Dari ”Clubhouse” hingga ke Surat Terbuka untuk Presiden
Obrolan santai di Clubhouse bulan lalu berubah serius. Segenap pelaku industri film berkumpul di platform digital berbasis audio. Mereka curhat tentang masalah industri film saat pandemi Covid-19. Solusi pun dirumuskan.
Oleh
Sekar Gandhawangi/Mediana
·6 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Wisatawan mengunjungi Studio Alam Gamplong di Desa Sumberrahayu, Moyudan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/3/2021). Lokasi pengambilan gambar sejumlah film karya sutradara Hanung Bramantyo tersebut dikembangkan menjadi obyek wisata yang menghadirkan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. Saat akhir pekan, obyek wisata itu didatangi sekitar 1.500 pengunjung.
Obrolan santai di Clubhouse bulan lalu berubah jadi serius. Segenap pelaku industri film berkumpul di platform digital berbasis audio itu, curhat tentang masalah industri film saat pandemi, kemudian merumuskan solusi. Obrolan itu disarikan menjadi surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo pada 5 Maret 2021.
Diskusi berlangsung pada Sabtu (20/2/2021) pukul 16.00. Yang menjadi moderator saat itu adalah sutradara Joko Anwar. Pembicaranya ada banyak, antara lain produser Mira Lesmana, sutradara Angga Dwimas Sasongko, Ketua Badan Perfilman Indonesia Chand Parwez Servia, hingga mantan Ketua Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf.
Pembicaraan berjalan sekitar dua jam. Sedikitnya ada 900 audiens yang menyimak obrolan itu, mulai dari anggota asosiasi profesi perfilman hingga orang awam.
Obrolan tersebut berangkat dari keresahan para insan film soal masa depan mereka. Masalah mereka tidak hanya produksi film yang mandek karena pandemi Covid-19. Distribusi film juga terganggu.
Bioskop-bioskop ditutup sementara sesuai dengan arahan pemerintah. Film-film yang sudah dijadwalkan tayang terpaksa ditahan. Padahal, sebagian besar pendapatan industri film berasal dari penjualan tiket di bioskop.
Pengusaha bioskop juga berdarah-darah. Mereka nyaris kehabisan napas mempertahankan usahanya. Mereka berharap bisa bertahan, setidaknya hingga akhir tahun ini.
Obrolan di Clubhouse jadi semakin intens. Setiap orang memaparkan masalah, kemudian menawarkan solusi. ”Ini perlu kita sampaikan kepada pemerintah,” kata mereka. Moderator mencatat poin-poin penting, kemudian berjanji membuat grup percakapan Whatsapp untuk membahas ide ini lebih lanjut.
Dua minggu kemudian, insan film mengunggah surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo di media sosial. Mereka mengajukan lima permintaan. Pertama, stimulus distribusi film dengan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Kedua, kampanye ”Kembali Menonton di Bioskop” yang berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan. Ketiga, keringanan pajak. Keempat, upaya memberantas pembajakan film. Kelima, percepatan vaksinasi bagi pekerja industri film.
Mulanya ini diskusi biasa soal film, kemudian mengerucut jadi problem film nasional. Pemerintah perlu mulai melihat industri ini sebagai cagar budaya dan jendela Indonesia di luar negeri. Kami harap ada dukungan pemerintah dengan surat ini.
”Mulanya ini diskusi biasa soal film, kemudian mengerucut jadi problem film nasional. Pemerintah perlu mulai melihat industri ini sebagai cagar budaya dan jendela Indonesia di luar negeri. Kami harap ada dukungan pemerintah dengan surat ini,” kata Ketua Asosiasi Editor Film Indonesia (Inafed) Cesa David Luckmansyah, Jumat (26/3/2021), yang turut menyimak percakapan di Clubhouse.
Clubhouse populer di Indonesia sekitar Februari 2021. Media sosial berbasis audio itu tersedia secara terbatas bagi pengguna iOS. Siapa pun bisa membuka ruang percakapan dan ikut mendengar diskusi.
Kongko virtual di Clubhouse rupanya menyatukan insan film. Pintu baru untuk menyelamatkan perfilman Indonesia pun terbuka.
Belajar daring
Selain Clubhouse, platform daring lain dimanfaatkan insan film untuk belajar. Inafed, misalnya, beberapa kali mengadakan diskusi daring tentang penyuntingan film. Mereka menggunakan Zoom, Youtube, dan Instagram.
”Pandemi membuat deadline (penyuntingan film) kami mundur. Kerjaan jadi longgar. Kami jadi punya waktu untuk meeting daring. Momen ini digunakan buat diskusi dan sharing,” kata Cesa.
Menurut dia, anggota Inafed yang berjumlah 21 orang selalu sibuk sebelum pandemi. Waktu untuk berkumpul dan menjalankan program bersama mandek. Pandemi memaksa mereka melambatkan diri. Mereka sepakat memperkaya dan memperdalam pengetahuan pada masa ini.
