Siswa Non-Muslim di Padang Kecewa dengan Pencabutan SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah
Sejumlah siswa non-Muslim di Padang, Sumatera Barat, kecewa dengan pencabutan surat keputusan bersama tiga menteri tentang seragam sekolah oleh Mahkamah Agung.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Salah seorang siswa non-Muslim (kanan) berinteraksi dengan temannya saat proses pembelajaran tatap muka di salah satu kelas di SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021).
PADANG, KOMPAS — Sejumlah siswa non-Muslim di Padang, Sumatera Barat, kecewa dengan pencabutan surat keputusan bersama tiga menteri tentang seragam sekolah oleh Mahkamah Agung. Walakin, mereka berharap pencabutan itu tidak melanggengkan kembali praktik pemaksaan berjilbab bagi siswa non-Muslim di sekolah.
EM, siswa kelas XII di Padang Sumatera Barat, menyayangkan pencabutan SKB tiga menteri ini karena aturan ini ia nilai sudah tepat. ”Saya merasa agak khawatir meskipun sekarang lebih berani melepaskan jilbab. Yang lebih berat adik-adik kelas non-Muslim, takutnya ada guru yang nekad menyuruh pakai jilbab. Adik-adik saya di sekolah lain masih pakai jilbab meskipun sudah ada SKB tiga menteri, apalagi kalau nanti SKB ini dihilangkan?” katanya.
EM meminta pencabutan SKB Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemda pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah itu dipertimbangkan kembali dengan setiap konsekuensinya ke depan. Kalaupun akhirnya tetap dicabut, ia berharap pemerintah bisa memastikan tidak ada lagi ketimpangan aturan di sekolah bagi setiap siswa.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Siswa menggunakan pakaian adat Bali saat parade ”Culture Day” di Sekolah Pembangunan Jaya Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (15/2/2020). Selain untuk belajar menghargai keberagaman, kegiatan yang diisi dengan parade pakaian adat Nusantara, pertunjukan barongsai, serta pentas seni dilakukan untuk menumbuhkan semangat cinta budaya Indonesia.
EM, siswa non-Muslim, sebelumnya delapan tahun harus mengenakan jilbab ke sekolah karena mengikuti aturan sekolah dan ia tidak berani melanggar. Apalagi, senior-senior EM yang non-Muslim di sekolah itu juga memakai jilbab.
Ia baru mulai berani ke sekolah tanpa jilbab sejak ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, yang kemudian disusul dengan terbitnya SKB tiga menteri. Penegasan Menteri Nadiem dan SKB tiga menteri itu merespons beredarnya video guru SMK 2 Padang yang mewajibkan siswa non-Muslim untuk berjilbab.
Melalui SKB yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada 3 Februari 2021 itu, pemerintah menyerahkan keputusan memakai ataupun tidak memakai seragam dengan atribut agama tertentu kepada setiap individu siswa sekolah negeri. Pemerintah daerah dan pihak sekolah tak boleh mewajibkan ataupun melarang.
Secara narasi, sering dipakai kata-kata dianjurkan atau diimbau. Namun, pada praktiknya kata-kata itu menjadi dorongan untuk wajib menggunakannya.
Menurut Eka, sekarang sebagian besar siswa non-Muslim (dari total 23 siswa non-Muslim perempuan) di SMK 2 Padang sudah menanggalkan jilbab. Namun, beberapa yang lainnya masih takut-takut menanggalkan jilbab karena menjadi pusat perhatian siswa lainnya dan tidak percaya diri.
”Mungkin siswa yang lain belum terbiasa (melihat temannya tidak berjilbab), masih merasa aneh. Kalau mereka sudah terbiasa, tidak akan begitu lagi. Namun, terkadang teman-teman saya (yang non-Muslim) masih tidak percaya diri,” kata Eka.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Sejumlah siswa Protestan yang mengikuti aturan berjilbab di SMK 2 Padang menceritakan pengalaman dan perasaannya saat diminta berjilbab di sekolah, Padang, Sumatera Barat, Senin (25/1/2021). Meskipun mengaku sudah terbiasa dan tidak lagi terpaksa, mereka sebenarnya lebih nyaman ke sekolah tanpa jilbab.
