Ruang ekspresi yang terbatas karena pandemi mendorong anak-anak, terutama remaja, mencari rekreasi melalui internet dengan menggunakan gawai. Penggunaan gawai yang berlebihan menimbulkan ketergantungan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Selama pandemi, ketika sekolah ditutup dan sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh, gawai menjadi kebutuhan utama bagi anak-anak. Gawai menjadi sarana untuk belajar, dan juga berinteraksi dengan teman-teman mereka.
Ruang ekspresi yang terbatas karena pembatasan sosial selama pandemi mendorong anak-anak, terutama remaja, mencari rekreasi melalui internet dengan menggunakan gawai mereka untuk mengakses gim ataupun fitur-fitur lainnya, termasuk media sosial. Namun, penggunaan gawai secara berlebihan bisa berdampak menimbulkan gangguan, bahkan ketergantungan.
Survei yang dilakukan Susy Katikana Sebayang dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Uiversitas Airlangga Surabaya terhadap siswa SMP dan SMA di Banyuwangi pada 2020 menunjukkan, 61 persen siswa mengalami gangguan atau gejala kecanduan gawai. Gejalanya antara lain sulit berkonsentrasi saat pelajaran (60 persen) dan merasa tidak tahan kalau tidak ada gawai di dekatnya (6 dari 10 siswa).
Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ketika melakukan pengawasan penyiapan sekolah tatap muka, tak sedikit anak yang kecanduan gawai/internet dan harus mendapatkan perawatan medis. Di Cisarua, Jawa Barat, 14 anak menjalani rawat jalan di rumah sakit jiwa karena kecanduan gim daring (game online) dan pornografi, ada juga yang rawat inap.
Di Jakarta Pusat juga demikian, ada satu kecamatan terdapat 98 anak yang kecanduan game online. Sebanyak 15 anak dirawat jalan di rumah sakit jiwa, sisanya rawat inap. Ini data aparat kecamatan yang disampaikan saat acara sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak. (Retno Listyarti)
”Di Jakarta Pusat juga demikian, ada satu kecamatan terdapat 98 anak yang kecanduan game online. Sebanyak 15 anak dirawat jalan di rumah sakit jiwa, sisanya rawat inap. Ini data aparat kecamatan yang disampaikan saat acara sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, Jumat (19/3/2021).
Di Kota Cimahi, Jawa Barat, kata Retno, dua siswa SMP terpaksa berhenti sekolah sementara selama satu tahun ke depan karena harus menjalani perawatan dan pemulihan akibat kecanduan game online. Kasus kedua anak ini diketahui setelah guru menanyakan kepada masing-masing orangtua mengapa kedua anak tersebut lama tidak mengikuti pembelajaran daring.
”Rupanya kedua anak tersebut gemar bermain game online hingga pagi dan baru sekitar jam 05.00 tertidur. Menjelang sore baru mereka bangun sehingga tidak bisa mengikuti PJJ (pembelajaran jarak jauh). Orangtua baru tahu setelah mendapat laporan guru bahwa anak mereka tidak ikut PJJ,” kata Retno.
Dalam kasus kesehatan mental yang dialami anak-anak tersebut, penggunaan internet yang bermasalah (problematic internet use) bukan faktor utama anak mengalami masalah kesehatan mental. Kasus ini merupakan akibat dari masalah lain yang lebih besar.
”Kalau ada masalah penyalahgunaan internet, akarnya dari pengasuhan, penyikapan orangtua yang tidak baik, tidak ada disiplin di rumah, peraturan tidak efisien atau tidak konsisten,” kata Annelia Sari Sani, psikolog klinis yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis Indonesia.
Karena itu, mengatasi permasalahan tersebut tidak akan optimal jika orangtua tidak memperbaiki pola asuh mereka. Menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab kepada anak sejak dini, hubungan di dalam keluarga yang dekat akan menghindarkan anak dari permasalahan-permasalahan tersebut.
Studi terbaru tim peneliti Universitas Concordia dan Universitas Helsinki yang dilansir Science Daily pada 9 Maret 2021 menunjukkan, pola asuh orangtua yang baik berkorelasi dengan kasus penyalahgunaan internet pada remaja yang lebih rendah. Sebaliknya, pengabaikan oleh orangtua terhadap anak yang ditunjukkan dengan sikap tidak responsif terhadap kebutuhan anak, berkorelasi dengan kasus penyalahgunaan internet pada remaja yang lebih tinggi.
Kurangnya bimbingan dan batasan yang dilakukan orangtua menghambat kemampuan remaja untuk menetapkan batasan pribadi, mana yang baik dan tidak baik bagi mereka. Ketika anak menghadapi masalah, mereka bisa “lari” ke gawai dan internet yang membuat mereka menjadi ketergantungan.
Meningkatnya penggunaan internet untuk pembelajaran di masa pandemi ini, kata Annelia, memang bak pedang bermata dua. ”Penggunaan internet pasti meningkat, ini tak terhindarkan karena pandemi mengubah cara hidup kita. Sepanjang penggunaannya bermanfaat, tidak masalah. Ini tergantung pengasuhan keluarga dan juga kapasitas guru,” kata Anne.
Karena itu, Anne menekankan pentingnya kemampuan kapasitas warga belajar, selain siswa juga ada guru dan orangtua. Ketika guru dan orangtua kapasitasnya baik, anak pun akan siap menerima model pembelajaran apapun, termasuk ketika mengakses internet.
Guru, kata Retno, bisa mengedukasi para muridnya tentang manfaat maupun dampak penggunaan internet. ”Demikian penting orangtua mengedukasi anak dan membuat ’aturan main’ penggunaan gawai bagi anak. Orangtua juga perlu mengetahui dampak-dampak penggunaan gawai yang berlebihan,” kata Retno.