"Dalam hal kosakata kita sebaiknya bersikap deskriptif: masyarakat pengguna bahasa adalah raja!" Saya tergoda oleh pernyataan L Wilardjo ini dalam "Berbenah Makna" (Kompas, 23/3/2010). Lalu ditambahkannya, "... dalam hal tata bahasa kita preskriptif, mengikuti \'resep\' atau preskripsi para munsyi yang memiliki otoritas di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa." Namun, kita masih ingat, pernah ada satu kurun tatkala penutur bahasa Indonesia sembrono menyamakan permukiman dan pemukiman. Penyamaan itu agak membingungkan sebenarnya--seolah-olah mendapat pembenaran dari "para munsyi yang memiliki otoritas" sebab dalam sekitar kurun itu KBBI Edisi I (1988) kita lihat menyebut pemukiman punya dua arti. Arti pertama identik dengan arti permukiman--di sinilah letak "pembenaran" tadi--sedang arti kedua dirumuskan sebagai "proses atau tindakan memukimkan". Namun, sejak edisi II (1991), tampak kekeliruan itu telah diluruskan.
Lambat laun orang pun kian mengerti perbedaan arti kedua kata itu. Ironi adalah bahwa belum lama berselang kita jumpai tajuk berita "Sejumlah Pemukiman Warga dan Ruas Jalan di Kota Semarang Masih Terendam Air" (kompas.com, Rabu, 24/2/2021). Jelas si penulis berita sebagai pengguna bahasa tak paham benar bahwa pemukiman di situ seharusnya ia tulis permukiman! Ia mengulang sikap sembrono dari masa lalu.
Jadi, bagaimana kita dapat bersetuju dengan Wilardjo bahwa "pengguna bahasa adalah raja"? Apakah fakta bahwa pengguna ternyata raja yang pantas disanggah, bukan disembah, lantas mendorong kita lebih percaya pada "para munsyi yang memiliki otoritas"--tunggu sebentar. Coba kita tengok proses pembentukan kata dengan pola serupa. Yanwardi memetakan pola morfologis ini dalam "Permakaman Jeruk Purut", Pikiran Rakyat (25/7/2010).
Melanglanglah sejenak ke dalam kitab rujukan pengguna bahasa Indonesia kita. Melanggengkan edisi-edisi sebelumnya, edisi V KBBI (aplikasi luring) masih menyamakan permakaman dan pemakaman, persis seperti kesembronoan menyamakan permukiman dan pemukiman. Padahal, di tempat lain, edisi terakhir itu sudah merevisi bentuk pedesaan menjadi perdesaan. Namun, pada saat yang sama, dan ini juga agak membingungkan sebenarnya, bukan perdalaman yang tercatat di sana, melainkan pedalaman.
Sampai di sini kita mendapati kitab yang seharusnya menjadi rujukan atau anutan para pengguna bahasa bukan memberi kepastian, melainkan malah memperlihatkan sikap tidak konsisten dengan menyuguhkan pola bebeda yang lebih mengundang tanda tanya daripada memberi perspektif baru. Atau, adakah yang baru di situ?
Demikianlah. Bersama pembahasan Yanwardi tadi, sedikit uraian ini hanya ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ada pola di dalam pembentukan kata. Sebuah pola yang dapat, katakanlah, membimbing pengguna bahasa menjumpai "aturan main" atau kaidah morfologis yang sekaligus memberi dasar pemahaman akan makna kata yang bersangkutan. Contohnya itu tadi: mukim, yang menurunkan bermukim, membentuk permukiman. Kata dasar yang sama, bisa juga menurunkan bentuk memukimkan, lalu terbentuklah pemukiman.
Maka, "masyarakat pengguna bahasa adalah raja!" Wilardjo menurut saya tidak dapat kita baca secara naif. Seandainya pun tak dapat dibuktikan ada pengaruh KBBI dengan pola pembentukan kata yang tidak konsisten, tetap menarik mengapa pengguna condong pada bentuk-bentuk bahasa yang menyimpangi kaidah--sampai-sampai kemudian ada istilah "salah kaprah". Yang sukar kita mungkiri, pengguna bahasa Indonesia umumnya tidak terlalu memahami, tapi juga punya kecenderungan abai pada, kaidah tatkala mereka berbahasa.
Eko Endarmoko
Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia