Ketika seorang anak dibiasakan untuk membaca dan dapat memilih informasi yang perlu dibacanya, ia akan mampu menyampaikan informasi yang dibacanya dalam bentuk lisan maupun tulis dengan percaya diri.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Jakarta, KOMPAS – Kehidupan modern menuntut kemampuan literasi yang berkualitas agar seseorang dapat mengambil keputusan dengan tepat, bisa memberdayakan diri, serta berpartisipasi aktif maupun pasif dalam masyarakat sosial di tingkat lokal maupun secara global. Sayangnya, kemampuan literasi membaca siswa Indonesia masih rendah di tingkat dunia, yang oleh Bank Dunia dikategorikan sebagai functionally illiterate. Untuk itu, peningkatan literasi membaca siswa di tingkat pendidikan dasar harus serius diperbaiki.
Rendahnya kemampuan literasi membaca siswa Indonesia di mata dunia membuat para aktivis pendidikan meluncurkan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba). Gerakan ini bertujuan meningkatkan literasi membaca siswa pada jenjang pendidikan dasar melalui pelatihan guru.
Presidium Gernas Tastaba Itje Chodijah, Selasa (22/6/2021) menjelaskan, literasi membaca merupakan kunci peradaban. Perkembangan kehidupan seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan literasinya.
“Literasi merupakan kunci kehidupan seseorang.(Itje Chodijah)
“Literasi merupakan kunci kehidupan seseorang. Gernas Tastaba akan menjadi gerakan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan literasi membaca anak Indonesia,” kata Itje.
Dari kajian, ujar Itje, seseorang yang tumbuh dalam ekosistem yang kaya teks (baik lisan maupun tulis) akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan diri yang tinggi tersebut meningkatkan kesadaran seseorang bahwa pengetahuan yang diperolehnya dapat menentukan sikapnya secara lebih tepat dalam aktivitas pribadi maupun sosial mereka.
“Ketika seorang anak dibiasakan untuk membaca, lalu dapat memilih informasi yang perlu dibacanya, dan akhirnya mampu menyampaikan informasi yang dibacanya dalam bentuk lisan maupun tulis dengan percaya diri, ia akan mencapai literasi informasi yang mumpuni,” ujarnya.
Survei negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menempatkan Indonesia pada posisi sepuluh besar terbawah dari seluruh negara di dunia yang disurvei sejak 2009-2018 terutama dalam matematika, membaca dan sains. Pada kategori membaca, Indonesia berada pada peringkat ke-6 dari bawah dari 74 dunia yang disurvei dengan skor rata-rata 371. Oleh Bank Dunia, rendahnya kemampuan membaca anak Indonesia bahkan dikelompokkan ke dalam kategori functionally illiterate (buta huruf fungsional).
Wakil Ketua NU Circle yang juga Presidium Gernas Pemberantasan Buta Matematika (Tastaka) Achmad Rizali mengaku, literasi membaca sangat penting dan tak bisa dipisahkan dari literasi numerasi. "Selama lebih dua Tahun Gernas Tastaka berjalan, kami semakin tak bisa mengabaikan peran membaca dalam gerakan ini. Kami paham bahwa membaca adalah bagian dari alat membentuk nalar sehat,” kata Achmad.
Saat ini semakin banyak riset neurosains tentang keterkaitan kompetensi membaca dengan pengembangan nalar di otak melalui pembelajaran matematika (numerasi) di jenjang SD/MI. “Pemakaian kata buta membaca ini sebenarnya tidak berbeda dengan diksi yang dipakai Bank Dunia "Functionally Illiterate" alias buta huruf fungsional,” ujar Achmad.
Melatih Guru
Sementara itu, motor Gernas Tastaba Dhitta Puti Sarasvati menyatakan, Gernas Tastaba akan melakukan piloting kegiatan di dua tempat yaitu di DKI Jakarta dan di Batam.
Menurutnya, Gernas Tastaba merupakan "sahabatnya" Gernas Tastaka. Selama dua tahun berjalan Gernas Tastaka bertujuan untuk mengupayakan proses pendidikan matematika di tingkat pendidikan dasar secara bernalar, kontekstual, sederhana, dan mendasar. Gernas Tastaba didirikan untuk mengupayakan proses pemelajaran membaca di tingkat SD secara konkret, tekstual dan bermakna.
