Perluasan dan Pemerataan Sekolah Inklusif Tak Mudah
Perluasan dan pemerataan jumlah sekolah inklusif masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari penyediaan guru pendidikan khusus memadai hingga membangun budaya inklusif.
JAKARTA, KOMPAS — Perluasan akses penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menjadi fokus pemerintah. Ini dilakukan demi mewujudkan pemenuhan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan layak. Hal itu merupakan pelayanan dasar wajib yang diberikan negara.
Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang berkebutuhan khusus untuk mengikuti pembelajaran bersama peserta didik pada umumnya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa mengarahkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu SD, satu SMP, dan satu SMA untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Mereka wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Permendiknas itu sekarang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.
Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sri Wahyuningsih di sela-sela webinar ”Sosialisasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Satuan Pendidikan”, Rabu (24/3/2021), di Jakarta, menyebutkan, jumlah SD yang menyandang sekolah inklusif sebanyak 59.060 pada 2019 dan 99.467 instansi pada 2020. Sementara total SD baik negeri maupun swasta mencapai sekitar 149.000 instansi.
Dia mengatakan, secara bertahap, pihaknya mendorong agar SD reguler yang ada mengikuti skema pendikan inklusif. Hal ini sejalan dengan Rencana Induk Pendidikan Inklusif 2019-2024. Pada 2019 hingga 2021, perluasan akses penyelenggaraan pendidikan inklusif diikuti dengan indikator strategi, pemetaan kendala, dan penguatan regulasi di tingkat daerah.
Sementara pada 2022-2024, dalam rencana induk disebutkan, fokus pada pemerataan penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat provinsi, kabupaten/kota, peningkatan mutu, dan aktualisasi budaya inklusif.
Sri mengakui, hingga sekarang masih ada penolakan pendidikan inklusif. Daerah juga tidak menjadikan pendidikan inklusif sebagai prioritas sehingga minim dukungan anggaran dan regulasi.
Baca juga: Sekolah Inklusif, Ruang Mengenalkan Keberagaman Anak
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Praptono, saat dihubungi terpisah, mengatakan, anak penyandang disabilitas yang menjadi peserta didik hanya sekitar 275.000-an orang. Jumlah ini dilayani oleh sekolah inklusi 27.967. Kalau dibandingkan dengan jumlah anak penyandang disabilitas, tingkat partisipasi sekolah hanya sekitar 20,9 persen.
Salah satu masalah sekolah inklusi, menurut dia, adalah kekurangan guru pembimbing khusus (GPK) sebesar 30.142 orang di seluruh jenjang pendidikan. Kekurangan ini dihitung berdasarkan ketentuan satu sekolah dibutuhkan minimal satu GPK.
Sementara itu, jumlah GPK berkompeten saat ini hanya 2.285 orang. Dengan demikian, kekurangannya mencapai 92,42 persen. Menurut dia, kekurangan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan suplai GPK dari tujuh perguruan tinggi yang mempunyai prodi pendidikan khusus. Solusi yang diambil sekarang adalah mengangkat guru bimbingan konseling atau guru mata pelajaran sebagai GPK dengan status tugas tambahan.
Praptono menceritakan, pihaknya memiliki jalan keluar berjangka pendek, menengah, dan panjang. Solusi jangka pendek berupa program bimbingan teknis bagi GPK bukan berkualifikasi pendidikan khusus, untuk meningkatkan kompetensi keahliannya. Program ini berjalan sejak September 2020.
”Kami menjalankan pula program Guru Penggerak dan laman Guru Belajar untuk meningkatan mutu GPK,” katanya.
Solusi jangka menengah meliputi penyelarasan regulasi agar sesuai dengan PP No 13/2020 dan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Lalu, lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) memasukkan mata kuliah pendidikan inklusi dalam setiap jenis program studi kependidikan.
