isi draf laporan yang prosesnya masih berlangsung.
Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global yang terutama disebabkan berbagai kegiatan manusia yang menghasilkan penumpukan polusi karbon dan gas rumah kaca selama puluhan tahun. Saat ini, suhu Bumi rata-rata telah naik 1,1 derajat Celcius dibandingkan periode 1850-1900 atau sebelum revolusi industri.
Merujuk laporan IPCC, jika pemanasan berlanjut dalam kecepatan seperti saat ini, maka suhu bumi akan mencapai 1,5 derajat Celcius pada 2040. Ini akan menyebabkan perubahan iklim yang berujung pada sejumlah malapetaka bagi spesies, ekosistem, dan manusia.
Satu dekade yang lalu, para ilmuwan percaya bahwa membatasi pemanasan global hingga dua derajat Celcius di atas tingkat pertengahan abad ke-19 akan cukup untuk melindungi masa depan Bumi. Pemahaman ini dituangkan dalam Perjanjian Paris 2015 yang ditandangani oleh 196 negara. Komitmennya adalah membatasi pemanasan di bawah 2 derajat Celcius. Bahkan jika memungkinkan dibatasi sampai 1,5 derajat Celcius.
Baca juga: Penanganan Perubahan Iklim Belum Serius
Tren mutakhir menunjukkan, Bumi menuju 3 derajat Celcius. Model sebelumnya memperkirakan bahwa dunia tidak akan melihat perubahan iklim yang mengubah Bumi sebelum 2100. Namun rancangan laporan IPCC itu menyebutkan, pemanasan berkepanjangan di kisaran 1,5 derajat Celcius saja sudah dapat menghasilkan konsekuensi yang makin serius selama berabad-abad. Di beberapa kasus, dampaknya permanen.
Berdasarkan proyeksi Organisasi Meteorologi Dunia, bulan lalu, bumi berpeluang melewati ambang batas suhu 1,5 derajat Celcius pada 2026, setidaknya selama setahun. Angka probabilitasnya mencapai 40 persen.
1,5 Derajat
Apabila suhu Bumi naik hingga 1,5 derajat Celcius, dalam skenario laporan IPCC itu, terumbu karang akan punah. Ini akan memukul 500 juta penduduk Bumi yang sumber pangannya bergantung dari keanekaragaman hayati laut, termasuk Indonesia.
Sementara jika suhu naik hingga 2 derajat Celcius, lapisan es di Arktik dan Antartika akan meleleh dan mengakibatkan permukaan air laut naik sampai dengan 13 meter. Situasi ini akan menyebabkan misalnya berubahnya hutan Amazon menjadi savana.
Sekitar 80 juta penduduk Bumi akan mengalami kelaparan kronis di 2050. Lebih dari 130 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem. Sementara punahnya keanekaragaman hayati akan menjadi ancaman terbesar bagi kesehatan manusia di abad ke-21.
Kota-kota pesisir mengalami banjir dan gelombang badai yang semakin sering dan lebih mematikan. Penduduk di perkotaan akan mengalami kelangkaan air akibat kekeringan parah. Pemanasan 1,5 derajat Celcius berdampak pada lebih dari 350 juta penduduk. Pemanasan 2 derajat Celcius berdampak pada 410 juta penduduk. Sementara pemanasan hingga 2,5 derajat Celcius akan menyebabkan 420 juta orang terpapar gelombang panas ekstrem dan berpotensi mematikan.
Baca juga: Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim
Dalam waktu dekat, Asia Tenggara bersama Brasil timur, Mediterania, Cina tengah, dan garis pantai hampir di semua negara dapat dihantam oleh berbagai bencana iklim sekaligus, yakni kekeringan, gelombang panas, angin topan, kebakaran hutan, banjir.
Semua skenario tersebut adalah bencana akibat perubahan iklim ketika kecepatan laju pemanasan global saat ini terus berlanjut. Skenario itu belum memperhitungkan variabel apabila terjadi percepatan pemanasan suhu bumi akibat penyedotan air tanah, ekspansi permukiman manusia, konflik, dan eksploitasi alam akibat industri tidak ramah lingkungan.
