Anak Muda, Sumber Regenerasi Teroris
Internet membuat radikalisme mudah menyebar luas dan persemaian benih-benih terorisme kian besar. Setiap pihak bisa berperan menjaga anak muda dari pengaruh itu.
Di tengah usaha Indonesia agar bisa memetik bonus demografi, sejumlah pemuda yang jadi tumpuan justru memilih menjadi pelaku teror. Meski jumlah mereka sedikit, meluasnya radikalisme melalui internet membuat mereka yang rentan terpapar ideologi ekstrem hingga berpeluang menjadi pelaku teror semakin besar.
Sepasang suami-istri muda, L dan YSF, pelaku bom bunuh diri di Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3/2021) maupun penyerang Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta, ZA pada Rabu (31/3/2021) sama-sama lahir pada 1995.
Itu berarti, umur mereka saat ini antara 25-26 tahun, kelompok penduduk usia dewasa muda yang masih getol mencari eksistensi diri. Saat rangkaian peristiwa bom bunuh diri melanda Indonesia pada awal dekade 2000-an, mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
Peneliti terorisme dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mirra Noor Milla di Jakarta mencermati usia pelaku teror selama 10 tahun terakhir makin muda. "Akselerasi radikalisme melalui internet menjadi salah satu pemicunya," katanya.
Generasi pelaku teror di Indonesia awal tahun 2000-an, seperti Bom Bali I tahun 2002, Bom Hotel JW Marriott, Jakarta pada 2003, Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 sebenarnya juga sudah menggunakan internet. Namun, proses radikalisasi masih banyak dilakukan lewat tatap muka.
Baca juga Jaringan Teroris Sasar Keluarga Muda
Proses tatap muka itu membuat seleksi calon teroris jadi lebih ketat. Mereka harus menjalani serangkaian pendidikan (tarbiyah) dan pelatihan di kamp, hingga mereka siap diberangkatkan sebagai pelaku teror.
Dalam radikalisme melalui internet, perekrutan pelaku teror yang dilakukan secara daring membuat proses seleksinya menjadi lebih mudah dan terbuka. Proses pembentukan pelaku teror juga lebih cepat dan sederhana karena sejumlah tahapan dipotong, khususnya pelatihan dan indoktrinasi. Konsekuensinya, kemampuan mereka merancang dan membuat serangan lebih lemah.
Paparan radikalisme yang masif via internet itu, lanjut Mirra, juga ditopang algoritma mesin pencari yang membuat seseorang terpapar informasi bertema sama secara berulang. Sekali seseorang mengetikkan kata ketidakadilan, keterancaman, penindasan, atau kekerasan tanpa terkait ideologi tertentu, mesin itu akan selalu memaparkan isu-isu terkait hal tersebut terus menerus.
Peneliti terorisme dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gazi Saloom mengatakan intensitas anak muda yang tinggi di internet membuat mereka bisa mengakses sumber-sumber keagamaan yang kurang bisa dipercaya.
"Aparat keamanan sudah berusaha mencegah penyebaran sumber-sumber radikalisme di internet, tetapi sumber yang bebas di akses tetap banyak", katanya.
Kebermaknaan diri
Dari kesamaan paparan informasi itu, anak muda yang masih dalam fase pencarian identitas diri akan bertemu teman diskusi yang cocok dengan pemikiran mereka hingga terlibat aktif di dalamnya. Dalam diskusi itu, mereka juga akan menangkap realitas semu yang bersumber dari persepsi sebagai kebenaran. Apalagi, jika realitas itu terkonfirmasi dari teman diskusi mereka.
"Situasi ini membuat sikap anak muda semakin terpolar," tambah Mirra yang juga Ketua Ikatan Psikologi Sosial-Himpunan Psikologi Indonesia. Akibatnya, anak muda akan semakin terpisah, kanan vs kiri atau hitam vs putih. Pada kondisi ini, mereka akan semakin sulit menemukan kesamaan dengan kelompok lain hingga akhirnya memperkuat sikap intoleransi.
Dengan moderasi, maka segala sesuatu tidak dipandang dalam posisi serba ekstrem, namun yang sedang-sedang saja.
Dalam diskusi itu, mereka juga bisa terpapar ideologi tertentu yang dikenalkan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang ingin menjajakan ideologinya. Orang-orang ini mampu membangkitan identitas bermakna anak muda.
Dalam budaya Indonesia, anak muda umumnya tidak diberi kepercayaan untuk memiliki peran tertentu dalam masyarakat. Padahal, mereka merasa punya potensi, bakat, dan yakin mampu berbuat sesuatu demi kebaikan bersama.
Semangat itulah yang mudah ditangkap pelaku teror hingga bisa mengarahkan mereka agar mau melakukan hal-hal yang diinginkan kelompok teror. "Kelompok perekrut ini sangat paham kondisi psikologi anak muda," katanya.