”Saya yakin bahwa buat seniman, kesulitan bukan sekadar kesulitan. Itu adalah bensin buat berkarya. Seniman umumnya harus punya kegelisahan dan masalah agar gagasan kreatifnya keluar. Pandemi menempatkan kita di situasi itu,” ujarnya.
Diskusi daring itu juga dimanfaatkan untuk mencari bibit baru penyunting film. Sebab, menurut Cesa, regenerasi editor di Indonesia lambat. SDM editor ada banyak, tetapi yang konsisten sedikit.
Pandemi juga jadi momen untuk lebih mematangkan fase pra-produksi film, salah satunya penulisan skenario. Waktu untuk mengembangkan naskah tersedia karena beberapa faktor, antara lain fase produksi film macet saat pandemi dan distribusi film di bioskop terhambat.
”Produser melihat ini sebagai kesempatan memperdalam cerita. Setidaknya kami tetap bergerak maju lewat skenario,” kata Ketua Asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (Pilar) Salman Aristo.
Salman mengatakan, permintaan skenario untuk serial sedang marak. Serial itu umumnya akan ditayangkan di platform streaming.
Salah satu serial yang tayang adalah Work From Home. Serial komedi itu rilis di GoPlay pada November 2020. Work From Home terinspirasi dari pengalaman kolektif publik pada masa awal pandemi, seperti bekerja dan rapat daring. Pandemi dinilai punya sisi yang menarik, relevan, dan menghibur.
”Kami berpikir, mengapa tidak bikin sesuatu yang sesuai dengan kondisi nyata saat ini? Namun, produksinya tetap mematuhi protokol kesehatan,” kata Head of Creative Development GoPlay Chicha Dipsy (Kompas.id, 11/11/2020).
Pandemi juga dijadikan dasar cerita film Quarantine Tales. Karya omnibus ini terdiri dari lima film pendek yang digarap lima sutradara berbeda, yaitu Ifa Isfansyah, Aco Tenri, Jason Iskandar, Dian Sastrowardoyo, dan Sidharta Tata.
Suasana studio bioskop yang kosong di Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kendati bioskop sudah mulai beroperasi, sebagian masyarakat masih ragu datang karena khawatir dengan Covid-19.
Belum tergantikan
Ketua BPI sekaligus Produser Starvision Chand Parwez Servia, Kamis (25/3/2021), mengatakan, produksi film mulai berjalan lagi dan rumah produksi harus meningkatkan biaya produksi sekitar 30 persen untuk memenuhi infrastruktur dan fasilitas protokol kesehatan. Di sisi lain, mendistribusikan film ke aplikasi Video-on-Demand juga bukan jalan keluar yang mulus.
Selama pandemi, Star Vision tidak mengedarkan film ke bioskop. ”Hanya dua judul film yang sudah produksi, lalu diedarkan ke aplikasi (over the top atau OTT) demi menutup cashflow perusahaan,” tuturnya.
Ketua Umum Asoasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir menambahkan, kehadiran OTT selama ini menjadi pelengkap peredaran film nasional. Selain itu, model bisnis distribusi film melalui OTT berbeda dan tidak bisa disamakan dengan bioskop.
OTT biasanya membeli, mengakuisisi atau memproduksi konten film original. Apabila setahun rata-rata industri film Indonesia memproduksi sekitar 120 judul, OTT belum tentu bisa menampung dan mengedarkan semuanya di platform. Di sisi lain, pengalaman menonton film di bioskop juga tidak bisa tergantikan.
Meski demikian, selama pandemi Covid-19 muncul produksi konten serial dan film panjang untuk diedarkan ke OTT. Ini membantu pekerja film bisa dapat bekerja lagi walaupun tidak semuanya.
Edwin mengakui, selama pandemi, aktivitas warga yang dominan dilakukan di rumah mendorong konsumsi konten film di OTT. Namun, kondisi itu belum mampu menutup kerugian yang dialami pelaku industri perfilman. Pasalnya, saat bersamaan, pelaku berhadapan dengan masalah pembajakan.
Mengutip laporan ”Pemandangan Umum Industri Film Indonesia (2020)”, hasil studi Media Partners Asia menemukan konsumsi mingguan video daring telah meningkat lebih dari 60 persen di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina selama pandemi Covid-19. Tren ini juga tecermin dari peningkatan jumlah pengguna Netflix secara khusus di Indonesia yang meningkat secara signifikan pada 2020, dengan estimasi total lebih dari 906.000 pelanggan di Indonesia.
Edwin menyebutkan, di Google Play Store telah ditemukan sekitar 22 aplikasi untuk mendistribusikan film bajakan. Situasi itu memperkeruh persoalan yang dihadapi pelaku industri film nasional.
Chand menambahkan, pemerintah mesti membantu para pelaku industri film nasional. Selain insentif stimulus untuk membantu produksi, pemerintah perlu mendukung kampanye kembali menonton film di bioskop.