Santa Lastri Ivo, siswa kelas IX SMP 13 Padang, juga kecewa dengan pencabutan SKB tiga menteri tersebut. ”Pasti ada rasa kecewa dengan dicabutnya SKB itu. Namun, kalau kebijakannya sudah begitu, tidak apa-apalah, dimaklumi juga karena sudah terbiasa pakai pakaian agama (Islam),” tuturnya.
Ivo menjelaskan, sekolahnya tidak mewajibkan siswa non-Muslim berjilbab. Namun, karena sudah terbiasa berjilbab sejak SD dan agak risih jika tidak berjilbab sendiri, Ivo yang menganut Katolik tetap berjilbab ke sekolah.
Dilanjutkannya, sejak terbit SKB tiga menteri tentang seragam sekolah, adik-adik kelas Ivo sudah banyak yang mulai melepaskan jilbab. Banyak orangtua siswa non-Muslim merasa anaknya tidak perlu pakai jilbab. Namun, Ivo dan teman-teman seangkatannya belum melepaskan jilbab.
”Sekarang masih pakai untuk menghargai teman-teman. Teman-teman selama ini melihat saya pakai jilbab. Aneh apabila tiba-tiba mereka melihat saya buka jilbab. Namun, ke depan ada rencana buka jilbab pas masuk SMA. Di awal masuk SMA, ada teman-teman baru, jadi bisa membiasakan diri tidak pakai jilbab,” tutur Ivo.
Ivo berharap ke depan ada aturan tegas dari sekolah bahwa siswa non-Muslim boleh tidak pakai jilbab. Tujuannya agar lingkungan sekolah terbiasa melihat orang dengan penampilan berbeda. Selama ini, Ivo sering dianggap beragama Islam karena berjilbab.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Dua siswa Kristen (tidak berjilbab) berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021).
Ketua Pemuda Lintas Agama (Pelita) Padang Angelique Maria Cuaca mengatakan, Pelita Padang menyayangkan pencabutan SKB tiga menteri oleh Mahkamah Agung. Padahal, SKB tiga menteri ini dinilai sebagai solusi agar sekolah bebas dari praktik diskriminatif, seperti pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswa non-Muslim.
Pelita Padang khawatir pencabutan SKB ini semakin memperbesar dan memperluas praktik-praktik diskriminatif di sekolah. ”Harapan kami, pemerintah pusat harus cepat merespons ini dan mengambil tindakan tegas untuk memastikan di sekolah tidak boleh ada lagi pemaksaan penggunaan seragam beratribut keagamaan,” kata Angelique.
Menurut Angelique, SKB tiga menteri tentang seragam sekolah lahir karena maraknya peraturan inkonstitusional dan praktik pemaksaan penggunaan seragam atribut keagamaan di sekolah negeri. Secara narasi, sering dipakai kata-kata dianjurkan atau diimbau. Namun, pada praktiknya kata-kata itu menjadi dorongan untuk wajib menggunakannya.
Praktik pemaksaan ini, kata Angelique, juga berdampak pada perundungan di sekolah. ”Itu merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman. Tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan,” ujarnya.
Angelique melanjutkan, sekolah negeri seharusnya tidak boleh membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu, apalagi jika itu tidak sesuai dengan agama/kepercayaan peserta didik. Khusus siswa perempuan tidak boleh dipaksa ataupun dilarang menggunakan atribut keagamaan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana aktivitas pembelajaran tatap muka di SMK 2 Padang, Padang, Sumatera Barat, Senin (25/1/2021).
Ditambahkan Angelique, regulasi sebenarnya sudah jelas menyebutkan bahwa institusi pendidikan tidak boleh diskriminatif dan harus menghargai ekspresi keagamaan setiap peserta didik. Hal itu terdapat pada UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 55, UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat (1), dan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 Pasal 3 Ayat (4). ”Namun, praktiknya jauh panggang dari api,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (Sumbar) terhadap SKB tiga menteri itu (Kompas.id, 6/5/2021). Berdasarkan laman resmi MA, majelis hakim memutus perkara nomor 17 P/HUM/2021 itu pada 3 Mei 2021. Adapun majelis hakim yang menangani perkara tersebut adalah Yulius, Is Sudaryono, dan Irfan Fachrudin.
MA menilai SKB itu bertentangan dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi sehingga perlu dicabut. SKB Tiga Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam itu bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.