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Siswanto, yang turut menjadi pemberi masukan laporan PBB itu, mengatakan, substansi naskah yang bocor ke AFP memang tidak ada yang salah. Namun ini sepertinya versi awal karena saat ini IPCC masih dalam tahap mendapat masukan dari para pengevaluasi dari setiap negara.
"Kalau dari draft laporan ini, umumnya yang paling terdampak masih di wilayah kutub dan lintang tinggi. Sementara perubahan hutan tropis menjadi savana mungkin tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sebab variabilitas hujan masih tinggi dan rezim temperatur lebih panas," kata Siswanto, yang turut meninjau dokumen SROCC (Special Report on Ocean Climate Change) dan SPM (Summary for Policy Maker) dalam laporan IPCC.
Kalau dari draft laporan ini, umumnya yang paling terdampak masih di wilayah kutub dan lintang tinggi. Sementara perubahan hutan tropis menjadi savana mungkin tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sebab variabilitas hujan masih tinggi dan rezim temperatur lebih panas
Jadi untuk Indonesia, menurut Siswanto, dampak terbesar yang akan dirasakan dari krisis iklim mendatang adalah peningkatan hujan ekstrem dan kekeringan ekstrem sehingga tren bencana hidrometerologi bakal meningkat. "Kenaikan permukaan laut pasti juga bakal jadi masalah serius, terutama kita kepulauan. Tetapi, ini merupakan bencana yang slow onset (perlahan)," kata dia.
Dampak terbesar di sektor kelautan, tambah Siswanto, adalah turunnya biodiversitas karena kenaikan suhu air serta matinya terumbu-terumbu karang.
Ikan berenang di terumbu karang di Portobelo, provinsi Colon, Panama, Kamis (15/4/2021). Setiap dua minggu, mahasiswa Biologi Kelautan turun sekitar lima meter ke laut untuk merawat pembibitan karang spesies staghorn (Acropora cervicornis) yang bertujuan untuk memulihkan terumbu yang rusak akibat perubahan iklim dan polusi, sebagai bagian dari proyek Reef2Reef. AFP/ Luis ACOSTAPakar lingkungan Universitas Teknologi Texas, Katherine Hayhoe, menerangkan, pendekatan pencegahan perubahan iklim tidak bisa dibebankan kepada lembaga tertentu di sebuah negara. ”Ini adalah upaya terintegrasi di semua bidang. Pendidikan, poliitk, teknologi, ekonomi, pangan, semuanya harus bekerja sama mengambangkan perilaku ramah lingkungan mulai dari cara produksi sampai dengan konsumsi,” ucapnya.
Industri tekstil misalnya, terancam kelangkaan bahan baku yang akan berdampak kepada lonjakan harga dan ketidakstabilan pasar. Industri kapas memiliki nilai global sebesar 12 miliar dollar Amerika Serikat. Mayoritas diproduksi di India, China, dan Brasil. Akibat perubahan iklim, 40 persen perkebunan kapas mengalami panen yang singkat dan produktivitas menurun di 2040.
Kenaikan suhu dan banjir menjadi penyebab utama rusaknya lahan pertanian kapas. Kepala Forum Masa Depan, Sally Uren menjelaskan, turunnya panen akan memunculkan kemiskinan baru. Di belakangnya akan mengekor berbagai masalah sosial dan jender yang semakin memperburuk situasi.
“Industri kapas ini hanya contoh kecil dari berbagai komoditas pangan yang terancam punah. Jalan keluarnya ialah memastikan penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca. Cara pembukaan lahan, penanaman, panen, distribusi, dan pengolahan kita harus dibenahi,” tuturnya.
Di Australia, pemerintah dan rakyat tengah menghadapi masalah pemutihan di Karang Penghalang Besar (Great Barrier Reef). Fenomena alam yang dikukuhkan oleh PBB pada tahun 1981 sebagai warisan dunia ini sejak 2015 mengalami percepatan kematian akibat suhu air laut terus meningkat dan ditambah pencemaran. Akibatnya, sejumlah spesies ikan, tumbuhan laut, dan burung berkurang drastis. (AFP/REUTERS/DNE/AIK)