Melindungi Wartawan, Melindungi Demokrasi
Kasus kekerasan terhadap wartawan terus meningkat. Ketika wartawan diserang, masyarakat juga menerima akibatnya karena kebebasan berekspresi dan akses informasi terkikis.
Keselamatan dan keamanan wartawan penting untuk memastikan wartawan dapat menyampaikan informasi yang berkualitas kepada masyarakat dengan baik. Ketika wartawan terancam, maka bisa memengaruhi arus informasi ke masyarakat.
Kekerasan, baik fisik maupun psikis, menjadi ancaman terbesar bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalismenya. Intimidasi, kekerasan seksual, penganiayaan, hingga perampasan peralatan kerja tidak hanya mengancam keselamatan wartawan, tetapi juga merupakan bentuk pembungkaman terhadap wartawan pada khususnya dan pers pada umumnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan dan media terus meningkat, pada 2020 terdapat 117 kasus atau meningkat 32 persen dibandingkan pada 2019. Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga demikian, kasus kekerasan terhadap wartawan meningkat dari 53 kasus pada 2019 menjadi 84 kasus pada 2020.
Kekerasan terhadap wartawan umumnya terjadi ketika wartawan meliput aksi unjuk rasa dan kasus-kasus yang melibatkan pejabat atau pemilik modal, seperti kasus korupsi dan kasus lingkungan. Dalam beberapa kasus, kekerasan terjadi terhadap wartawan ataupun media yang kritis.
Selama triwulan pertama 2021, berdasar catatan Amnesty International Indonesia, terjadi 16 kasus kekerasan terhadap wartawan, terakhir kasus penganiayaan terhadap wartawan Tempo di Surabaya, Nurhadi, pada 27 Maret. Nurhadi juga diintimidasi, dirampas peralatan kerjanya, dan dihapus data serta dokumen di dalamnya, serta dipaksa menerima ”uang ganti rugi” dan diancam menghentikan peliputan.
Baca juga : Lima Orang Aniaya Jurnalis Tempo Nurhadi
Kasus ini terjadi ketika Nurhadi menjalankan tugas jurnalistik untuk mendapatkan konfirmasi dari tersangka kasus suap Angin Prayitno Aji, bekas Direktur Pemeriksaan Kementerian Keuangan di resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Samudra Bumimoro, Surabaya (Kompas, 6/4/2021). Alasan Nurhadi masuk wilayah privat, menurut Ahmad Fathanah dari LBH Jakarta, tidak bisa menjadi pembenar penganiayaan tersebut.
”Nurhadi menjalankan tugas dan kerja jurnalistik. Mencari (informasi) itu, terlepas masuk ke wilayah privat atau bukan, sepanjang itu kerja jurnalistik, tidak bisa dipidana,” kata Fathanah dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.
Apa yang terjadi pada Nurhadi merupakan upaya menghalangi kerja wartawan yang dalam menjalankan tugasnya dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers pada 2008 juga menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan/atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak mana pun.
Membatasi informasi
Tak hanya melanggar undang-undang, menghalangi kerja wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik juga berarti menghalangi/membatasi akses informasi publik untuk masyarakat. Hal ini, kata Mulki Shader, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) beberapa waktu lalu, sangat berbahaya karena bisa menimbulkan titik hitam (blank spot) informasi, masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi tentang suatu kejadian/masalah.
Kekerasan terhadap wartawan juga bisa menimbulkan trauma yang membuat korban menyensor diri sendiri. Laporan Reporters Without Borders (RSF) berjudul Sexism’s Tool on Journalism yang dipublikasikan pada Maret 2021 menyebutkan, 48 persen responden yang disurvei menyatakan wartawan perempuan yang mengalami kekerasan seksual melakukan penyensoran diri sendiri (swasensor).
Baca juga : Penyensoran di Era Kebebasan Pers
Swasensor mungkin merupakan konsekuensi yang paling terlihat, tetapi bukan yang paling ekstrem. Kekerasan seksual juga menyebabkan wartawan perempuan yang menjadi korban berkurang motivasinya, menutup akun media sosial mereka, beralih ke bidang lain, atau bahkan mengundurkan diri. Ini menunjukkan kekerasan seksual tidak hanya berdampak pada kondisi psikis korban, tetapi juga profesi korban sebagai wartawan.
