Sesungguhnya persoalan yang dihadapi perempuan-perempuan di zaman Kartini masih terus terjadi sampai sekarang.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Seperti tahun sebelumnya, Peringatan Hari Kartini 2021 juga sepi dari kegiatan perayaan yang mengumpulkan massa, atau kegiatan lomba. Masa pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari setahun mengubah wajah peringatan Hari Kartini dari seremoni dan lomba-lomba memasak dan busana adat, menjadi diskusi dalam ruang-ruang virtual (daring) yang memperkaya pengetahuan perempuan.
Pandemi membuat kegiatan peringatan Hari Kartini dua tahun terakhir berbeda. Kalau pun ada kegiatan, lebih pada pentas seni yang dikemas secara luring dan daring dengan protokol kesehatan yang ketat. Kegiatan seremoni yang selama ini dikritik para aktivis perempuan dan kesetaraan jender pun berakhir dengan sendirinya.
Sekitar 24 tahun yang lalu (1997), Ruth Indiah Rahayu, Peneliti feminis, manajer program di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) telah mengkritik cara bangsa Indonesia memuliakan Kartini setiap tanggal 21 April.
Tulisan Ruth “Sebuah Epilog:Kartini di Akhir Abad 20: Sebuah Relikwi atau Inspirasi” yang kemudian dimasukkan dalam bab terakhir buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Tour, sudah mempertanyakan cara masyarakat Indonesia saat itu (sampai sekarang) yang mengingat sosok Kartini atas dasar identitas kulturalnya, yakni lewat busana Jawa: kebaya, kain panjang, dan gelung.
Peringatan sebagai sebuah penghormatan atas dasar keyakinan bahwa Kartini adalah pahlawan emansipasi perempuan, seolah-olah menempatkan perempuan Indonesia telah merdeka dan terlepas dari kungkungan. Padahal, meskipun pemikiran Kartini di zamannya sudah jauh dan visioner, sesungguhnya persoalan yang dihadapi perempuan-perempuan di zaman Kartini masih terus terjadi sampai sekarang.
Dari berbagai diskusi tentang Kartini sepanjang April 2021, pemikiran-pemikiran Kartini yang muncul lebih dari seabad yang lalu pun diangkat kembali. Sebab, kenyataannya, gugatan Kartini terhadap berbagai praktik ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1800-an ternyata masih dialami perempuan-perempuan di Tanah Air.
Eksploitasi terhadap perempuan dan anak, poligami, perkawinan anak, hingga rendahnya peran perempuan di ruang-ruang publik, masih berlangsung hingga 75 tahun Indonesia merdeka.
Kekerasan perempuan masih tinggi
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan walaupun perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya merupakan hak asasi bagi perempuan dan anak yang wajib dipenuhi, fakta memperlihatkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih sangat tinggi.
Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam kategori kelompok rentan, membuat dirinya menjadi lebih berpotensi mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Berdasarkan data pencatatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) selama periode Januari-Maret 2021, tercatat sebanyak 2.022 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 2.897 kasus kekerasan di pada anak.
“Memang tidak mudah untuk mendapatkan data kekerasan yang bisa menggambarkan kondisi sebenarnya, karena banyak kasus kekerasan yang tidak terlaporkan. Artinya, jumlah kasus yang terjadi secara riil dapat jauh lebih banyak dari yang diketahui dan dilaporkan,” ungkap Bintang.
Melihat masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, maka seruan dan kampanye di Hari Kartini 2021 untuk menghentikan praktik kekerasan terhadap perempuan pun menjadi relevan. Tak hanya itu, agar perempuan memiliki posisi setara dengan laki-laki maka upaya mendorong pemenuhan hak-hak perempuan harus mendapat perhatian-sehingga perempuan bisa berperan aktif di berbagai bidang.
Mengapa peran aktif perempuan menjadi penting? Sebab, perempuan merupakan penopang hidup bangsa. Bahkan, di sektor ekonomi, setengah dari potensi sumber daya manusia di Indonesia adalah perempuan.
Pada sektor sosial, perempuan memiliki sensitivitas dan potensi yang luar biasa dalam menanggulangi berbagai masalah sosial seperti konflik atau bencana. Begitu juga pada sektor politik, keterwakilan perempuan berarti mengedepankan pengambilan keputusan yang inklusif dan setara.
Maka, apapun profesi dan karir yang menjadi pilihan perempuan, seharusnya mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, terutama keluarga. Baik perempuan yang berkarir di ranah publik maupun ibu rumah tangga, berhak akan persamaan kedudukan dan kesetaraan, serta kesempatan untuk terus mengembangkan potensi dirinya.
“Memberikan kebebasan pada perempuan untuk berkembang sesuai dengan pilihannya sendiri, adalah wujud pengamalan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh Kartini. Semua perempuan, di perkotaan dan perdesaan, dari segala usia, tanpa memandang latar belakang suku, budaya, dan agama, termasuk disabilitas, memiliki kesempatan yang setara untuk bermimpi dan mewujudkannya,” ujar Bintang.
Akan tetapi untuk mewujudkan cita-cita Kartini tersebut tidaklah mudah. Berbagai tantangan terus dihadapi perempuan, baik dari internal maupun lingkungan. Bahkan, di saat pemerintah gencar mencegah praktik perkawinan anak, mendorong perempuan berperan di ruang publik, masih saja ada kelompok tertentu yang melakukan kampanye sebaliknya.
Kontra
Bahkan di masa pandemi ini, ajakan perkawinan anak dan poligami, belakangan semakin gencar dihembuskan kelompok tertentu. Di saat momen peringatan Hari Kartini, pun upaya mengerdilkan perjuangan Kartini dilakukan sejumlah pihak.
Tak hanya itu, kampanye terselubung mengajak perempuan agar mau berbagi “suami” juga dilakukan lewat media sosial. Kendati dibungkus dengan banyolan-banyolan, pesan-pesan yang disampaikan sesungguhnya sarat dengan ajakan poligami.
Sebelumnya, dua bulan lalu, sekitar awal Februari 2021, di media sosial juga viral soal promosi perkawinan anak, nikah siri, dan poligami yang dilakukan oleh sebuah event organizer (EO) perkawinan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pun langsung bertindak, berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengusut hal tersebut.
Paktik-praktik yang berlawanan dengan upaya pemerintah dan sejumlah pihak dalam menghapus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan tentu saja menjadi tantangan. Karena itu, momentum Peringatan Hari Kartini 2021 hendaknya menjadi kesempatan untuk memperkuat gerakan penghapusan kekerasan dan diskriminasi pada perempuan.
Mengubah cara pandang terhadap perempuan harus dilakukan secara masif, termasuk membuka cara berpikir perempuan agar bisa berdaya dan melawan segala praktik yang menempatkan perempuan pada posisi tidak setara dengan laki-laki. Selamat Hari Kartini!