Konsep Pendidikan Inklusi Belum Banyak Dipahami Sekolah
Penyelenggaran pendidikan yang inklusi dan pendidikan khusus bagi anak penyandang disabilitas hingga kini menghadapi berbagai hambatan. Tanpa komitmen yang kuat dari semua pihak, pendidikan inklusi tak akan terwujud.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Kompas
Ivan Cordoba dan Paolo Orlandoni, pemain Inter Milan, menyapa anak berkebutuhan khusus di Panti Pendidikan Dwituna Rawinala, Jakarta Timur, Jumat (25/5/2012). Kedatangan mereka untuk melaksanakan misi sosial dalam rangkaian tur ke Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus hingga kini masih menghadapi berbagai persoalan. Selain pandangan yang masih menyamakan anak disabilitas sama dengan anak berkebutuhan khusus, kesenjangan kebijakan pusat dan daerah pun masih terjadi.
Bahkan, di tingkat pelaksana pendidikan, hingga kini tidak hanya tidak siap menyelenggarakan pendidikan inklusi, sekolah sering kali memaksakan diri untuk menjadi sekolah inklusi karena penunjukan/reward, tetapi sebenarnya tidak paham tentang konsep pendidikan inklusi. Akibatnya, yang diterima hanya disabilitas tertentu.
”Kemudian muncul kasus perundungan, peminggiran, pemaksaan anak disabilitas dikeluarkan dari sekolah karena dianggap meresahkan, melukai, mengganggu anak-anak lain. Ini karena sekolah punya hambatan untuk mengomunikasikan situasi anak disabilitas terhadap anak-anak lain serta orangtua anak-anak bukan penyandang,” ujar Nurul Sa’adah Andriani, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada acara Share Learning dan Diskusi Publik: Mewujudkan Pendidikan Indonesia yang Inklusif, Aman dan Berkualitas, yang digelar YAPPIKA-ActionAid, dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional, Minggu (2/5/2021).
Murid difabel melihat temannya yang mengikuti lomba lari di SLB YPAC Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Selasa (3/12/2019). Kegiatan tersebut untuk merayakan Hari Penyandang Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember.
Menurut Nurul, anak disabilitas tidak sama dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), tetapi anak disabilitas merupakan bagian dari ABK. ABK adalah semua anak dalam situasi khusus, cerdas istimewa yang kesulitan berinteraksi sosial atau sekolah bersama dengan anak-anak umumnya, atau anak-anak yang alami kekerasan dalam rumah tangga, termasuk anak-anak yang orangtua bekerja di luar negeri dalam waktu lama.
Cara pandang yang melihat anak disabilitas sebagai ABK menjadi persoalan karena kemudian pendidikan inklusi dimaknai hanya dengan memberikan fasilitas kepada anak disabilitas. Padahal, seharusnya pendidikan inklusi adalah pendidikan untuk semua anak dengan memperhatikan dan memfasilitasi proses belajar mengajar sesuai kebutuhan khususnya. Artinya, semua anak harus mendapatkan pembelajaran, termasuk aksesibilitas infrastruktur.
Sementara dalam perspektif lain, masyarakat masih melihat bahwa anak penyandang disabilitas dengan kondisi kekhususan dan hambatan lebih baik masuk ke sekolah luar biasa, tidak masuk pendidikan umum. ”Jadi, masih melihat bahwa proses belajar mengajar bagi anak disabilitas dalam sekolah umum sebaiknya disendirikan. Misalnya di sekolah umum ada ruang khusus, ada kelas inklusif,” katanya.
Kemudian muncul kasus perundungan, peminggiran, pemaksaan anak disabilitas dikeluarkan dari sekolah karena dianggap meresahkan, melukai, mengganggu anak-anak lain. Ini karena sekolah punya hambatan untuk mengomunikasikan situasi anak disabilitas terhadap anak-anak lain serta orangtua anak-anak bukan penyandang.
Kendati sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus telah dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas, implementasinya mengalami hambatan.
Belum semua daerah mempunyai kebijakan tentang pendidikan inklusi. Bahkan, peraturan di tingkat pusat tidak memberi kewajiban kepada daerah untuk menyelenggarakan pusat sumber pendidikan inklusi, hanya kepada pendidikan tinggi.
Permasalahan lain adalah kesiapan pemerintah kabupaten/kota untuk menyelenggarakan unit layanan disabilitas (ULD) karena rendahnya komitmen pemimpin daerah, dan berkaitan dengan kesiapan anggaran dan sumber daya manusia.
DIONISIO DAMARA UNTUK KOMPAS
Penyandang tunaganda netra dari yayasan pendidikan Dwituna Rawinala seusai menyanyikan lagu ”Garuda di Dadaku” dan ”Indonesia Jaya” dalam konser ”Untukmu Indonesiaku”, Minggu (23/9/2018), di Jakarta
Reza Rahadian, Duta Persahabatan YAPPIKA-ActionAid yang juga menjadi pembicara dalam acara hari Minggu tersebut, mengungkapkan, sejak 2016 dirinya terlibat dalam kampanye mendorong Sekolah Aman karena ingin anak-anak Indonesia yang sedang sekolah bisa belajar dengan aman, termasuk mendorong sekolah inklusif agar memberi keadilan bagi semua anak untuk mendapatkan hak pendidikan.
Direktur Esekutif YAPPIKA-ActionAid Fransisca Fitri menyampaikan, YAPPIKA-ActionAid didukung Uni Eropa memberikan dukungan terwujudnya sekolah yang nyaman. Hasil penelitian YAPPIKA-ActionAid di enam kabupaten/kota menunjukkan, hampir 250.000 sekolah (SD Negeri) di Indonesia dalam kondisi rusak, rawan roboh, lembab, dan berdebu.