Namun studi Mirra dan rekan di tahun 2020 menunjukkan perkembangan ekstremisme di kalangan anak muda masih sebatas dalam ekstremisme sikap, belum terkait ideologi tertentu. Walau demikian, kondisi ini tetap perlu diwaspadai karena membuat mereka yang berpeluang menjadi pelaku teror makin besar.
Gazi menambahkan, siapapun, dari kelompok ekonomi dan pendidikan apapun berpeluang jadi pelaku teror. Bahkan, pekerja kantoran menengah atas, apartur sipil negara, hingga anggota kepolisian dan militer juga berpotensi terjebak dalam sikap radikal dan ekstrem.
Semakin anak muda merasa mampu dan membutuhkan peran lebih jelas dan bermakna dalam hidup mereka namun tidak bisa mendapatkannya, mereka berpotensi lebih besar terjebak dalam terorisme. Kondisi psikologi anak muda itu sangat dipahami pelaku teror hingga mereka memberi kesempatan lebih besar pada anak muda untuk memaknai hidupnya dengan berjuang di jalan yang dipilih oleh kelompok teror.
Baca juga Lemahnya Ketahanan Ideologi Jadi Pemicu Terorisme
Namun sejak deklarasi Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) pada 2014, aksi teror tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga oleh individu atau disebut lone wolf, seperti dalam penyerangan Mabes Polri, Rabu lalu.
Meski dalam teori terorisme lone wolf tidak disebut sebagai aksi teror karena aksi teror umumnya dilakukan secara berkelompok dan memiliki motivasi politik, namun makin banyaknya pelaku teror tunggal juga perlu diwaspadai. "Pelaku teror tunggal umumnya didorong oleh persoalan psikologis yang sangat individual," kata Gazi.
Bukan masalah agama
Walau merebaknya radikalisme lewat internet dan kemunculan pelaku teror yang makin muda atau pelaku teror tunggal sudah diidentifikasi, tetapi upaya menjaga anak muda agar terhindari dari sikap ekstrem belum dilakukan maksimal. Keluarga, masyarakat, dan negara punya andil yang sama besar.
Secara psikologis, lanjut Mirra, anak muda butuh otonomi lebih besar dalam mengelola hidup mereka. Namun, pengalaman kemandirian itu sulit didapat karena terlalu besarnya campur tangan orangtua dalam urusan anaknya meski mereka sudah masuk usia dewasa. Repotnya, penihilan peran anak muda itu terjadi secara luas di masyarakat, bukan persoalan individu saja.
"Anak muda sekarang memiliki pengetahuan makin banyak, namun pengalaman mereka sangat sedikit," katanya. Padahal pengetahuan dan pengalaman adalah dua hal berbeda.
Selain itu, anak yang sulit memperoleh dan mengembangkan identitas alternatif juga berpotensi lebih besar terjebak dalam radikalisme. Anak yang dituntut berprestasi dalam bidang akademik semata, hingga abai dengan potensi bidang seni atau olahraga, akan lebih sulit mengembangkan identitas alternatif tersebut. Karena itu, orangtua perlu melihat potensi anak secara berimbang, tanpa memaksakan keinginan mereka semata.
Gazi menambahkan selama akar masalah terorisme tidak pernah selesai, yaitu ketidakadilan, kemiskinan, dan ketidakpastian termasuk dalam situasi bencana seperti pandemi Covid-19 ini, maka terorisme akan selalu ada. Berbagai narasi negatif yang berkembang akan membuat orang merasa tidak berdaya hingga mudah dimanfaatkan oleh para penjaja ideologi.
"Agama bukan penyebab utama radikalisme dan terosime karena agama hanya dijadikan bahan bakar untuk melegitimasi tindakan mereka," tambahnya. Mereka yang memiliki pemahaman agama secara sempit, tekstual dan harfiah semata juga lebih rentan terpapar radikalisme.
Karena itu, penting mengembangkan moderasi dalam berbagai hal, baik dalam cara berpikir, mengelola emosi, pendidikan, hingga politik. Dengan moderasi, maka segala sesuatu tidak dipandang dalam posisi serba ekstrem, namun yang sedang-sedang saja.
Baca juga Presiden Jokowi Minta Pemuda Muhammadiyah Jadi yang Terdepan Menjaga Nilai Keindonesiaan
Elit politik juga memiliki peran besar dalam menjaga anak muda agar terhindar dari radikalisme dan terorisme. Sikap sebagian politisi yang memainkan isu identitas tanpa mereka sadari telah membagi masyarakat dalam dua kutub yang saling bertentangan hingga sulit untuk saling memahami. Cara berpolitik itu justru makin menguatkan fanatisme dan memainkan emosi semata, bukan politik yang mengedepankan logika dan nurani.