Perempuan pekerja berada dalam situasi rentan kekerasan. Kasus kematian Marsinah yang dibunuh secara keji adalah salah satu potret bagaimana perempuan menjadi sasaran kekerasan ketika menyuarakan tuntutan pekerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Bulan Mei bukan hanya sekadar peringatan Hari Buruh (May Day). Bagi para pekerja dan aktivis buruh, terutama perempuan-perempuan pekerja, bulan Mei menjadi peringatan sekaligus tanda pengingat terhadap sosok seorang perempuan pekerja bernama Marsinah. Bulan Mei 2021 merupakan tahun ke-28 mengenang Marsinah, yang ditemukan tewas akibat penganiayaan brutal pada tanggal 8 Mei 1993.
Hampir tiga dasawarsa berlalu, hingga kini kematian Marsinah, sang perempuan buruh tersebut, masih menjadi tanya tanya. Misteri tersebut tak kunjung terungkap. Kendati demikian, suara menuntut negara mengungkap kematian Marsinah tak pernah berhenti.
Di kalangan para perempuan buruh, ingatan terhadap perjuangan Marsinah tak pernah pudar. Bahkan, di masa pandemi pun, semangat untuk tetap menjaga ingatan terhadap Marsinah terus dipertahankan. Seperti yang dilakukan Ikatan Buruh Perempuan, Sabtu (8/5/2021), yang menggelar Malam Renungan Marsinah: Usut Tuntas Kasus Marsinah, Pertahankan Demokrasi.
Mengingat Marsinah berarti memanggil kembali ingatan akan ketiadaan ruang demokrasi di negeri ini. Di masa kini, ruang demokrasi dipampatkan, dengan pandemi dijadikan pembenaran.
Acara digelar secara secara daring dan luring di Pintu Gerbang Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara. Puluhan poster dengan wajah Marsinah dipasang di tempat acara. Marsini, keluarga Marsinah, hadir secara daring bersama perempuan pekerja dari beragam sektor, yang antara lain berasal dari wilayah Jawa Timur (Surabaya), Jawa Tengah (Klaten, Salatiga), Sumatera Utara (Medan), Sulawesi Selatan (Makassar), dan Jambi. Setiap perwakilan pekerja tampil menyampaikan orasi.
”Menghidupkan terus Marsinah merupakan salah satu jalan yang kami pilih supaya ingatan tentangnya tetap hidup. Mengingat Marsinah mendorong kami semua kaum buruh bisa mengenal sosok Marsinah sekaligus mengambil makna dari tindakan tak lazim yang ia pilih kala itu,” ujar Dian Septi Trisnanti, Koordinator Marsinah FM yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
Marsinah merupakan salah seorang buruh PT CPS, Porong, Sidoarjo, yang kala itu getol menuntut haknya. Setelah aksi 3-4 Mei 1993, PT CPS menjanjikan akan memenuhi tuntutan-tuntutan buruh yang bersifat normatif. Namun, kemudian Marsinah hilang pada 5 Mei 1993, lalu jasadnya ditemukan pada 8 Mei 1993 di Jegong, Wilangan, Nganjuk, 100 kilometer lebih dari Sidoarjo, dengan kondisi tubuh penuh siksaan dan kekerasan seksual.
Kematian Marsinah masih merupakan misteri. Hingga kini, pelaku utama penculikan, perkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap Marsinah belum juga diungkap. Para terdakwa yang diproses hukum hanyalah kambing hitam belaka. Proses hukum yang prosesnya berujung di Mahkamah Agung ini membebaskan sembilan terdakwa karena terbukti tidak bersalah. Maka, hingga kini siapa sebenarnya yang membunuh Marsinah menjadi tidak jelas.
Kasus Marsinah merupakan bukti upaya pembungkaman suara buruh, pemberangusan wadah-wadah perjuangan buruh, dan kekerasan terhadap perempuan. ”Marsinah adalah kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan, mengenang Marsinah adalah melawan lupa. Mengingat Marsinah berarti memanggil kembali ingatan akan ketiadaan ruang demokrasi di negeri ini. Di masa kini, ruang demokrasi dipampatkan, dengan pandemi dijadikan pembenaran,” teriak Dian Septi.
Keluarga menanti keadilan
Marsini mengungkapkan, tanggal 8 Mei merupakan tanggal saat keluarganya mendapat kabar jenazah Marsinah ditemukan. Awalnya keluarga tidak percaya sebab tempat Marsinah ditemukan justru melewati desanya. Kematian Marsinah meninggalkan luka bagi keluarga. Karena itulah, keluarga terus berharap kepolisian mengungkap kematian Marsinah.
”Saya dan keluarga tetap ingin tahu siapa pembunuh adik saya. Tahun 2000, kami mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, sampai sekarang tidak ada jawaban,” ujar Marsini yang berterima kasih kepada para perempuan buruh yang tak pernah berhenti menyuarakan keadilan untuk Marsinah.
Karena itulah, keluarga terus mendukung upaya polisi untuk terus mengungkap siapa sebenarnya pelaku pembunuhan adiknya. ”Siapa toh pelakunya. Masak hanya satu orang saja tidak mungkin. Dan, Marsinah itu siapa, hanya orang kecil sebagai buruh, tapi kenapa kok tidak bisa ditemukan pembunuhnya. Mayat yang dimutilasi saja bisa ditemukan. Kami berharap pelaku ditemukan,” ucap Marsini tegas.
Sebelum meninggal, Marsinah bersama buruh meneriakkan 12 tuntutan, yang hingga kini masih relevan dengan keseharian hidup kaum buruh. Tidak hanya persoalan upah dan kebebasan berserikat, tetapi juga menyuarakan hak perempuan buruh, seperti hak cuti dan maternitas dan cuti hamil.
Karena itulah, meski 28 tahun berlalu, kematian Marsinah akan tetap menjadi pengingat bagi para perempuan pekerja karena situasi dan kondisi perempuan pekerja hingga kini masih seperti yang disuarakan Marsinah. ”Bagi kami, Marsinah adalah perempuan buruh. Keberanian, kegigihan, semangat pantang menyerah menginspirasi kami sebagai perempuan buruh,” ujar Elin, perwakilan Komite Buruh Perempuan Federasi Serikat Buruh Kerakyatan.