Pastikan Tata Kelola Pendidikan dan Riset Tetap Berjalan Optimal
Penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu dikawal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi membawa banyak implikasi. Kebijakan ini diharapkan tetap memastikan tata kelola kebijakan pendidikan dan riset berjalan optimal dalam format kementerian baru nanti.
Penasihat di Centre for Innovation Policy and Governance dan Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Yanuar Nugroho, Sabtu (10/4/2021), di Jakarta, berpendapat, dari aspek tata kelola kebijakan publik, struktur organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mempunyai direktorat jenderal sebagai pelaksana kebijakan. Apabila mau dibentuk direktorat jenderal untuk implementasi kebijakan di fungsi riset dan teknologi (ristek) dalam kementerian baru, hal itu bertabrakan dengan fungsi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan.
”Idealnya, Kemendikbud Ristek (kementerian penggabungan) hanya berperan sebagai perumus kebijakan, sementara pelaksana kebijakan ada di BRIN,” ujar dia.
Yanuar memandang, sebelum ada penggabungan menjadi Kemendikbud Ristek, Kemendikbud mempunyai beban tugas yang berat. Hal itu mulai dari distribusi guru, kurikulum, deradikalisasi, memastikan karakter menghadapi keberagaman tercipta mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini, sampai menangani pendidikan formal, informal, dan nonformal.
Indonesia harus mampu membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
Di jenjang pendidikan tinggi, Kemendikbud juga memiliki beban tugas mencakup kelancaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, pengelolaan perguruan tinggi, serta memastikan relevansi lulusan dengan dunia usaha/dunia industri (link and match). Beban tugas sebanyak itu membuat Kemendikbud tampak kewalahan.
Ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, beban tugas menangani pendidikan tinggi dipisahkan menjadi di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Menurut dia, kebijakan seperti itu sudah tepat. Sebab, pendidikan tinggi mulai dari jenjang sarjana sampai doktoral ataupun diploma satu hingga diploma empat selalu bersinggungan dengan aktivitas riset dan inovasi.
”Karena penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kemritek ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah diketuk di rapat paripurna DPR, pastikan saja tata kelola berjalan benar,” ujarnya.
Secara teknis, tantangan teknis pascapenggabungan tidak mudah. Dia berkaca pada pengalaman Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang digabungkan kembali ke Kemendikbud dan butuh adaptasi teknis kerja 6 bulan lebih. Ada pula penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus menyelesaikan aturan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kemudian, BRIN mesti memastikan integrasi lembaga-lembaga penelitian dan struktur cara bekerja berjalan dengan target tenggat waktu tertentu.
Lebih jauh, hal terpenting dari penggabungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak mengganggu visi Indonesia menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada 2045. Untuk mencapai cita-cita itu, Indonesia tidak bisa bisa sebatas mengandalkan komoditas. Indonesia harus mampu membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.
”Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi tetap harus dijalankan,” ucap Yanuar.
Sinergi
Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) Iwan Pranoto memandang, tantangan penggabungan, adalah menerjemahkan kebijakan pendidikan, riset, dan teknologi sampai terealisasi. Strategi masing-masing sektor dan tataran dalam kementerian itu harus menunjang gagasan besar yang sama.
”Misalnya, kurikulum sekolah dasar sampai sekolah menengah atas seperti apa yang mendukung strategi pendidikan tinggi serta riset dan teknologi,” ujar Iwan.
Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi harus disinergikan dengan fungsi Kemendikbud. Menurut dia, fungsi Ristek dari Kemristek tidak boleh ngotot dengan tidak mau melihat cakrawala yang lebih luas. ”Resources Indonesia terbatas sehingga perlu terpadu dan bersinergi. Tidak lari sendiri-sendiri,” katanya.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brojonegoro memandang, secara substansi, penggabungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak bermasalah. Selama ini, perguruan tinggi memperoleh dana penelitian dari Kemristek. Dengan penggabungan, urusan itu menjadi dimudahkan.
”Penggabungan ini (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) merupakan masalah biasa di pemerintahan. Tidak ada isu besar dan hal seperti ini merupakan sesuatu yang pernah bangsa Indonesia tempuh,” ujarnya.
Satryo menyampaikan, hal terpenting sekarang adalah mengawal proses administratif pascapenggabungan. Selain itu, masyarakat perlu mengawal proses tata kelola dan penganggaran.