Sementara solusi jangka panjang adalah mendorong LPTK membuka prodi pendidikan khusus yang semakin banyak. Saat ini baru ada tujuh perguruan tinggi negeri yang mempunyai program studi pendidikan khusus dan dominan berlokasi di Jawa. Solusi lainnya adalah mengangkat GPK sesuai dengan kebutuhan, baik skema aparatur sipil negara (ASN) pegawai negeri sipil maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Menjalin jejaring
Kepala SD ”Kita” Bojonegoro Bekti Prastyani mengatakan, berdasarkan pengalamannya mengelola sekolah inklusif, dia mesti menjalin jejaring dengan lembaga layanan anak. Misalnya, Matahati Care Education Malang, Beloved Kanti Malang, dan pusat autis. Jaringan itu membantu Bekti memenuhi pelatihan kompetensi bagi GPK.
”Karena sekolah kami termasuk sekolah reguler pertama, swasta pula, yang memperoleh surat keputusan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Kami tidak menuntut pemerintah. Kami diskusi dengan mitra untuk segala pemenuhan pelatihan guru sekaligus orangtua,” ujar Bekti.
Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bintan, Kepulauan Riau, Yunita Maiza, saat dihubungi terpisah, mengatakan, kekurangan GPK bukan hanya terjadi di sekolah inklusif, melainkan juga di SLB. Dia lantas mencontohkan pengalaman di institusi tempatnya mengajar. Kebanyakan guru memiliki latar belakang pendidikan umum, bukan pendidikan khusus.
Kekurangan GPK mengharuskan seorang guru harus mengajar dua sampai tiga rombongan belajar. Padahal, idealnya adalah satu guru mengajar satu rombongan belajar.
”Penanganan anak penyandang disabilitas di sekolah inklusi di Bintan belum optimal. Kekurangan GPK adalah salah satu masalah genting dan mungkin budaya ataupun sarana prasarana. Akibatnya, siswa penyandang disabilitas di sekolah inklusif dipindahkan orangtuanya ke SLB,” ujar Yunita.
Siswa SMA Negeri 7 Kota Bandung, Muh Alfarizal, menceritakan, sebagai anak penyandang disabilitas, dia sudah biasa belajar di sekolah inklusif. Berdasarkan pengalamannya, dia merasa guru bersikap baik dan perhatian kepada anak penyandang disabilitas.
Namun, budaya sekolah umumnya belum inklusif. Dia pernah beberapa kali mengalami perundungan, misalnya saat di toilet, pintu ruangan tempatnya dilempar batu. Barang peralatan belajar miliknya pernah disembunyikan. Dia juga pernah dikunci di ruang kelas lain. Rata-rata pelakunya adalah teman sebaya.
Kalau mau lapor ke guru, saya harus sembunyi-sembunyi. Sebab, saya sering mendapat ancaman. (Muh Alfarizal)
”Kalau mau lapor ke guru, saya harus sembunyi-sembunyi. Sebab, saya sering mendapat ancaman,” tuturnya.
Di luar pengalaman buruk itu, Alfarizal tetap memiliki sahabat karib yang membantunya belajar dan berkumpul untuk bercengkerama di luar jam sekolah. Guru juga mau menindaklanjuti pengaduannya.
Baca juga: Menagih Janji Pendidikan Inklusif
Aktivis remaja Putri Gayatri berpendapat, sekolah inklusif dapat melatih budaya keberagaman. Anak reguler dapat berkembang lebih toleran terhadap aneka bentuk perbedaan. Pengalamannya saat SMP, sekolahnya menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dia menjadi memahami kondisi teman sebangkunya yang mempunyai kebutuhan khusus.
”Anak reguler seharusnya berani menyuarakan anti-perundungan. Saya baru menyadari pentingnya menjadi teman yang mendukung dan melindungi teman berkebutuhan khusus. Saya sekarang baru paham kalau laporan pengaduan sedikit bukan berarti teman saya yang berkebutuhan khusus tidak mengalami perundungan, tetapi memang takut melapor,” ujarnya.