“Siswa dikembangkan kemampuannya untuk memaknai bacaan serta bisa belajar membaca melalui proses yang sesuai tahapan perkembangan mereka,” ujar Puti.
Menurut Puti, Gernas Tastaba punya dua strategi utama. Pertama mendorong guru SD/MI menjadi pembaca aktif. Sekeren apapun metode belajar yang digunakan guru, kalau guru bukanlah pembaca aktif, maka akan sulit bagi guru untuk memotivasi siswanya membaca. Pembaca aktif juga punya banyak referensi sehingga memudahkan mereka mencari gagasan yang bisa digunakan untuk memantik anak mengembangkan minat dan keterampilan membacanya.
Kedua, mengajak guru kembali belajar cara merancang proses belajar membaca dengan memastikan ada kegiatan pra-membaca (pre-reading activities), kegiatan saat membaca ( while reading activities), dan kegiatan pasca-membaca (post reading activities).
“Memaknai bacaan tidak pernah terjadi dalam vakum. Untuk memaknai bacaan, tidak cukup bagi anak untuk sekadar membaca saja. Anak perlu menghubungkan pengalamannya dengan bacaan. Guru juga perlu memiliki keterampilan untuk bertanya dan memancing anak untuk berdiskusi mengenai bacaan. Ada banyak keterampilan lainnya yang diperlukan guru untuk bisa mengajak anak belajar memaknai bacaan,” jelas Puti.
Sediakan Bahan Bacaan
Untuk meningkatkan tingkat literasi anak di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Kemendikbud Ristek) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) mencetak 120 judul buku dan 748 bahan bacaan. Cetakan tersebut melingkupi jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, SD, hingga tingkat SMA atau sederajat.
Kepala Badan Bahasa E Aminudin Aziz mengatakan, sejak tahun 2016, Badan Bahasa telah melaksanakan program penyediaan bahan bacaan literasi untuk mendukung Gerakan Literasi Nasional (GLN). Tahun 2021, konsentrasi penyediaan bahan bacaan literasi berfokus pada jenjang usia dini dan pembaca awal kelas 1, 2, dan 3.
“Pola penyediaan dilakukan melalui sayembara dan sudah terpilih 63 penulis yang akan menghasilkan 75 naskah untuk jenjang PAUD (prabaca 2), SD Kelas 1 (pembaca dini), SD Kelas 2 dan 3 (pembaca awal),” ungkap Aminudin saat membuka Pertemuan Penulis Bahan Bacaan Literasi 2021 di Jakarta, pekan lalu.
Aminudin menambahkan, kegiatan yang dihelat selama empat hari itu bertujuan meningkatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan naskah yang sesuai dengan ketentuan Badan Bahasa. Kemudian, dapat mengarahkan penulis dalam menggali dan menuangkan ide dalam menulis buku bacaan anak usia dini dan kelas awal melalui tema-tema yang telah ditentukan, yaitu keluarga dan sahabat, satwa dan tumbuhan, hobi/kegemaran, kesehatan, serta kearifan lokal/tradisi.
“Penulis yang terpilih dalam pembuatan buku literasi ini diharapkan dapat membuat buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan hanya berdasarkan keinginan penulis,” ujar Aminudin.
Lebih lanjut, Aminudin mengharapkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk menyukseskan GLN, khususnya dalam hal penyediaan bahan bacaan literasi. “Semoga ikhtiar untuk menyediakan bahan bacaan literasi juga dilakukan oleh berbagai pihak sehingga tiap anak di Indonesia dapat membaca tiga buku baru per tahun sesuai standar UNESCO dapat terwujud,” harap Aminudin.
Literasi merupakan bagian penting dalam upaya penanaman budi pekerti. Hal ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penanaman Budi Pekerti yang salah satunya dilakukan melalui aktivitas membaca.
Untuk mendukung hal tersebut, minat baca pada anak perlu dipupuk sejak usia dini dan dimulai dari lingkungan keluarga. Ketersediaan pilihan buku yang sesuai dengan jenjang pembacanya, terutama usia dini akan membantu meningkatkan minat baca pada anak.
Selain itu, bahan bacaan yang sesuai juga diharapkan mampu mendorong praktik baik literasi baca-tulis di sekolah, komunitas literasi, serta kegiatan lain yang berkaitan erat dengan penumbuhan budaya literasi.