Percepatan Surveilans Genomik di Indonesia Makin Mendesak
Penambahan kapasitas dan percepatan surveilans genomik di Indonesia mendesak dilakukan. Hal itu bertujuan untuk mendeteksi dini penyebarannya di tengah lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah negara.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya sejumlah varian baru SARS-CoV-2 turut memicu penambahan kasus Covid-19 di seluruh dunia hampir dua kali lipat dalam dua bulan terakhir. Penambahan kapasitas dan percepatan surveilans genomik di Indonesia menjadi semakin penting guna mendeteksi dini penyebarannya.
”Sampai saat ini, lebih dari 1.100 WGS (whole genome sequencing atau urutan genom utuh) SARS-Cov-2 yang dilaporkan dari konsorsium di Indonesia. Dari situ kita baru mendapatkan 10 varian B.1.1.7 dan dua mutasi E484K,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Temuan ini menunjukkan varian baru SARS-CoV-2 memang sudah masuk Indonesia walaupun belum mendominasi. Namun, kewaspadaan perlu ditingkatkan karena beberapa orang yang terinfeksi varian baru ini tidak pernah bepergian di luar negeri dan mengaku tidak kontak dengan orang yang pernah dari luar negeri. Salah satunya adalah sampel orang di Kalideres (Jakarta Barat) yang membawa mutasi E484K.
Sampai saat ini, lebih dari 1.100 WGS (whole genome sequencing atau urutan genom utuh) SARS-Cov-2 yang dilaporkan dari konsorsium di Indonesia.
Amin menambahkan, upaya pelacakan kontak erat pasien yang membawa varian baru sulit dilakukan karena adanya selisih waktu yang cukup lama dari masa inkubasi dan pengambilan sampel dengan keluarnya analisis genomik.
”Kebanyakan laporan dengan varian baru data sampel Januari atau Februari dan orangnya sudah sembuh, termasuk pasien dari Kalideres yang membawa E484K. Ini sampelnya diambil awal Februari dan data WGS-nya baru didaftarkan pertengahan Maret,” katanya.
Demikian juga pasien yang membawa B.1.1.7, menurut Amin, sudah sembuh semua saat hasil analisis genomiknya keluar. ”Sudah dicoba lacak mundur, tetapi sulit ditemukan. Mungkin orang-orang yang tertular sudah sembuh,” katanya.
Sejauh ini, kekhawatiran bahwa mutasi ini dikaitkan dengan tingkat keparahan belum terbukti untuk di Indoensia. ”Kita belum lihat kaitannya, tetapi bisa juga karena jumlah pemeriksaan masih sedikit,” tuturnya.
Lamanya rentang waktu penerimaan sampel dengan laporan WGS karena prosesnya baru bisa dilakukan terhadap sampel positif yang mencurigakan. Misalnya, sampel positif dari orang yang pernah bepergian dari luar negeri, dari orang yang pernah positif, atau dari orang yang sudah mendapatkan vaksin.
”Untuk proses analisis PCR (reaksi rantai polimerase) saja, butuh waktu sekitar tiga hari, kalau di daerah bisa seminggu. Lalu, sampel yang dicurigai ini akan diurutkan genomnya. Paling cepat butuh waktu seminggu dan rata-rata dua minggu. Jadi, pasien yang membawa mutasi baru paling cepat diketahui tiga minggu hingga sebulan sejak sampelnya diambil,” kata Amin.
Jika seluruh sampel yang masuk tiap hari diperiksa genomiknya, prosesnya bisa lebih cepat. Namun, biayanya akan sangat mahal. Biaya pemeriksaan genomik berkisar Rp 4 juta-5 juta per sekuen.
Mutasi ganda
Selain tiga varian baru yang menyebar luas, yaitu B.1.1.7 dari Inggris, P.1 dari Brasil, dan B.1.351 dari Afrika Selatan, saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah memantau varian B.1.617 yang memicu ledakan wabah di India.
Varian baru India yang membawa mutasi ganda ini dinilai turut memicu gelombang baru Covid-19 dengan tingkat kematian melebihi saat puncak gelombang pertama pada September 2020. India hingga Senin ini telah melaporkan lebih dari 15 juta kasus Covid-19 dan lebih dari 178.700 kematian.
Varian ini juga dilaporkan BBC telah berada di Inggris. Hingga 14 April 2021, sebanyak 77 kasus di Inggris telah dideteksi membawa varian India ini. Saat ini, Public Health England (PHE) tengah melakukan penyelidikan mengenai implikasi varian India yang membawa mutasi ganda E484Q dan L452R.
Selain di India dan Inggris, mutasi ganda telah ditemukan di beberapa negara, seperti Australia, Belgia, Jerman, Irlandia, Namibia, Selandia Baru, Singapura, Inggris, dan AS. Namun, tingkat penularan dan dampak keparahan dari varian dengan mutasi ganda ini belum ditetapkan.
Kepala Teknis tentang Covid-19 WHO Maria van Kerkhove dalam keterangan pers pekan lalu mengatakan, ”Ini (B.1.351) adalah varian yang tengah kami pantau,” kata Maria van Kerkhove.
Kecenderungan varian yang memiliki dua mutasi ini terlihat pada varian lain di seluruh dunia sehingga amat mengkhawatirkan. Mutasi-mutasi ini diduga meningkatkan penularan serta mengurangi netralisasi antibodi dan dikhawatirkan menghambat kemampuan vaksin untuk mengekang mereka.