Komnas HAM: Timsus HAM Kejagung Tanpa Langkah Maju
Komnas HAM menilai Timsus HAM yang dibentuk Jaksa Agung Burhanuddin tak menawarkan langkah maju untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tiga petinggi Kejagung tak satu pun merespons saat ditanya soal hal itu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masih jalan di tempat. Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat atau Timsus HAM yang dibentuk Jaksa Agung sekitar empat bulan lalu dinilai belum membuahkan langkah maju.
Timsus HAM dibentuk Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai respons atas perintah Presiden Joko Widodo kepada Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut Presiden, kejaksaan adalah aktor kunci sehingga Presiden meminta ada kemajuan yang konkret untuk menuntaskannya.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab, Rabu (24/3/2021), mengatakan, Komnas HAM telah bertemu dan berkomunikasi dengan Timsus HAM Kejagung pada 8 Maret. Pertemuan berlangsung di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta disaksikan Menko Polhukam Mahfud MD.
Sedari awal, kata Amiruddin, Komnas HAM bersama keluarga korban dan berbagai elemen masyarakat berharap besar kepada Timsus HAM agar segera mengambil langkah berdasarkan temuan Komnas HAM. Hal itu berarti Jaksa Agung menindaklanjuti temuan Komnas HAM yang berupa alat bukti dan keterangan saksi.
”Namun, mereka masih meminta Komnas HAM untuk melengkapi petunjuk atau hal-hal yang diminta sebagai alat bukti. Ini berarti prosesnya jalan di tempat. Tim yang dibentuk Jaksa Agung tidak menawarkan apa-apa, tidak ada langkah maju,” kata Amiruddin.
Amiruddin mengatakan, Komnas HAM selaku penyelidik telah membuat laporan yang cukup terkait adanya pelanggaran HAM berat kepada penyidik, yakni Jaksa Agung. Sementara beberapa petunjuk berupa barang bukti yang diminta untuk dipenuhi Komnas HAM hanya dapat diperoleh berdasarkan kewenangan penyidik, bukan penyelidik. Mestinya Jaksa Agung dengan otoritasnya sebagai penyidik menindaklanjuti temuan Komnas HAM.
Di sisi lain, lanjut Amiruddin, pihaknya juga mempertanyakan langkah non-yudisial yang disebutkan akan diterapkan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Menurut dia, dasar hukum dan prinsip HAM yang digunakan dari langkah non-yudisial tersebut harus jelas.
Amiruddin mengaku dirinya telah membaca konsep penyelesaian melalui jalur non-yudisial, yakni mengambil berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kemudian ditindaklanjuti. Namun, hal itu dinilai tidak benar dan tidak bisa dilakukan karena berkas penyelidikan Komnas HAM adalah berkas perkara pidana untuk jalur yudisial, bukan non-yudisial.
Menurut Amiruddin, sebenarnya kendala penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM berat bukan pada persoalan teknis terkait hukum. Kendalanya adalah keseriusan dari semua pihak yang terkait untuk bersama-sama menyelesaikannya.
”Jadi soalnya adalah keseriusan. Mau serius atau tidak. Kami mengajak untuk serius. Kalau hanya business as usual, jadinya seperti ini, akan ada beban,” ujarnya.
Terkait dengan langkah Timsus HAM Kejagung, Kompas mencoba menghubungi Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi sebagai ketua tim maupun Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono sebagai wakilnya. Namun, keduanya tidak merespons. Kompas juga menghubungi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, tetapi tidak ada tanggapan.
Beberapa hari lalu, seusai bertemu Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, pemerintah serius menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Mahfud, hal itu merupakan kebijakan negara, bukan hanya kebijakan Presiden.
”Ada kasus-kasus yang bisa diselesaikan secara yudisial jika secara hukum dimungkinkan dari sudut alat bukti, mekanisme prosedur, serta kedaluwarsanya. Namun, ada juga yang di luar pengadilan, non-yudisial. Kami merencanakan penyelesaian itu, yudisial dan non-yudisial,” kata Mahfud.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti berpandangan, pembentukan satuan tugas untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat bukan pertama kali terjadi di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebelumnya pernah dibentuk Tim Terpadu dan Dewan Kerukunan Nasional.
Namun, pembentukan tim semacam itu justru menihilkan kewajiban negara untuk pengungkapan kebenaran, pemenuhan hak korban untuk non-restitusi, dan ketidakberulangan. Para pelaku pun harus diadili melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc yang sudah diatur melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Namun, selama Presiden Jokowi masih bekerja dalam pemerintahan bersama para pelaku pelanggaran HAM di masa kepemimpinannya, hal itu sulit rasanya untuk dilaksanakan karena tidak adanya kemauan politik dan tidak ada jaminan bahwa negara akan menyeret para pelaku seperti yang tertera pada laporan Komnas HAM untuk ditindaklanjuti,” kata Fatia.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengatakan, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah kewajiban negara yang harus dilaksanakan. Jika tidak dituntaskan, terjadi impunitas, yakni adanya kejahatan tanpa ada penegakan keadilan sehingga negara hukum tidak berjalan.
Menurut Taufik, kunci penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu ada di pemerintah berupa kemauan dan kemampuan untuk melaksanakannya. Kemauan politik diperlukan karena pelanggaran HAM masa lalu akan berhubungan dengan politik kekuasaan di masa lalu.
”Menurut saya, pemerintah mesti segera melakukan langkah penuntasan. Di antaranya, Kejagung agar menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Kedua institusi tersebut harus duduk bersama menyamakan persepsi dan strategi. Pemerintah melalui Menko Polhukam juga harus merumuskan mekanisme pengungkapan kebenaran, penelusuran data dan penyusunan sejarah, serta melakukan pemenuhan hak-hak korban,” kata Taufik.
Hingga saat ini, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Untuk berkas kasus yang terakhir, yakni kasus Paniai yang terjadi pada 2014, menurut Amiruddin, telah diserahkan ke Jaksa Agung.