Sambil menanti industri film benar-benar siuman dari tidur panjang akibat Covid-19, komunitas ”stuntman” Piranha Stunt Indonesia tetap giat latihan. Harapannya, begitu ada tawaran ”shooting” mereka sudah siap beraksi.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Muhammad Yazid (atas) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Muhammad Yazid adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Pandemi Covid-19 yang memukul industri film di Tanah Air berdampak pada para pemeran pengganti (stuntman) yang biasa terlibat dalam aksi-aksi laga.
Jumat (26/3/2020) siang, belasan pemuda anggota Piranha Stunt Indonesia menggelar latihan di studio mereka di Depok, Jawa Barat. Di ruangan yang berisi banyak peralatan itu, mereka memantapkan gerakan-gerakan untuk adegan laga seperti memukul, menendang, dan bertarung. Latihan dilakukan dengan protokol kesehatan. Komunitas ini, misalnya, membatasi benar kunjungan dari pihak luar. Hanya anggota yang boleh berlatih. Setelah berlatih, para pemeran pengganti atau stuntman ini mengisolasi diri.
Komunitas juga memanfaatkan kosongnya jadwal shooting selama pandemi untuk renovasi tempat latihan dan menyiapkan sejumlah peralatan untuk berbagai adegan laga. Selain itu, mereka berencana merekrut anggota baru. Kehadiran anggota baru sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pemeran pengganti dalam produksi film yang digelar sineas asal Indonesia dan dari luar negeri.
Mereka melakukan itu semua karena percaya industri film Indonesia akan segera bangkit. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai kelihatan beberapa bulan terakhir. Sejumlah rumah produksi, misalnya, telah menggelar shooting dengan protokol kesehatan yang ketat.
Muhamad Yazid, anggota komunitas Piranha Stunt Indonesia, mengatakan, komunitasnya telah mendapat panggilan untuk terlibat dalam produksi-produksi film bioskop dan webseries. ”Mengingat bioskop masih banyak yang tutup, sekarang trennya memproduksi tayangan webseries. Apa pun itu, kami senang karena sekarang mulai ada panggilan lagi,” ujarnya.
Panggilan shooting menjadi hal yang amat dirindukan para pekerja film. Betapa tidak, gara-gara pandemi, mereka jadi pengangguran selama berbulan-bulan. Kondisi paling berat dirasakan pada empat bulan pertama setelah pandemi dinyatakan melanda Indonesia. Tawaran shooting benar-benar menghilang.
”Itulah susahnya hidup di film. Kalau (shooting) berhenti, tidak ada pemasukan apa-apa. Sebisa mungkin saya macul, nukang, ngelas, semua saya kerjain. Kalau tidak gitu, kayak orang bodoh, tidak kerja, tidak ada pendapatan,” ujar Rahmadia, anggota Piranha Stunt Indonesia, yang terlibat sebagai pemeran pengganti dalam film The Raid.
Agar bisa mendapat penghasilan, Rahmadia dan kawan-kawan komunitas lainnya beralih profesi. Bekerja serabutan apa saja asalkan menghasilkan uang. Rahmadia bersyukur terbiasa hidup susah sehingga terlatih bersikap kreatif untuk bertahan hidup.
Yazid juga kelimpungan dihajar pandemi. Pendapatannya sebagai stuntman dan pemeran pendukung berkurang 75 persen. Ia terpaksa hidup dari tabungan yang ia kumpulkan susah payah. ”Kami tertolong karena ada produksi film Gatotkaca. Jadi, orang-orang berhenti, kami tetap bekerja dengan mempersiapkan gerakan-gerakan laga,” kata Yazid.
Kisah Rahmadia dan Yazid terasa ironis di tengah peringatan Hari Film Nasional, Selasa (30/3/2021). Pukulan pandemi terasa menyesakkan karena terjadi dan berkepanjangan saat industri film Indonesia sedang bersinar terang.
Film bioskop buatan sineas Indonesia pada 2018 untuk pertama kalinya dalam sejarah bisa menembus 50 juta penonton. Angka itu naik lagi menjadi sekitar 52 juta penonton pada 2019. Jumlah film yang tayang di bioskop tahun 2018 dan 2019 masing-masing 128 film dan 129 film. Denyut perfilman sebelum pandemi juga terasa kencang di sejumlah daerah, seperti Yogyakarta, Makassar, Nias, dan daerah lainnya.
Kondisi seperti ini tentu saja menguntungkan pekerja film, termasuk para stuntman. Rahmadia mengatakan, sebelum pandemi, ia terbiasa terlibat dalam 5-6 proyek film bioskop, webseries, iklan, atau video televisi. ”Kalau produksi film layar lebar, kami bisa terlibat selama enam bulan yang terdiri dari berlatih selama tiga bulan dan shooting selama tiga bulan. Untuk tayangan webseries biasanya berlatih seminggu atau dua minggu, sementara shooting hanya tiga hari,” katanya.
Semua catatan mentereng itu terjun bebas saat pandemi terjadi. Menurut Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia Chand Parwez, hanya ada tujuh film Indonesia yang tayang di bioskop dengan jumlah penonton hanya 390.000 orang. Industri film goyah. Pekerjanya resah lantaran mereka mengandalkan pendapatan harian atau per proyek dari industri film.
Pengalaman buruk berhadapan dengan pandemi membuat pekerja film memetik banyak pelajaran. Mereka dipaksa beradaptasi dengan kebiasaan baru. Yazid menceritakan, pekerja film sekarang mesti menjalani tes Covid-19 sebelum memasuki area shooting. Interaksi antara pemeran dan kru film dibatasi. ”Ada aturan ring 1 dan ring 2. Kalau Ring 1 berarti hanya orang-orang tertentu yang boleh bersinggungan dengan talent. Akses kami juga dibatasi hanya pada tempat-tempat tertentu. Kalau sebelumnya interaksi dan akses sangat bebas,” katanya.
Perubahan ini, menurut Yazid, sangat menyulitkan dan merepotkan. Namun, hal itu tetap dilakukan karena ia percaya semua protokol itu dirancang untuk menjaga kesehatan dan keselamatan semua orang yang terlibat dalam produksi film.
Komunitas Pinraha Stunt Indonesia sendiri membuat beberapa strategi agar bertahan di tahun pandemi yang serba tak pasti ini. Mereka mulai memikirkan terobosan baru yang menguntungkan komunitas. Mereka, misalnya, tidak hanya fokus menyediakan pemeran pengganti, tetapi juga mulai masuk ke layanan persewaan alat shooting film laga.
Selain itu, mereka terus berupaya mencetak pemeran-pemeran pengganti baru lewat jalan yang tidak instan. Dibutuhkan waktu 3-12 bulan agar seorang pemeran pengganti film laga bisa beraksi di depan kamera. Begitu industri film siuman, mereka sudah siap ciaatt ciaaat di depan kamera.