Pekerja film menjadi salah satu kelompok yang terdampak parah oleh pandemi Covid-19. Meski demikian, tetap ada harapan bagi mereka di tengah pandemi.
Oleh
Dedy Afrianto
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Rahmadia berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Rahmadia merupakan pemeran pengganti aksi laga dan berbahaya dalam film.
Berdasarkan catatan dari film Indonesia dalam publikasi ”Pemandangan Umum Industri Film Indonesia 2020”, jumlah kru kreatif yang terdaftar pada 1998-2017 mencapai 23.000 orang. Adapun jumlah pekerja film, baik pemain, kru kreatif, maupun pembantu lainnya, di Indonesia pada 2020 ditaksir lebih dari 30.000 orang.
Sayangnya, tak ada angka pasti jumlah pekerja yang hidup dari industri perfilman saat ini. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuh posisi pekerja film, terutama saat dihadang pandemi Covid-19. Padahal, sektor ini cukup penting untuk mendapatkan perhatian mengingat film dapat menjadi identitas bangsa.
Selain membagikan 2.576 paket bantuan sosial kepada pekerja film dan seni, pemerintah juga memberikan keringanan pajak bagi mereka. Program ini dapat dinikmati pekerja bidang produksi, pascaproduksi, dan distribusi film.
Pada 2021, keluhan disampaikan oleh pelaku industri perfilman secara langsung kepada Presiden Joko Widodo. Diskusi mereka berujung pada rencana pemberian paket stimulus bagi industri film.
Di tengah segala kesulitan yang dihadapi oleh pekerja film di berbagai struktur dan strata, harapan untuk bangkit terbuka di depan mata. Hal ini tergambar dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 16-18 Maret. Film Indonesia masih begitu digemari dibandingkan dengan film asing.
Kompas/Priyombodo
Muhammad Yazid (kanan) berlatih gerak bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021).
Dari responden di 34 provinsi di Indonesia, 60,5 persen menyatakan lebih menyukai film produksi Indonesia. Hal ini diungkapkan responden di sejumlah daerah, di antaranya Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua.
Kondisi itu menjadi modal sosial bagi pelaku industri film Indonesia. Namun, ada tiga persyaratan yang diajukan oleh responden agar ekosistem film di Indonesia dapat bangkit di tengah keterpurukan sekarang.
Pertama, dari sisi produksi, pelaku industri film dituntut untuk memperbaiki kualitas film. Artinya, film tidak hanya terpaku pada kuantitas, tetapi juga kualitas, seperti alur cerita, audio, visual, dan genre yang ditawarkan.
Alur cerita merupakan hal utama yang paling disoroti. Sebanyak 49,2 persen responden menilai, alur cerita film yang mudah ditebak menjadi kekurangan utama film produksi dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa
Indonesia masih membutuhkan penulis naskah film berkualitas.
Sisi lain yang disorot ialah minimnya pilihan genre film yang dapat dinikmati. Berdasarkan catatan Litbang Kompas tentang sejarah film Indonesia sejak 1998 hingga awal 2018, sebanyak 70 persen film yang tayang di layar lebar bergenre drama dan horor. Hanya 30 persen film yang menawarkan genre lain, seperti komedi dan laga. Maka, wajar jika publik berharap produksi film di Indonesia menawarkan genre yang beragam.
Distribusi dan ekshibisi
Syarat kedua yang harus dipenuhi ialah perbaikan sektor distribusi dan ekshibisi. Publik menilai, film Indonesia dapat bangkit jika melakukan variasi distribusi. Sebanyak dua pertiga responden menyarankan agar film Indonesia juga ditayangkan dalam berbagai pelantar digital atau layanan streaming secara gratis ataupun berbayar.
Distribusi film melalui pelantar digital dapat dilakukan sebagai siasat di tengah kekhawatiran masyarakat untuk datang ke bioskop. Namun, cara ini belum memberikan keuntungan besar bagi industri film dibandingkan dengan penayangan di bioskop.
Syarat berikutnya ialah kehadiran pemerintah, terutama dalam promosi film. Sebanyak 41,8 persen responden menilai, pemerintah perlu membantu promosi film hingga ke daerah guna membangkitkan ekosistem perfilman.
Promosi dinilai berperan sangat vital bagi kesuksesan film. Promosi yang diperlukan tidak sebatas pada film yang akan ditayangkan, tetapi juga promosi agar masyarakat mau pergi ke bioskop.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengerjaan sunting sebuah film di Belantara Films, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, 2 Maret 2021.
Persoalan ini telah disuarakan oleh pelaku industri perfilman kepada pemerintah. Mereka meminta pemerintah menggelar kampanye agar masyarakat bersedia kembali menonton di bioskop. Namun, dibutuhkan waktu guna meyakinkan publik agar mau mengunjungi bioskop dengan menerapkan protokol kesehatan.
Besarnya minat masyarakat pada film Indonesia menunjukkan bahwa industri perfilman nasional memiliki modal sosial cukup besar untuk bangkit. Hal ini menjadi harapan bagi ekosistem film, khususnya pekerja di sektor produksi, untuk keluar dari lingkaran keterpurukan. (LITBANG KOMPAS)