Pada akhirnya, keragaman berita dan informasi akan terpengaruh. Sebuah organisasi berita tanpa perempuan akan membuat sejumlah isu atau topik tidak akan pernah diliput. Semakin banyak perempuan di organisasi berita, kata Perwakilan RSF India Rituparna Chatterjee, semakin besar kemungkinan hal-hal yang memengaruhi perempuan, seperti politik tubuh, akan lebih mudah diliput.
Meski berdampak nyata bagi wartawan dan jurnalisme itu sendiri, kasus kekerasan seksual terhadap wartawan sering kali tersembunyi karena tidak tercatat dalam laporan kekerasan terhadap wartawan. Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan, selama dua tahun terakhir dirinya di Dewan Pers tidak ada pengaduan kasus kekerasan seksual terhadap wartawan perempuan meski survei AJI Jakarta menunjukkan kasus itu ada.
Survei kekerasan seksual terhadap wartawan perempuan oleh AJI Jakarta yang dipublikasi pada Januari 2021 menunjukkan, dari 34 responden menanggapi disurvei, 25 responden pernah mengalami kekerasan seksual ketika melakukan tugas jurnalistiknya. Kasus yang terjadi kemungkinan bisa lebih banyak lagi. Pembuktian yang sulit, trauma, bahkan pengabaian oleh media yang menaunginya sering kali membuat korban diam.
Ancaman lainnya yang bisa memengaruhi profesionalitas wartawan terkait kesejahteraan atau jaminan pemenuhan hak ketenagakerjaan. Hasil survei AJI Indonesia menunjukkan, banyak wartawan yang gajinya belum layak. Bahkan dari 97 responden yang disurvei, 10 responden menyatakan gajinya di bawah Upah Minimal Provinsi DKI Jakarta yang sekitar Rp 4,4 juta. Kebutuhan upah layak bagi wartawan, kata Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Taufiqurrahman, sebesar Rp 8,3 juta.
Kita banyak melihat kasus penyelewengan jurnalistik karena basic kesejahteraannya terancam. Ketika asuransi keselamatannya tidak ada, kerja-kerja jurnalistik menjadi sarana mencari uang. (Ade Wahyudin)
Kesejahteraan dan kualitas jurnalisme memiliki hubungan erat. Masyarakat tidak bisa berharap mendapatkan informasi yang berkualitas ketika kesejahteraan wartawan terabaikan. ”Kita banyak melihat kasus penyelewengan jurnalistik karena basic kesejahteraannya terancam. Ketika asuransi keselamatannya tidak ada, kerja-kerja jurnalistik menjadi sarana mencari uang,” kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin.
Perlindungan
Karena itu, memastikan wartawan aman dan bebas dari ancaman ketika menjalankan tugas jurnalistiknya pertama-tama harus dimulai dari dalam media yang menaungi wartawan tersebut. Pemberian upah yang rendah kepada wartawan menunjukkan belum ada perlindungan dari media yang bersangkutan untuk menjamin wartawannya menjalankan tugas jurnalistik dengan baik.
Baca juga : Wartawan Minim Perlindungan
Demikian pula, belum banyak media memberikan perlidungan kepada wartawannya yang mengalami kekerasan seksual ketika melakukan tugas jurnalistik. Dalam survei AJI Jakarta, hanya satu responden yang menyatakan kantornya memproses dan mendampingi penanganan kasusnya. Bahkan kekerasan seksual juga terjadi di ruang redaksi seperti dialami delapan responden dalam survei AJI Jakarta.
Respons aparat penegak hukum atas kasus kekerasan terhadap wartawan juga rendah. Mayoritas kasus kekerasan terhadap wartawan tidak jelas penyelesaiannya, terutama yang dilakukan oheh aparat penegak hukum. Kasus kekerasan terhadap wartawan yang terus meningkat, kata Ade, juga menunjukkan semakin lemahnya kesadaran terhadap fungsi pers.
Menciptakan lingkungan yang bebas dan aman bagi wartawan harus dilakukan secara menyeluruh, dan menjadi tanggung jawab bersama termasuk wartawan dengan taat kode etik jurnalistik. Wartawan yang aman dan bebas dari rasa takut atau tekanan merupakan prasyarat utama pers yang bebas. Kebebasan pers akan meningkatkan kualitas demokrasi karena memungkinkan masyarakat mendapatkan beragam informasi yang memperkuat peran mereka dalam demokrasi.